Cari Blog Ini

Kamis, 29 Juni 2017

Lindungi Masjid Kampus dari Propaganda Anti NKRI


Di masa keemasan Islam, sependek yang saya tahu, seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk masjid, tidak memiliki hak untuk menentukan imam rawatib (imam utama), khatib, maupun guru madrasah. Untuk dicatat bahwa dulu madrasah satu kesatuan dengan masjid sebelum akhirnya berdiri sendiri.
Pihak yang memiliki hak untuk itu semua adalah penguasa (ulil amri) yang tentunya dengan pertimbangan ulama. Soal imam, khatib, guru madrasah, dan amalan keagamaan; disesuaikan dengan apa yang dianut oleh masyarakat sekitar. Disesuaikan pula dengan madzhab mayoritas. Meski demikian, masyarakat tetap bebas jalankan shalat sesuai tata cara yg ia yakini. Pola pengaturan di atas hanya untk optimalisasi peran masjid kala itu.
Konteks sekarang bisa saja sudah berbeda. Tapi kita masih bisa ambil pelajaran dari masa lalu. Bahwa wakaf tak serta merta membuat seseorang punya kuasa penuh atas masjid.
Apa kaitannya dengan masjid kampus?
Masjid kampus (PTN) dibangun di atas tanah milik negara. Mungkin juga sebagian besarnya gunakan uang negara. Maka, wakaf sebenarnya kurang begitu relevan dg masjid kampus.
Namun saya hendak gunakan apa yg disebut dg mafhum muwafaqah/qiyas aula. Untuk yang tidak mendalami kajian ushul-fiqih, sebut saja dengan bunyi: Jika yang mewakafkan saja tidak punya kuasa penuh atas masjid, apalagi mereka yang bukan pewakaf. Tentu lebih tidak punya kuasa.
Sayangnya, sependek yang saya tahu, masjid dan musholla di PTN justru “dikuasai” dan dikendalikan sepenuhnya oleh pengurusnya. Oleh mereka yang (maaf) bukan pewakaf. Salah satu masjid kampus di Jawa Barat bisa kita jadikan contoh.
Kampus yang saya bahas ini sebelumnya memiliki dua masjid utama. Dua-duanya dijadikan media utama untuk sebarkan propaganda. Propaganda yang akhir-akhir ini disadari sebagai bentuk upaya untuk merongrong negara. Di belakang itu semua, tentu banyak peran dari para pengurus masjid. Kebanyakan juga merangkap menjadi anggota ormas tertentu.
Di masjid “negara” itu, hiasan dinding yang terpaku rapi banyak berisi sistem kekhalifahan, istilah2 kehalifahan, kutipan tokoh pejuang khilafah, lengkap dg ancaman bagi mereka yg tidak berhukum selain hukum Allah dlm level negara. Jika disepakati bahwa NKRI sudah final, maka propaganda ini bentuk ancaman tersendiri bagi keutuhan NKRI.
Khutbah jum’atnya juga tidak jauh berbeda. Saya mencukupkan diri hanya ikuti dua kali khutbah di masjid tesebut karena tidak “sreg” dengan materi khutbah. Mengutuki demokrasi, mencerca pemilu, mencerca sistem tata negara, menawarkan khilafah sebagai solusi. Disampaikan oleh khotib yg adalah dosen PNS. Dapat duit dari negara, sekaligus mengutuki negara. Ibarat makan dan berak di tempat yg sama.
Bagaimana dengan musholla?
Sama saja. Hanya oleh kelompok yg berbeda. Berbekal rajin ke musholla, lantas merasa menjadi penguasa musholla.
Jika dalam ranah diskusi dan kajian tentu tidak jadi soal. Namun ini mimbar keagamaan. Mimbar yang untuk sekian lama diposisikan anti-kritik. Dosen (apalagi mahasiswa) yang tidak sealiran dengan pengurus masjid, sulit untuk berbagi buah pikir di mimbar-mimbar tersebut. Penceramah dari luar kampus juga diseleksi yang sesuai. Kaderisasi pengurus masjid pun begitu. Hanya diloloskan sesiapa yg sepemahaman.
Jika kemudian K.H Said Aqil Siradj soroti bahwa radikalisme sudah masuk kampus melalui masjid-masjidnya, ada benarnya. Meski kyai Said akhirnya memilih minta maaf, tapi substansi ucapannya benar. Beliau sendiri ( juga kyai/ulama lain) pernah disudutkan di salah satu masjid tersebut.
Singkatnya, banyak sekali mahasiswa (dan dosen) yang masih anggap negara ini thoghut. Yang anggap NKRI sesat dan perlu diubah. Yang kafirkan ulama-ulama kita sendiri. Corong utamanya ya masjid/musholla tadi.
Kembali ke soal masjid kampus yang tadi dibahas. Kabarnya, kondisi sekarang sudah berubah. Meski ongkosnya tidak sedikit. Entah berkaitan atau tidak, sampai perlu masjid baru yang lebih besar dan megah. Seolah mengeliminir masjid sebelumnya. Kabarnya juga, yang terakhir ini bebas dari infiltrasi dan kecenderungan kelompok tertentu. Berdasar info yang saya terima, Rektor kampus sendiri yang mengawali khutbah Jum’at di masjid baru tersebut dengan mengutip ayat persatuan:
Berpegang teguhlah kalian dalam tali (ikatan) Allah, dan jangan tercerai berai!
Saya harap, masjid-masjid kampus lain juga lebih terbuka. Terbuka bukan hanya untuk shalat 24 jam, tapi juga terhadap pemikiran yang berbeda dengan pengurusnya. Di samping itu, kampus juga mesti waspada. Jangan sampai masjidnya digunakan sebagai corong untuk menggerogoti negara apalagi kafirkan sesama.

0 komentar:

Posting Komentar