Cari Blog Ini

Minggu, 25 Juni 2017

Pancasila Perekat Bangsa, Khilafah Peretaknya, Kaum Intoleran Penghancurnya

Apakah Pancasila itu?
Pancasila adalah sebuah konsep yang digali dari kekayaan budaya, tradisi dan adat istiadat bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang digali dan terkandung di dalamnya menjadikan bangsa Indonesia kuat, besar, dan bisa bersatu walaupun berbeda, dan membuat negara lain menghormatinya.
 
Lima sila Pancasila merupakan sistem tatanan nilai dan intisari dari kondisi masyarakat Indonesia yang beragam suku, agama, adat istiadat dan bahasa. Kelima silanya digumuli melalui proses yang panjang, penuh dinamika dan diskusi yang alot. Para pendiri bangsa menyetujui lima silanya karena dipandang dapat membimbing dan menuntun bangsa Indonesia yang pluralis  dari Sabang sampai Merauke agar hidup berdampingan secara rukun dan damai.
Pancasila lahir di masa orla rezim Soekarno, besar di masa orba rezim Soeharto. Jadi salah satu pilar bangsa di era reformasi. Walaupun Pancasila lahir di masa orla, namun Soekarno bukan penciptanya atau pembuatnya. Soekarno hanya memformulasikan perasaan dan kondisi rakyat Indonesia, yang kemudian diringkasnya dalam lima sila.
Para pendiri bangsa, elemen masyarakat, dan organisasi keagamaan besar seperti NU dan Muhammadyah telah sepakat bahwa Pancasila adalah idiologi dan dasar negara sudah final dan mengikat.
Indonesia adalah negara Pancasila
Indonesia bukan negara agama, juga bukan negara sekuler, tetapi negara Pancasila. Mengapa? Pancasila dimunculkan sebagai solusi alternatif ketiga, yang merupakan sebuah kompromi luhur. Karena negara agama dan negara sekuler tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah ada beberapa rumusan Pancasila yang pernah muncul. Dari kronik tersebut ada yang sama dan ada yang berbeda. Misalnya rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta menggunakan frasa “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Namun, berdasarkan pertimbangan bahwa bangsa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke, termasuk keberagaman dalam agama, sehingga muncul pertimbangan agar Pancasila sebagai dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu. Juga mempertimbangkan usulan kelompok tokoh Indonesia bagian timur yang “mengancam” memisahkan diri dari Indonesia bila rumusan Pancasila di dalam Piagam Jakarta tetap dipertahankan, maka tujuh kata di dalam Piagam Jakarta, yaitu frasa “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikembalikan kerumusan awal, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tokoh nasionalis Islam yang menandatangani Piagam Jakarta, yaitu Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, dan Wahid Hasyim tidak pernah memprotes perubahan tersebut. Mereka sadar bahwa bangsa Indonesia memang beragam dalam banyak hal.
Dari sisi agama, Indonesia bukan mayoritas mutlak (absolute), tapi mayoritas nisbi (relative). Agama Islam misalnya, adalah mayoritas di Aceh, namun minoritas di Irian, NTT dan Sulawesi Utara. Dari sisi suku, suku Jawa hanya mayoritas di pulau Jawa, tetapi minoritas di daerah lain. Bangsa Indonesia memiliki 1128 suku; lebih dari 300 kelompok etnik; terdapat lebih dari 746 bahasa dan memiliki 17508 pulau besar dan kecil; semuanya telah terwakili dan menyatu di dalam lima sila Pancasila.
Indonesia sebagai negara bangsa yang berdasarkan Pancasila, adalah konsep negara modern. Hal ini disadari oleh the founding fathers bahwa bangsa Indonesia tanpa Pancasila sulit menginvestasi hal yang baik untuk membangun kehidupan bersama. Tanpa Pancasila, sikap intoleran dan tidak saling menghargai tumbuh menjadi tembok pemisah yang mencerai-beraikan dan melupakan nasib bersama sebagai bangsa yang bhinneka tunggal ika.
