Cari Blog Ini

Senin, 19 Juni 2017

Terorisme dan Radikalisme Berkembang karena Kita Tak Kenal Tetangga

Budaya hedonis, pemahaman keliru atas ajaran agama, kemudian pengaruh-pengaruh dari budaya asing adalah sebab dari mulai tipisnya ikatan sosial sesama warga.
Kita ambil contoh, tuduhan radikal atau ekstrimis pada sebagian kelompok orang tentu bukan tuduhan tanpa alasan kuat. Negara Indonesia bukan negara Islam dari sejak bangsa ini sepakat untuk bersatu. Bukan Proklamasi yang menjadi tolok ukurnya, tetapi Sumpah Pemuda. Pancasila adalah buah pemikiran yang berangkat dari pengalaman spiritual, dari sebuah renungan atas sebuah pengalaman hidup. Sebagaimana halnya kita semua sejak lahir telah dan akan terus berproses menjadi lebih maju. Ada yang lahir dalam keluarga Kristen, Kong Hu Cu dan lain-lain. Ketika dia keluar dari rumahnya, tentu dia akan mendapati suasana yang berbeda. Dia bertetangga dengan keluarga muslim, dengan orang berprofesi macam-macam dan karakter yang berbeda pula. Dari lingkungan sekitar kita sudah ada keragaman yang benar-benar unik, Tanpa toleransi dan kompromi tentu keragaman itu akan hancur dengan sendirinya. Dan kita adalah makhluk sosial tentu saja harus sanggup menerima perbedaan itu dalam batasan toleransi dan kompromi dengan banyak pihak.
 
Merupakan tradisi lama yang sudah hampir musnah ketika orang tak lagi bertegur sapa. Saat ini upaya sebaiknya kita semua menghidupkan lagi budaya sapa agar warga menjadi lebih peduli dengan sekitarnya tanpa mempersoalkan perbedaan apapun. Saling menyapa sebenarnya dapat meminimalkan batasan sosial. Padahal mereka itu boleh jadi tetangga kita yang  sangat rajin memutakhirkan status melalui media sosial. Karena merupakan kenyataan bahwa perbedaan sosial baik itu ekonomi, keyakinan maupun etnis atau suku masih terhambat oleh cara pandang warga itu sendiri.
Budaya saling sapa akan dengan sendirinya membawa suasana batin kita menjadi kenal dengan yang disapa. Tak kenal maka tak sayang, begitu kata orang tua. Dari sini kita telah dituntut untuk mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
Bagaimana mungkin anda menuntut hak penuh dalam penggunaan jalan di kampung? Dan bagaimana mungkin kita menolak uluran tangan tetangga atau apakah mungkin kita berdiam diri ketika tetangga mengalami musibah? Itu merupakan pertanyaan sederhana.
 
Terorisme selalu berawal dari pemahaman radikal tentang ajaran agama dan mampu melahirkan watak psikopat bagi pelaku. Ada sebuah gagasan yang diperkenalkan oleh Sayyid Qutub yang pada akhirnya kita akan memahami mengapa ada sebagian orang Indonesia yang menolak menggunakan hukum positif negeri ini, menolak Pancasila atau bahkan menyebut Pancasila sebagai thogut, menjadikan polisi sebagai korban teror, atau mungkin menganggap diri kita sebagai orang yang bisa dibunuh tanpa alasan.

Begini gagasan itu disebutkan ; “Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilâh yang behak diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allah semata, maka ditetapkan pula bahwa perundang-undangan dalam kehidupan umat manusia adalah hak Allah Azza wa Jalla semata. Dari satu sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allah Azza wa Jalla jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at dan ajaran-ajaran-Nya…… Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk membuat undang-undang, syari’at, dan peraturan pemerintahan menurut gagasan diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat ulûhiyyah Allah Azza wa Jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat ulûhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan kafir.” [Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 80]
Penutup
Pemahaman radikal seperti paparan Sayyid Qutub diatas tetap mempunyai jalan keluar untuk dijinakkan, yaitu dengan melibatkan setiap pendatang baru di lingkungan kita dalam banyak aktifitas sosial seperti kerja bakti dan semacamnya. Kita wajib mengenal siapa tetangga kita dan apabila mereka tertutup ya minimal bisa dilaporkan ke ketua rt untuk diawasi bersama-sama. Budaya saling menyapa adalah awal dari saling mengenal. Mari kita mulai dan kembangkan lagi budaya ini demi perdamaian.

0 komentar:

Posting Komentar