Cari Blog Ini

Jumat, 16 Juni 2017

Menelisik Motif FPI dan Islam Garis Keras dibalik Kasus Ahok

Menelisik Motif  FPI dan Islam Garis Keras dibalik Kasus Ahok


Kerja cerdas dan keras Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meredahkan ketegangan akibat ajakan demo besar-besaran FPI dan kelompok Muslim Garis Keras lainnya nampak memberi dampak. Seperti diketahui, Jokowi telah bertemu Jenderal Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, juga rivalnya di Pilpres 2014. Jokowi juga bertemu pimpinan dan ulama dua ormas Muslim terbesar di Indonesia, yaitu Muhmmadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kepada media dan tokoh-tokoh agama telah dihimbau agar berperan aktif mendinginkan suasana. Pihak kepolisian dan TNI berkomitmen akan bekerja profesional menjaga dan mengawal kegiatan demonstrasi agar berjalan tertib dan damai. Pimpinan FPI juga memberi jaminan akan berlangsungnya demonstrasi damai. Suasana panas terasa mereda dan terkendali setelah para tokoh yang didekati Presiden bersepakat mengawal demonstrasi tidak anarkis. Presiden juga memberi penegasan tidak akan mengintervensi proses hukum yang sedang dilakukan atas sangkaan pelecehan agama oleh gubernur petahana, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Penegasan ini menjawab salah satu tuntutan demonstran. Meskipun demikian, dugaan saya tidak akan menghentikan niat para pendemo yang menargetkan 500-an ribu partisipan dengan tujuan akhir berdemo di istana. Mobilisasi demonstran dari berbagai daerah sudah berlangsung sehingga sudah pasti akan berlangsung sesuai rencana sebelumnya. Betapapun tuntutan mereka sudah terjawab. Menteri Koordiantor bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto mempertanyakan relevansi pelaksaan demo terkait telah terjawabnya tuntutan mereka. Pertanyaan kritis Jenderal Wiranto menarik, sebab nampaknya tujuan utama demonstrasi FPI bukan sekadar menaikkan tuntutan yang seharusnya sudah terjawab itu. Mereka akan tetap berdemonstrasi, termasuk di masa depan. Mengapa? Ada beberapa alasan. Pertama; perbedaan titik pijak. Jokowi mewakili negara melihat demonstrasi FPI dkk sebagai bentuk artikulasi kepentingan kelompok masyarakat yang lazim di negara demokrasi. Karenanya itu merupakan hak politik warga negara yang dilindungi konstitusi. Sementara, FPI dkk melihat demonstrasi sebagai protes atas ketidakadilan negara. Dalam hal ini, presiden dan aparat dianggap lamban menangani kasus Ahok sehingga demonstrasi dimaksudkan “memaksa” negara menegakkan keadilan. Demonstran sudah memiliki posisi dalam kasus ini sehingga yang dilakukannya adalah memaksa negara bergeser ke posisi mereka. Kedua; perbedaan tujuan. Tujuan Jokowi mengakomodir pilihan jalur demontrasi oleh demosntran adalah memelihara iklim demokrasi yang diatur dalam konstitusi (UUD’45). Yaitu kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Sementara, tujuan FPI dan teman-temannya adalah menangkap dan memenjarakan Ahok. Poin ini jelas menjadi salah satu tuntutan demosntrasi 4 November 2016. Perbedaan tujuan ini tidak mudah dipertemukan. Satunya berdiri kokoh di atas dasar negara dan kepentingan NKRI, sementara lainnya di atas dasar politik kepentingan dan kekuasaan primordial. Ketiga; dari aspek hukum dan fungsi ketatanegaraan, penanganan kasus hukum ini berada di tangan aparat hukum. Artinya sebagai kepala eksekutif Jokowi tidak punya kewenangan mengurus kasus Ahok. Proses hukum, sebagaimana dituntut oleh para demonstran pun, telah dan sedang dalam proses penyidikan. Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian di acara Mata Najwa yang disiarkan 2 November 2016, setidaknya 21 saksi dari berbagai unsur sudah dimintai keterangan, yaitu dari Kepulauan Seribu, dari unsur Staf Ahok, unsur ahli meliputi ahli bahasa, ahli agama, ahli hukum pidana, dsb. Bahkan, Ketua FPI, Habib Rizieq pun sebagai pelapor segera dipanggil untuk memberi kesaksian atas permintaannya sendiri sebagai saksi ahli. Ahok sebagai terlapor direncanakan dipanggil 7 November 2016 untuk diperiksa. Jadi, tuntutan pendemo sudah dilakukan, bahkan sebelum mereka menuntutnya. Dalam proses penyidikan ini apabila bukti-bukti mencukupi maka kasusnya dinaikkan ke tahap penuntutan. Tetapi, bila bukti tidak cukup maka kasus dihentikan. Di tahap penuntutan pun, apabila Jaksa (JPU) dapat menghadirkan bukti-bukti valid dan kuat maka pengadilan akan memutuskan status tersangka. Tetapi, bila JPU tidak bisa membuktikan dakwaannya maka terdakwa akan dibebaskan. Jadi, prosedur dan tahapan hukum negara cukup panjang. Sementara, dari sisi FPI, Ahok sudah terbukti bersalah. Prosedurnya sudah cukup di MUI, ketika memberikan interpretasi bahwa Ahok “secara meyakinkan” telah menista agama Islam. Dengan kata lain, bagi FPI “fatwa MUI” merupakan vonis (keputusan) yang memiliki kekuatan hukum tetap. Aparat negara seharusnya segera tindaklanjuti dengan mengeksekusi putusan itu, yaitu menangkap dan memenjarakan Ahok. Kelambanan aparat menangkap Ahok ditengarai sebagai indikasi “intervensi” kekuasaan yang melindungi Ahok, dan juga bentuk ketidakadilan negara terhadap kasus yang diadukan. Aspek praduga tak bersalah merupakan bahasa formal, bahkan azas penting dalam hukum negara. Sementara di mata hukum agama (Islam versi FPI dkk), Ahok sudah jelas bersalah menista agama, seperti yang sudah “diputuskan” oleh MUI. Karenanya harus dihukum. Tidak ada alternatif lain. Keempat; standar keadilan bagi Jokowi adalah proses yang sesuai hukum negara, dimana hak terlapor dan pelapor sama-sama dilindungi oleh undang-undang. Sementara keadilan bagi FPI adalah mengeksuksi keputusan MUI. Apa yang mereka anggap sebagai benar itu harus dianggap demikian pula oleh negara. Kelima; sulit mempercayai omongan bahwa rentetan demonstrasi ini tidak terkait Pilkada DKI 2017. Rekam jejak FPI, Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah yang berpartisipasi dalam demonstrasi ini penuh dengan semburan emosi kebencian dan penolakan Ahok sebagai gubernur. Sejak pelantikan Ahok-Djarot tahun 2014, yang bermuara pada pelantikan gubernur tandingan FPI. Fakta itu terlalu kuat untuk diabaikan seolah-olah gerakan ini murni karena penistaan agama. Berbeda dengan rekam jejak Ahok yang sejak menjadi bupati di Belitung Timur yang 90-an% warganya muslim, hingga menjadi Wakil dan kemudian Gubernur DKI, tidak terdeteksi adanya kebencian atau pelecehan kepada agama Islam. Bahkan, tidak sedikit hal positif dan membangun yang dilakukannya bagi Islam, seperti membangun masjid, meng-umrohkan para penjaga masjid, dsb. Apa artinya? Tujuan jangka panjang FPI dan kelompok pendukungnya adalah menjatuhkan Presiden Joko Widodo. Unsur-unsur dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya tidak berbeda dengan yang terjadi pasca pilpres 2014. Publik tentu masih ingat sebutan Amien Rais