Sejarah mencatat ketika Pancasila tidak dilaksanakan secara murni dan konsekwen banyak hal yang baik dibelokkan ke sebuah persimpangan; dan dari persimpangan itu telah muncul orang-orang yang penuh euphoria dan ecstasy mengeksploitasi keluhan daripada memecahkan masalah.
Cacian dan hinaan di kalangan anak muda begitu mudah diucapkan. Sikap intoleran, terorisme, korupsi, narkoba dan pelecehan seksual tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, adalah contoh nyata betapa berbahayanya politisasi agama dan rasis digunakan untuk memenangkan Anies-Sandi. Mayat tak disholatkan hanya karena diduga memilih Ahok. Djarot Saiful Hidayat dua kali ditolak dari Masjid hanya karena ia berpasangan dengan Ahok yang tidak seagama.
Pancasila = agama?
Pancasila bukan agama, namun mengandung pesan moral yang mencerahkan seluruh umat beragama. Pancasila tidak merugikan dan tidak menguntungkan agama tertentu, tetapi menjamin dan memberi kebebasan kepada umat beragama menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan masing-masing. Agama apa pun di dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak boleh dijadikan sistem nilai dominan, apalagi menjadi idiologi alternatif menggantikan Pancasila.
Pancasila juga bukan partai dan bukan golongan. Pancasila adalah idiologi dan dasar negara yang membuat bangsa Indonesia tidak menjadi komunis,  tidak  menjadi negara agama,  dan  tidak menjadi negara sekuler. Di dalam Pancasila tidak ada agama tertentu yang diistimewakan atau dinomorsatukan dan yang lainnya dinomorduakan; semuanya memiliki hak dan kedudukan yang sama.
Pancasila adalah idiologi netral, tidak kaku dan tidak tertutup sebagaimana khilafah yang merupakan idiologi Negara Impian Idiot; tetapi bersifat reformatif, dinamis, dan tidak menutup peluang kepada siapa pun untuk sukses; menghargai perbedaan; menghindari diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak serupa; memegang janji untuk memperlakukan dan memberi kesempatan yang sama kepada seluruh lapisan masyarakat yang beragam.
Ringkasnya, Pancasila dipilih sebagai idiologi bangsa dan dasar negara didasarkan pada satu premis sederhana bahwa semua manusia yang berbeda-beda agama diciptakan setara. Pancasila tidak hanya mempersatukan satu golongan agama, tetapi mempersatukan semua golongan agama yang berbeda dari Sabang sampai Merauke.
Pancasila di era reformasi
Bersamaan dengan dibukanya kran demokrasi di era reformasi banyak orang berusaha keras mencari kesalahan, menyalahkan orang lain dan mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran. Demokrasi Pancasila adalah salah satu yang disalahkan. Dianggap lamban, dinilai tidak mampu mensejahterakan rakyat dan tidak sanggup menyelesaikan berbagai masalah.
Bersamaan dengan lahirnya reformasi, semua orang senang melakukan berbagai hal dengan caranya sendiri. Seperti demonstrasi anarkis yang berakhir rusuh, gertakan, ancaman, tekanan dan perdebatan di parlemen yang berujung kegaduhan sepertinya dianggap lebih baik daripada demokrasi Pancasila. Tapi akhirnya mereka siuman bahwa semua tindakan yang dipertontonkan dan menyimpang itu tidak lebih baik daripada Pancasila.
Sementara yang lainnya yang masih terbuai dengan euphoria kebebasan menganggap Pancasila bukan tentang mereka. Mereka bersikeras pada gagasan dan idiologi baru, yaitu khilafah yang merupakan Negara Impor Idiologi, yang tidak berakar pada budaya bangsa Indonesia.
 
