Pilkada yang semakin gila. Kalau jaman
Pilpres 2014 hanya fitnah-fitnah yang dilancarkan, Pilkada DKI tidak
hanya fitnah tapi juga intimidasi melalui spanduk-spanduk, brosur,
hingga ancaman langsung kepada pendukung Ahok. Teriakan kafir, munafik,
liberal menggema di mesjid-mesjid hingga media-media sosial, melabeli
para pendukung Ahok terutama yang muslim. Hingga melarang ibu-ibu untuk
berjualan. Lalu apakah kita takut?
Mungkin kalian para penduduk bumi datar
merasa sedang di jalan membela agama. Tapi sebenarnya kalian hanya
membela penafsiran ulama saja. Penafsiran yang berbau politik hingga
dipaksakan untuk kepentingan mereka. Al Maidah 51 boleh-boleh saja
ditafsirkan sebagai pemimpin tapi kemudian harus dipaksakan? Sementara
ada penafsiran lain soal Al Maidah 51 dan ayat-ayat senada lainnya, apa
penafsiran tersebut salah? Berani bilang penafsiran yang lain salah?
Berani bilang GP Ansor salah menafsirkan? Atau fatwa ulama Mesir salah
menafsirkan? Katakan sekarang di media-media dengan lantang bahwa NU, GP
Ansor dan Ulama Mesir telah salah menafsirkan soal pemilihan pemimpin,
itu kalau kalian berani.
Kami tidak takut ancaman kalian, kami
tidak takut kalian bilang munafik, kafir hingga mayat kami kelak tidak
diurus. Selama yang mengatakan munafik, kafir, dan segala label-label
itu masih manusia, kami tidak takut. Silahkan ancam mayat kami, tak usah
disholatkan, karena itu fardhu kifayah, dosa bagi mereka yang masih
hidup bukan bagi mayat yang sudah selesai ujiannya di dunia ini.
Kalian hanya memperjuangkan penafsiran
beberapa ulama dengan segala kepentingannya sedangkan kami
memperjuangkan masa depan anak-anak kami, masa depan kami dan masa depan
bangsa ini. Agar anak-anak kami kelak bisa hidup lebih baik, bisa
bermain di RTPA-RTPA yang dibangun Ahok. Agar mereka jauh dari narkoba
dan suami-suami jauh dari tempat maksiat. Ahok menutup tempat-tempat
hiburan yang kedapatan menjadi tempat peredaran narkoba, Ahok juga
membongkar Kalijodo yang terkenal sebagai tempat maksiat, kini menjadi
tempat bermain skala internasional.
Kami juga ingin hidup tenang tanpa harus
khawatir soal banjir. Dari 2.200 titik banjir sekarang hanya tinggal 80
titik banjir, kami ingin Ahok membereskan sisa titik banjir ini hingga
nol bukan bertambah lagi karena tumpukan sampah. Jangan sampai seperti
daerah tetangga yang kerap banjir hingga memakan korban nyawa namun
tidak ada usaha selain hanya disuruh berdoa. Kita bukan Nabi yang
doa-nya mustajab, kita perlu berusaha dulu baru kemudian berdoa. Jangan
jadikan doa sebagai tameng untuk bermalas-malasan.
Kami juga tidak ingin ormas-ormas yang
entah apa gunanya itu menikmati uang APBD sementara kami yang membayar
pajak. Kami ingin uang APBD dan pendapatan lainnya dinikmati benar-benar
untuk pembangunan kota, untuk anak-anak kami dan warga tidak mampu.
Kami juga kasihan melihat mereka yang hidup di bantaran kali, kumuh,
kotor dan tidak sehat. Jika mereka hidup di lingkungan yang sehat maka
banyak uang yang bisa mereka hemat, anak-anaknya dibantu untuk
bersekolah, hingga suatu hari nanti anak-anak mereka bisa bekerja dan
membeli sebidang tanah sendiri tanpa bermimpi mendapatkan rumah dengan
DP 0% atau DP 0 atau DP macam-macam itu lah yang terus berubah seperti
Mas An…eh Bung bunglon.
Kami juga ingin seorang pemimpin selain
jujur dan amanah, ia juga seorang pemimpin yang bisa kami tegur dengan
keras, dan kemudian ia meminta maaf lalu memperbaikinya bukan ngeles
seperti Neo menghindar peluru di film matrix karena hanya Ahok yang mau
mengambil pil merah, meninggalkan kehidupannya yang nyaman untuk
melayani warga Jakarta. Sementara orang lain akan memilih pil biru dan
berdamai dengan semua elemen, bagi sana bagi sini seperti kasus e-KTP,
demi kenyamanan menjadi Gubernur. Tenang tapi merusak, tenang tapi warga
yang menderita.
Tidak hanya warga Jakarta, seluruh
penduduk di negri ini yang masih waras pun ikut mendukungnya. Agar
calon-calon pemimpin yang lain melihat, bahwa mereka akan didukung oleh
rakyat karena kinerja dan keberanian melawan koruptor serta mafia. Bukan
hanya bermodalkan agama dan doa saja lalu bagi-bagi agar aman.
Jika Ahok nanti kalah, maka itulah awal
kekalahan bangsa ini melawan koruptor dan mafia. Jika Ahok kalah, maka
itulah awal bangkitnya orde yang akan kembali mengucurkan keran-keran
uang segar bagi para koruptor dan mafia. Jika Ahok kalah, maka saat itu
adalah awal kemenangan kaum radikal intoleran, awal kehancuran
keberagaman di Indonesia, bahkan bisa jadi awal kehancuran Indonesia itu
sendiri.
Itulah yang sedang dipertaruhkan pada Pilkada DKI ini, itulah yang kami perjuangkan.
0 komentar:
Posting Komentar