Cari Blog Ini

Senin, 19 Juni 2017

Kalangan Kampus Terus Deklarasikan Perang Terhadap Radikalisme Agama


Kabar gembira bagi para pencinta Pancasila. Deklarasi ‘perang’ terhadap radikalisme kembali muncul dari kalangan kampus.
 
Kali ini, seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta se-Kalimantan melakukan deklarasi antiradikalisme di lingkungan kampus. Deklarasi itu dikumandangkan usai kuliah umum Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir di Universitas Borneo Tarakan, Tarakan, Kalimantan Utara, baru-baru ini. .
Menurut Menristekdikti, deklarasi Ini merupakan yang ketiga kalinya digelar setelah deklarasi serupa di Jawa dan Sumatera. Dan hal ini memang seharusnya dilakukan oleh perguruan tinggi yang mengemban amanat untuk menjaga empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.
Pihak Universitas dan rektorat harus bertanggung jawab terhadap penannggulangan radikalisme di kampusnya. Sehingga, lanjut Menristekdikti, jangan sampai ada mahasiswa maupun dosen yang terlibat dalam gerakan radikalisme.
Secara hukum, Menristekdikti menjelaskan telah ada Peraturan Pemerintah 53/2010 yang memuat aturan bahwa rektor maupun dosen yang terlibat gerakan radikalisme bisa diberhentikan. Selain itu, Kemristekdikti telah mempersiapkan formula pencegahan gerakan radikal dan intoleran yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan di kampus melalui program “General Education”. Program ini berusaha menanamkan wawasan kebangsaan dan pluralisme kepada warga kampus.
Deklarasi  perguruan tinggi  se-Kalimantan yang didorong oleh pemerintah itu menambah panjang deretan kalangan akademisi yang berpartisipasi melawan radikalisme. Sebelumnya, beberapa perguruan tinggi negeri juga sudah menegaskan penolakannya pada propaganda radikalisme atau promosi “khilafah Islamiyah” yang diusung ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Baru-baru ini, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya juga menegaskan pelarangan terhadap segala bentuk propaganda penegakan khilafah yang menolak Pancasila dan demokrasi di kampus tersebut.
Rektor ITS Prof Joni Hermana menegaskan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara wajib diikuti oleh bangsa Indonesia, termasuk umat Islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Apalagi, Pancasila dan UUD 1945  juga menjamin kebebasan bangsa Indonesia dalam menjalankan agama sebagaimana dalam Sila Pertama.
Untuk itu, Joni memandang apapun yang bertentangan dengan prinsip yang berlaku di negara ini, termasuk prinsip untuk meninggalkan demokrasi dan Pancasila serta menggantinya dengan khilafah adalah salah. Sebab hal itu adalah tindakan melawan negaranya sendiri atau makar.
Dan sebagai lembaga pendidikan tinggi milik pemerintah dan negara Indonesia, ITS harus patuh dan menjalankan landasan yang telah menjadi kesepakatan nasional untuk kehidupan kebangsaan. Karenanya ITS tidak akan membiarkan kegiatan apapun yang bertentangan dengan ideologi negara.
 
ITS bukan kampus negeri pertama yang melarang aktivitas propaganda Khilafah di dalam kampus. Sebelumnya, pimpinan Universitas Brawijaya di Kota Malang, Jawa Timur, juga telah melarang kegiatan dakwah yang digelar sekelompok mahasiswa. Rencananya, acara itu akan menghadirkan seorang pembicara dari Jakarta.
Pihak kampus mencium keterkaitan panitia penyelenggara dan calon pembicara dalam acara tersebut dengan HTI.
Akhir April lalu, Rektor Universitas Brawijaya juga tidak mengizinkan acara keagamaan yang digelar Lembaga Kajian Islam Al Fatih Muslim Drenalin (LKI-AMD), Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya. Rencananya, acara itu akan menghadirkan pendakwah dari Jakarta, Felix Siauw.
Lagi-lagi, acara itu tidak diizinkan karena diduga materinya terkait dengan ideologi HTI.
Beberapa perguruan tinggi lainnya pun melakukan hal serupa. Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, misalnya juga  menegaskan komitmennya untuk tidak mentolerir keberadaan dan dakwah HTI. Pihak Rektorat akan melakukan pengawasan menyeluruh terhadap mahasiswa sejak mereka masuk kampus agar tak tersusupi paham radikal.
Rektorat juga mengambil-alih pengelolaan masjid kampus untuk menangkal propaganda khilafah. Dan semua itu dilakukan UGM sebagai wujud komitmennya untuk menjadi benteng Pancasila, sebagaimana amanat Tri Dharma perguruan tinggi.
Di Yogyakarta, UGM tak sendiri. Kampus lainnya di Yogyakarta yang juga melarang aktivitas HTI adalah Institut Seni Indonesia (ISI). Rektor ISI Yogyakarta, Agus Burhan telah mengeluarkan deklarasi yang melarang segala bentuk penyebaran atau kampanye ormas di kampus, termasuk HTI dan partai politik. Rektor menegaskan ISI Yogyakarta sedang berupaya menjadi pelopor perguruan tinggi seni nasional yang unggul, kreatif, dan inovatif berdasarkan Pancasila.
Ratusan kilometer dari Yogyakarta ke arah barat, tepatnya di kota Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB) juga melakukan hal serupa. ITB  melarang kegiatan dan organisasi kemahasiswaan yang menginduk pada organisasi masyarakat, sosial, maupun politik manapun yang berasal dari luar kampus, terutama yang terkait dengan HTI.
Kebijakan kampus-kampus tersebut itu melarang aktivitas HTI dan propaganda khilafah sudah tepat. Sebab pemerintah memang sedang memproses pembubaran HTI. Maka, sudah selayaknya seluruh perguruan tinggi, terutama yang milik negara, mengikuti kebijakan pemerintah.
Lebih dari itu, sebagai bagian dari aparatus ideologi negara,  perguruan tinggi juga berfungsi melakukan ideologisasi Pancasila pada para mahasiswa. Maka sangat tak tepat apabila perguruan tinggi memberi ruang pada tumbuhnya ideologi anti Pancasila, terutama paham kekhilafahan yang dikumandangkan HTI.
Sudah seharusnya, kampus-kampus lainnya turut berpartisipasi dalam melawan radikalisme yang membahayakan Pancasila ini.

0 komentar:

Posting Komentar