Cari Blog Ini

Senin, 05 Juni 2017

Radikalisme dan Terorisme; Virus yang Menghantui Media

Pendahuluan Populasi pengguna internet di dunia terus saja meningkat setiap tahunnya. Kini, jumlahnya sudah menyentuh angka yang sangat besar. Dalam ajang D11 Conference yang diadakan oleh situs AllThingsD, Mary Meeker yang berasal dari firma Kleiner Perkins Caufield & Byers Meeker, mengungkapkan bahwa pengguna internet di seluruh dunia telah menyentuh angka 2,4 miliar orang. Pengguna internet di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya juga terus mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30 juta, tahun 2010 sebanyak 42 juta, tahun 2011 sebanyak 55 juta, tahun 2012 mencapai 63 juta orang, dan tahun 2013 mencapai 71,19 juta, hal yang sama juga pada tahun 2014 dan 2015 terus mencapai peningkatannya dengan angka yang cukup tinggi. Internet sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi informasi memiliki dua sisi yang bertolak belakang, misalnya, internet merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan pada publik. Namun sarana ini justeru kerap dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mengampanyekan ideologi nya. Sebuah lembaga yang bergerak di bidang riset dan kajian masalah-masalah terorisme, The Terrorism Research Center pernah mengumumkan hasil penelitiannya mengenai tren terorisme global. Dalam laporan itu diungkapkan, selama kurun waktu 1993-1998 jumlah aksi-aksi terorisme di seluruh dunia memperlihatkan penurunan. Namun, di Asia tercatat justru terjadi peningkatan, misalnya pada tahun 1996 di Asia terjadi 11 aksi terorisme, 21 aksi terorisme pada 1997, dan sebanyak 48 aksi terjadi pada 1998, pasca 1998 hingga 2003 diprediksi telah terjadi sebanyak 100 lebih aksi kekerasan maupun terorisme yang berskala besar di kawasan Asia. Dan diantaranya juga di kawasan Asia Pasifik. Indonesia sendiri, saat ini dikenal sebagai ladang subur persemaian aksi radikalisme dan terorisme. Radikalisme dan Terorisme Istilah teror dan terorisme sesungguhnya mulai populer pada abad ke 18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru, sebab terorisme telah lama di kenal sejarah. Terorisme telah lahir sejak ribuan tahun silam dan telah menjadi legenda dunia. Taktik terorisme mulai di kenal sejak awal abad ke 48 Masehi, ketika sebuah sekte Yahudi bernama Zealots berkampanye melalui aksi terorisme untuk memaksa pemberontakan terhadap bangsa Romawi di Judea. Kampanye yang dilakukan termasuk asasinasi (pembunuhan) oleh Sicarii (sebuah aksi ekstrem Yahudi). Maraknya aksi teror yang terjadi dengan jatuhnya banyak korban telah mengidentifikasi bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pengertian tindak pidana terorisme sendiri di Indonesia termuat dalam pasal 6 dan Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003. Saat ini bisa dikatakan kerentanan terhadap radikalisme berbasis sosial keagamaan telah menjadi humus yang baik bagi tumbuh subur dan berkembangnya terorisme. Menurut Sholahuddin Wahid mengkafirkan orang lain saja sudah meresahkan, mengganggu kerukunan dan harmoni sosial, apalagi menghalalkan darah, demikian bisa memicu tindakan yang lebih kriminal. Menurut laporan tahunan The Wahid Institute tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, di tahun 2010 kasus intoleransi sebanyak 184 kasus. Tahun berikutnya 267 kasus dan di tahun 2012 jumlahnya mencapai 274 kasus. Hasil pantauan tahunan Setara Institute pun menunjukkan tren peningkatan kasus intoleransi. Di tahun 2011, kasus intoleransi tercatat 244 kasus. Sedangkan di tahun 2012 jumlahnya 264 kasus. Berdasarkan data lembaga-lembaga tersebut, kekerasan berlatar agama dan intoleransi beragama dipicu karena adanya perbedaan aliran/paham keagamaan. Sebenarnya aksi terorisme di Indonesia tidak hanya terjadi di era reformasi sekarang ini, melainkan sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Jika ditelusuri dari jejak sejarahnya. Perang melawan terorisme yang dilakukan aparat kepolisian pun telah berhasil menangkap ratusan pelaku terorisme, termasuk gembong teroris di Indonesia yakni Dr. Azhari dan Noordin M Top. Berdasarkan catatan Detasemen Khusus anti teror (Densus 88), sejak tahun 2000 hingga April 2013, sudah 845 pelaku teroris yang ditangkap di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, tersangka yang meninggal dunia di TKP 83 orang, tewas bom bunuh diri 11 orang, divonis mati 6 orang, dan divonis seumur hidup 5 orang. Di antara mereka juga yang dikembalikan ke keluarga sebanyak 65 orang, 10 orang proses penyidikan, 47 tahap persidangan, dan 618 orang divonis dengan berbagai jenis hukuman. Serangan terorisme di Indonesia terus mengalami elevasi, mulai dari jaringan, target serangan, dan pelaku. Sejak tahun 2000 hingga 2010, orang-orang barat, nonmuslim dan simbol-simbol asing, khususnya Amerika dan sekutu nya dijadikan sebagai target serangan. Namun, sejak 2011 hingga sekarang simbol-simbol negara seperti aparat keamanan bahkan sampai kepada rumah ibadah sudah menjadi target serangan teror. Dua kali aksi bom bunuh diri meledak di dalam komplek kepolisian, yakni di Masjid Adzikra Mapolresta Cirebon, Jawa Barat dan Mapolres Poso, Sulawesi Tengah. Internet dan Pesan-pesan Radikalisme Munculnya website yang kerap menebar hate speech adalah fakta konkret bahwa internet menjadi lahan empuk bagi kelompok radikal dalam melakukan propagandanya. Dari kampanye-kampanye kebencian inilah kemudian sebahagian pihak khususnya generasi muda yang cenderung eksklusif merasa seolah mendapat pembenaran untuk melancarkan aksi dan mengamalkan ideologinya untuk memusuhi Amerika, non Muslim bahkan untuk meruntuhkan negara demi untuk khilafah impiannya. Pada 2011, Kementerian Komunikasi dan Informatika menerima pengaduan sebanyak 900 yang terkait dengan situs–situs radikal. Dari jumlah itu sebanyak 300 situs yang dianggap radikal telah diblokir (BBC Indonesia, 28 September 2011). Penutupan situs radikal merujuk pada UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berikut ciri-ciri kelompok/media radikal dalam mengekspos isu-isu tertentu dan perbandingannya dengan kelompok/media moderat, yaitu seperti dalam tabel di bawah Ini : 

