Cari Blog Ini

Sabtu, 03 Juni 2017

Terorisme Bermodus Jihad

Oleh: Ahmad Ainur Rofik

Kerusakan negara Indonesia dewasa ini semakin parah, bak bola salju yang terus membesar. Permasalahan terus mengiringi negeri ini. Belum tuntas kasus korupsi dan pertarungan politik di Indonesia, kini muncul problematika baru yang membuat rakyat semakin gerah, yaitu kasus terorisme.


Kasus terorisme saat ini kembali marak di negara Indonesia, sehingga menambah keprihatinan seluruh rakyat. Sebut saja organisasi  Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).  Organisasi ini kembali berulah di Indonesia melalui  dunia maya. Dengan menebar ancaman kepada Badan Ansor Serbaguna (BANSER), Polisi, dan Tentara Negara Indonesia (TNI).

Sebelumnya, ancaman teror kepada Indonesia memang kerap terjadi. Sudah tentu, hal itu menyebakan Penduduk Indonesia merasa khawatir, apalagi dengan mewabahnya faham radikal, aksi-aksi pengeboman dan aksi-aksi terorisme lainnya. Kekhawatiran ini dirasakan oleh hampir semua lapisan, tidak terkecuali umat muslim pada umumnya.

Membahas tentang terorisme, memang terdapat berbagai perbedaan pandangan, di antaranya ada yang pro dan kontra. Bagi yang pro, terorisme itu dianggap merupakan bagian dari jihad. Sedangkan bagi yang kontra, terorisme dianggap sebagai sebuah tindak kejahatan, karena meresahkan banyak khalayak.

Terorisme = Jihad?

Terorisme dan jihad memeliki makna yang berbeda. T.P. Thorton  dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan, “terorisme sebagai penggunanan teror berupa tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara ekstra normal, khususnya dengan kekerasan dan ancaman kekerasan”.

Menurut pengertian syariat, jihad bermakna “pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain”. Salah satu bentuk perbuatan jihad yaitu memberi pengajaran terhadap seluruh manusia kepada jalan kebenaran dan mengembalikan tujuan dari penciptaan manusia yaitu sebagai khalifah fi al-ardh.

Berdasarkan pemaknaan tentang kedua istilah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan teror itu merupakan perbuatan yang menyimpang, meskipun dengan dalih akan menyebarkan agama. Misalnya, pengeboman di Bali, hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton di kawasan mega kuningan (Jakarta). Sebenarnya, mereka melakukan pengeboman dengan mendasarkan diri menyebarkan agama. Namun hal itu salah besar, karena terkesan sangat radikal. Padahal masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyebarkan agama. Sedangkan istilah jihad itu digunakan dalam menyampaiakan ajaran agama menggunakan metode praktis, sederhana, dan lemah lembut.

Berdasarkan pengalaman terorisme yang terjadi dipelbagai penjuru dunia, seperti peristiwa pengeboman di kota London 7 Juli 2005 sebagai salah satu aksi terorisme besar di Eropa yang pelakunya dikaitkan dengan al Qaeda. Selain itu, terdapat  kelompok Laskar e-Toiba, yang menurut pihak berwenang menjadi dalang di balik aksi terorisme Mumbai (India) tahun 2008 juga merupakan kelompok yang diasosia dengan al Qaeda. Hampir keseluruhan menggunakan dalil jihad sebagai sarana untuk “membentengi” diri. Padahal jika kita mempelajari apa itu “jihad”, maka tentu pengertian itu adalah salah besar.

Dari beberapa aksi teror yang kerap terjadi di Indonesia, sering kita dengar bahwa, perbuatan mereka merupakan bentuk dari ajaran agama Islam. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya jauh menyimpang dari syariat Islam. Misalnya jihad melalui tindak kekerasan dengan cara menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu, mereka juga menebarkan teror di tengah-tengah masyarakat sehingga mengganggu ketentraman.

Dalam sebuah artikel yang berjudul Islam dan Violence (Islam dan Kekerasan) Esposito membantah keras mengaitkan islam dengan aksi teror. Ia mengatakan, “The islamic tradition places limits on the use of violence and rejects terorism, hijackings and hostage taking” (tradisi ke-islam-an menetapkan batas-batas penggunaan kekerasan dan menolak terorisme, pembajakan dan penyanderaan).

Hal ini nampak, bagaimana teroris dalam melancarkan aksi teror selalu menimbulkan kerugian. Sebab, aksi teror itu menyebabkan hilangnya banyak nyawa seseorang dan merusak fasilitas-fasilitas umum. Namun, yang lebih parah dari tindakan ini yaitu semakin berkembangnya islamofobia.
Filtrasi Ajaran Islam

Islam sangat menjunjung tinggi perdamaian dan kerukunan. Islam tidak pernah menggunakan cara kekerasan dalam hal kebebasan melakukan ibadah sesuai dengan  keyakinan. Karena, dalam konsep Islam, esksistensi sebuah agama diakui meski bukan untuk dibenarkan.

Selain itu, Islam menyuruh kepada setiap pemeluknya agar saling menghormati satu sama lain terhadap hak-hak yang dimilki oleh setiap individu. Karena itu, Islam melarang adanya permusushan antar sesama, khususnya umat beragama, apalagi sampai  memunculkan pertumpahan darah. Akan tetapi, dalam kondisi di mana umat Islam ditindas dan mendapat berbagai macam fitnah yang akan membuat eksistensi sebuah agama menjadi buruk, maka Islam memperbolehkan untuk melakukan perlawanan sebagai bentuk ketidak adilan dan penghinaan terhadap agama.

Dewasa ini, mayoritas masyarakat muslim pengetahuan tentang agama mulai menurun. Sebab, mereka dalam memaknai konsep yang ada dalam Islam hanya dengan taqlid saja. Sehingga terjadi kejumudan berpikir terhadap pemahaman ajaran-ajaran Islam. Hal tersebut menjadikan umat muslim mudah terprovokasi untuk melakukan hal-hal negatif.

Selain itu, masyrakat muslim di indonesia mempunyai kecenderungan menilai seseorang dari segi penampilan. Mereka mengganggap bahwa orang yang berpakaian rapi mengenakan jubah layaknya para rasul dan sahabat dianggap sebagai pemuka agama. Pasalnya, hal itu kemudian dimanfaatkan oleh para teroris untuk berjihad menyampaiakan ajaran agama Islam secara radikal, dengan cara mencuci otak orang-orang Islam yang pengetahuan akan agama masih lemah.

Penulis adalah Mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam UIN Walisongo Semarang*
 

0 komentar:

Posting Komentar