Dalam dunia yang serba cepat dan segera dewasa ini, arus-arus pemikiran berbahaya seperti itu mengalir lebih cepat dari kecepatan usaha untuk menghentikannya. Kendatipun demikian, kita bisa  hentikan dengan segera jika kita tidak terpecah belah. Tapi kadang-kadang di era reformasi ini kita tercerai berai dan lari dari tanggung jawab bersama untuk menghadapinya. Contohnya kita membiarkan kelompok intoleran FPI (19 tahun) dan kelompok radikal HTI (34 tahun) lama tumbuh subur.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki sikap hidup eksklusif, tertutup seperti idiologi khilafah yang mereka perjuangkan, dan sangat mudah menuding dan menyematkan kesalahan sendiri pada orang lain hanya karena kebencian terhadap suku, budaya dan agama yang berbeda; mereka adalah orang-orang yang waspada dan ragu terhadap masa depan bangsa Indonesia dengan dasar Pancasila; dan terus berupaya memaksakan khilafah sebagai idiologi impor menggantikan demokrasi Pancasila yang mengedepankan musyawarah dan mufakat; hal ini telah membuat harapan sebagian anak bangsa berganti sinisme dan putus asa.
Negara lain sudah mengkapling planet Mars, sementara sebagian elemen bangsa kita masih mempersoalkan penggantian idiologi dan dasar negara. Kapan bangsa kita maju bila Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) “dibiarkan” lantang meneriakkan khilafah sebagai Negara Impor Idiologi? Mengapa kita tidak menghargai dan tidak bangga dengan Idiologi yang digali dari nilai-nilai bangsa kita sendiri?
Bangsa Indonesia Tanpa Pancasila, Apa Yang Terjadi?
Benarkah bangsa Indonesia tanpa Pancasila lebih makmur, aman, damai, dan bebas korupsi? Banyak contoh kasus yang sudah terjadi. Contoh yang tidak baik tersebut bisa menjadi bahan refleksi. Misalnya parpol yang menolak Pancasila sebagai asasnya, ternyata tergiur korupsi sapi. Contoh lainnya, ketika Pancasila dikeluarkan dari kurikulum pendidikan tahun 2006, dampaknya cukup banyak siswa dilibatkan dan terlibat dalam berbagai aksi demonstrasi, terorisme, melakukan pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan, gang motor, mengedarkan narkoba dan melakukan aksi-aksi lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Aceh yang menolak Pancasila, lalu menggantinya dengan syariat Islam, ternyata kehidupan ekonominya tidak lebih baik daripada daerah yang berazaskan Pancasila. Di Aceh tindak kriminal masih ada, suasana hidup aman dan damai belum tercipta sepenuhnya, pelanggaran asusila masih terjadi; ganja masih tumbuh subur dan menjadi sumber ekonomi bagi sebagian warga masyarakatnya.
Apa beda Pancasila dan Khilafah?
Khilafah berbicara tentang  ketertutupan dan eksklusifisme.  Pancasila berbicara tentang kerjasama, jiwa kekeluargaan dan kolektivisme. Karena itu, bangsa Indonesia yang beragam tidak bisa disatukan dalam sebuah keyakinan yang seragam sesuai konsep khilafah.
Persatuan yang ditawarkan melalui konsep khilafah hanyalah isapan jempol semata. Konsep khilafah yang diusung kelompok garis keras dan ISIS di Suriah dan Irak  hasilnya adalah kehancuran. Di Suriah dan Irak tidak ada kedamaian, yang ada adalah kekerasan dan perpecahan akibat perilaku kelompok radikal dan ISIS yang mengusung konsep khilafah.
Pancasila teruji oleh tantangan
Meskipun Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama, namun sampai kini Pancasila tak henti-hentinya diuji dan diperhadapkan dengan keadaan sebagian masyarakat yang egois dan tak bertenggang rasa. Mereka menentang Pancasila sebagai dasar negara. Di dalam benak mereka, terutama generasi muda yang buta sejarah bangsa, memahami dasar negara bukan Pancasila, tetapi agama. Rizieq FPI, adalah salah satu generasi yang tidak berpeluh dan tidak menghargai pendiri bangsa, sehingga ia berani menghina Pancasila sebagai idiologi dan dasar negara.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengatakan bahwa Islam tidak bisa dibuat dasar dalam bernegara. “Konsep negara Islam itu tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Islam. Jika ada yang mengatakan ada, itu tidak lebih dari hanya sekedar klaim,” ujar Gus Dur.