 tabel-ok-58ca2916f296737d3b9945df.jpg

 Masih adanya aksi teror dan tertangkapnya anggota jaringan teroris di sejumlah daerah mengindikasikan bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata dan serius bagi bangsa Indonesia. Hal itu juga menandakan kelompok teroris berhasil menyebarkan propaganda mereka. Kelompok teroris telah melakukan pelbagai aksi mulai dari peledakan bom di tempat keramaian, peledakan tempat-tempat ibadah, pengeboman kantor kedutaan atau representasi perusahaan asing, hingga penembakan dan pengeboman aparat kepolisian. Dampak yang diakibatkan dari aksi terorisme di antaranya merenggut nyawa, mencederai orang lain dari cedera ringan hingga cedera permanen, kerugian materi dan kerusakan fasilitas umum. Permasalahan radikalisme keagamaan memang harus menjadi perhatian serius bagi bangsa ini. Sebab benih-benih radikalisme keagamaan kini telah tumbuh subur di kalangan generasi muda. Bahkan, radikalisme disinyalir telah masuk ke dalam lembaga pendidikan formal. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang menunjukkan, hampir 50 persen pelajar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) setuju dengan aksi radikal demi agama. Menyadari internet ikut andil dalam menyebarkan radikalisasi keagamaan, maka deradikalisasi terorisme di dunia maya pun harus dilakukan. Indonesia harus mampu melawan isu dari kelompok radikal yang suka menebar kebencian dan anti terhadap kebangsaan. Hemat penulis, bila tidak segera ditangani radikalisme melalui media Ini, maka akan terus seperti hantu yang bergentayangan untuk tetap menebar teror.

0 komentar:

Posting Komentar