Cari Blog Ini

Kamis, 15 Juni 2017

HTI Membela “Tuhan” dengan Berlindung di Balik Sistem “Setan”?


Juru Bicara HTI Ismail Yusanto saat memberikan keterangan pers terkait pembentukan Tim Pembela HTI di kantor hukum Yusril Ihza Mahendra, Jakarta Selatan, Selasa (23/5/2017). Tim pembela tersebut dibentuk untuk menghadapi gugatan pembubaran oleh pemerintah di pengadilan. (Sumber: KOMPAS.com)


Oleh Nikki Tirta.
Ada yang lucu dari perlawanan HTI terhadap keputusan Pemerintah membubarkan ormas mereka. Lucu karena HTI seperti “meninju muka sendiri” ketika mereka menuntut perlindungan dari peradilan yang demokratis. HTI sering sekali diketemukan secara gamblang dan terang-terangan mengatai bahwa sistem demokrasi adalah sistem thagut (atau “setan”). Orang-orang yang sering sekali mengatai demokrasi dan Pancasila sebagai thagut ini selalu mencatut kemuliaan Kitab Suci, dan mengacu kepada Al-Qur’an surah Yasin ayat 60. Demikian terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” QS: Yasin 60.
Yang menjadi pertanyaan adalah, jikalau HTI selama ini memang serius dan konsisten di dalam memperjuangkan penafsiran pribadinya, kenapa sekarang mereka malah berlindung di balik sistem demokrasi soal mekanisme pembubaran civil society? Menempuh jalur peradilan dalam pembubaran sebuah ormas itu adalah salah satu mekanisme di dalam alam demokrasi. Inikan konyol. HTI kan katanya sedang “berjuang di jalan Tuhan”, tetapi mengapa sekarang ia malah berlindung di balik sistem yang katanya “setan” itu? Jadi HTI itu sebenarnya sedang mempertontonkan dagelan macam apa? Mereka sedang membela “Tuhan” dengan berlindung di balik “setan”, begitu?
Bagaimana kita dapat percaya bahwa mereka sedang berjuang “di jalan Tuhan” ketika mereka sendiri tidak konsisten dengan apa yang mereka perjuangkan? Seolah-olah “jalan Tuhan” mereka itu dapat berkompromi dengan begitu mudahnya. Sampai-sampai mereka mau saja bekerja sama dan mengganti haluan untuk sementara, dengan cara memanfaatkan sistem yang selama ini mereka kafir-kafirkan sendiri. Kan lucu, okeh-oceh banget ini.
Ibaratnya seperti mantan yang selama ini kamu maki-maki, tetapi ketika kamu kepepet, kamu pinjam juga uang mantanmu itu. Atau seperti PNS yang selalu memaki-maki pemerintahan saat ini, tetapi yang juga masih menikmati fasilitas dan gaji dari mereka-mereka yang ia hina. Orang-orang pengecut dan oportunis akut seperti ini masih bisa kita percaya sebagai “pejuang di jalan Tuhan”? Bukankah ini sebuah penistaan?
HTI telah melakukan penistaan bukan saja kepada dasar dan ideologi Negara, tetapi juga kepada kemuliaan dari nama sebuah agama dan ulama-ulamanya. Saya mengambil contoh salah seorang ustadz HTI yang bernama Felix Siauw (FS). FS, yang masih tergolong muda, sering menyerukan bahwa membela nasionalisme itu tidak ada dalilnya. FS ini kurang belajar atau bagaimana? Nyaris 100 tahun sebelum FS lahir, Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy’ari (seorang Pahlawan Nasional dan Pendiri NU) pernah menyampaikan bahwa nasionalisme adalah bagian dari agama. Bahwa kecintaan terhadap sebuah agama tidak melunturkan kecintaannya terhadap sebuah Negara.
KH. Mohammad Hasjim Asy’ari. (Sumber: Penelusuran Google.com).
Twitter Felix Siauw. (Sumber: Penelusuran Google.com).
Dengan melihat pernyataan yang sederhana ini, siapakah yang sebenarnya lebih patut untuk kita percaya? Seorang muda yang masih kurang belajar, atau seorang Ulama Sepuh yang ilmunya mendalam? FS hanyalah orang yang tinggal duduk ongkang-ongkang kaki menikmati nikmat kemerdekaan, sedangkan KH. Hasjim Asy’ari adalah Pejuang yang turut andil langsung di dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. “Engga level Bang perbandingannya, kayak bintang terang yang tinggi di langit dibandingkan dengan sumur kering yang gelap.”, mantap.
HTI memang seperti meludah ke atas tetapi kena ke muka sendiri. HTI menikmati semua manfaat dari alam demokrasi hanya untuk mengatai dan meniadakan demokrasi itu sendiri. Saya tambahkan lagi analoginya biar seru, HTI itu seperti orang yang sedang berusaha membobol lantai sebuah gedung d tingkat 20, padahal dia juga sedang berdiri di situ. Kok gendeng? Ya memang. Dia bisa melakukan usaha pembobolan itupun karena keberadaan dirinya ditopang oleh si “lantai”. Itulah kekonyolan HTI, mereka itu bisa eksis justru karena ditopang oleh alam demokrasi. Kalau masih zaman orba, mana bisa? Pasti sudah lama pentolannya habis diciduk, atau bahkan hilang/mati secara misterius.
Mau menikmati manfaat dan fasilitas seluas-luasnya, tetapi tidak mau bekerja untuk memeliharanya, apalagi bahkan mau meruntuhkannya, itu munafik sekali namanya. Kalau dalam dunia biologi, ini disebut sebagai parasit. Sudah tidak bersumbangsih, terus kenyot nutrisi, merusak lagi. Mantap HTI.
Akhir kata dari saya bagi para pembaca (Seword). Jangan mudah kita diperdaya atas nama agama. Saya percaya banyak masyarakat kita yang mencintai Tuhan dan agamanya. Itu sangat lumrah, karena manusia pada dasarnya memang makhluk religius. Tetapi, justru karena itulah masyarakat kita harus lebih waspada, sebab akan ada banyak orang yang ingin memanfaatkan kecintaan itu untuk kepentingan diri mereka sendiri. Karena itu, marilah bersuara. Jangan takut diintimidasi sebagai “pemecah belah Islam”, karena pada dasarnya merekalah yang telah menista nama Islam dengan mencatutnya sesuka-sukanya.
Betul seperti apa yang dikatakan Alm. Eyang Gus Dur, bahwa “Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh, karena siapapun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam.”

0 komentar:

Posting Komentar