Pancasila sebagai dasar negara telah menghadapi sejumlah ujian dan tantangan yang berat. Pada rezim orde lama, Pancasila diselingkuhi ketika negara menganut konsepsi nasakom (nasional, agama dan komunis). Pada rezim orde baru, Pancasila dijadikan “kitab suci” untuk melanggengkan kekuasaan, dan dicemari dengan berbagai tafsir yang keliru. Di era reformasi, akibat trauma di rezim orde baru, Pancasila dipinggirkan, antara lain dihilangkan dari kurikulum pendidikan tahun 2006; akibatnya, di kalangan kaum muda, Pancasila dianggap sebagai kosa kata aneh dan menakutkan. Sebagai gantinya, kaum muda  memunculkan istilah geng, punk, dan sederet istilah lain yang tidak beretika dan membahayakan. Kendati demikian Pancasila tetap kokoh dan mampu membuktikan diri sebagai cara pandang dan metode yang ampuh membendung trend negatif perusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penafsiran dan implementasi Pancasila pada rezim orde baru mendapat banyak koreksi. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ikut mengoreksinya. Salah satu hal yang dikoreksinya adalah menyangkut keberagaman yang dijamin oleh Pancasila. Menurutnya kebebasan, keadilan dan musyawarah, adalah tiga dasar keberagaman. Mantan Presiden RI keempat ini membuktikan pernyataannya untuk menghargai keberagaman dengan cara mencabut PP Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa, lalu ia menjadikan Konghucu sebagai agama resmi negara dan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Pancasila Sakti
Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara telah melewati sejumlah fase; mulai dari fase penggalian nilai-nilai luhur bangsa, fase perumusan, pengesahan, pergumulan dan fase kekuasaan; Pancasila dalam setiap fase yang penuh dinamika tersebut telah membawa semangat dan kekuatan yang tak terkalahkan, teruji dan tetap relevan dalam setiap tantangan zaman.
Sebelum khilafah sebagai Negara Impor Idiologi muncul tahun 1983, yang merongrong Pancasila; dan organisasi intoleran seperti FPI yang berdiri tahun 1998, jauh sebelumnya komunis berusaha keras menggantikan Pancasila melalui pemberontakan PKI 1948 di Madiun dan peristiwa G30S/PKI  tahun 1965. Namun Pancasila tetap sakti. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada idiologi lain yang mengakar kuat dan sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika selain Pancasila.
Pancasila telah terbukti dan teruji mampu mendorong kemajuan; menyatukan bangsa Indonesia agar terbebas dari perbedan-perbedaan warna kulit dan keyakinan; memberi ruang kepada rakyat yang nasibnya berbeda-beda agar setara; dan mengakui keberagaman sebagai anugerah.
Pancasila sebagai idiologi netral sudah sesuai dengan kepribadian dan kondisi bangsa Indonesia yang pluralis. Mengubah Pancasila sama saja dengan mengubah kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila adalah kesepakatan bersama yang luhur. Bila ada yang mengingkarinya dan mengembalikan pada tujuh kata sama saja dengan membubarkan NKRI.
 
Bangsa Indonesia yang hidup berdasarkan nilai-nilai Pancasila adalah tempat bagi semua orang untuk meraih apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan. Ini adalah janji the founding fathers; dan ketika janji ini berada dalam bahaya dan ancaman, kita harus memiliki keberanian untuk menjaganya agar tetap hidup. Tugas kita bersama adalah memberi kepercayaan kepada generasi yang tidak berpeluh dalam proses panjang perjalanan sejarah bangsa, tapi hanya tahu mengeluh, agar mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai Pancasila demi masa depan bangsa Indonesia.
***

0 komentar:

Posting Komentar