untuk pilpres sebagai “perang badar,” lalu berbagai kampanye hitam lainnya hingga penolakan terhadap hasil real countyang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Menjatuhkan Ahok, atau mendiskualifikasi Ahok dari Pilkada DKI 2017 hanyalah tujuan antara. Tujuan utama adalah mengambilalih kekuasaan. Impian negara Khalifah bisa jadi merupakan agenda tersembunyi. Jadi, dari sisi negara, rentetan demosntrasi dilihat sebagai “gerakan keagamaan” seperti yang dialaskan para pelakunya, tetapi dari sisi FPI dan para demonstran jelas-jelas motifnya politik. Kehadiran dua pimpinan DPR (meski disebutkan sebagai tidak mewakili DPR) Fadli Zon, Fahri Hamzah, juga politisi gaek Amien Rais, serta tokoh politik lainnya mempertegas kesimpulan ini. Dengan alasan-alasan di atas, FPI dan pendukungnya akan terus bergerak, berunjukrasa dan mengupayakan berbagai langkah politik praktis mengatasnamakan agama. Ketika bertemu Fadli Zon dan Fahri Hamzah di gedung DPR 28 Oktober 2016, Habieb Rizieq meyakini adanya intervensi Presiden Joko Widodo atas kasus penistaan agama oleh Ahok ini, dan meminta sidang istimewa MPR. Ini mungkin saja dibayangkan akan mengulangi sejarah sukses Amien Rais yang waktu itu sebagai Ketua MPR melengserkan Presiden Abdularhman Wahid (Gus Dur) tahun 2001. Inikah tujuan sesungguhnya dari FPI dan teman-teman sesama penganut Islam garis keras? Mungkin! Lalu, bagaimana sebaiknya? Pertama; FPI dan para pendukungnya harus belajar memahami bahwa proses hukum negara berbeda dengan hukum agama. Kekuatan hukum negara adalah pada bukti. Prosedur penetapan tersangka pun melalui sejumlah tahapan. Yang bisa dilakukan FPI dan pendukungnya adalah mencari bukti-bukti primer agar membantu aparat memperkuat dakwaan JPU. Dengan bukti-bukti yang kuat sudah pasti terlapor akan mendapakan kenaikan status menjadi tersangka. Negara tidak bisa dipaksa untuk membenarkan atau memenangkan salah satu pihak hanya karena tekanan. Betapa pun tekanan di seluruh penjuru negeri, selama tuduhan tidak memiliki bukti valid maka terlapor (Ahok) tidak dapat dituntut. Kedua; kalau motifnya politis, yang menurut saya tidak perlu disangkal lagi, maka bukankah akan lebih sportif bila mengalahkan Ahok di Pilkada? Bukankah FPI dan para pendukungnya selalu mengklaim diri sebagai kelompok mayoritas? Kalau demikian, mengapa takut Ahok yang statusnya double minoritas itu? Cukup mengarahkan suara mayoritas mendukung pasangan calon yang diinginkan maka dengan sendirinya Ahok kalah. Kenapa harus buang banyak energi dengan resiko tinggi mengurus seorang Ahok? Ketiga; komitmen FPI, HTI, dan berbagai organisasi garis keras pada Dasar Negara Pancasila, UUD’45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI harus dipertegas. Kampanye-kampanye mereka seperti memperjuangkan sistem Khalifah, Syariah dan nuansa primordial keagamaan lainnya sangat jauh dari idealisme ke-Indonesia-an yang sesungguhnya. Apabila ketiga hal di atas juga tidak dilakukan, maka harus menemukan motif sesungguhnya dari FPI dan para pendukungnya. Sesuatu yang nampak disembunyikan dari rentetan gerakan politik massa yang dilakukan secara sistematis. Padahal, gerakan dengan melibatkan massa dalam jumlah besar selalu beresiko menciptakan chaos, anarkisme dan ketidaknyamanan publik. Label yang melekat erat pada diri FPI dan konco-konconya. Terkesan kelompok ini selalu memaksakan kehendak dengan car-cara mobilisasi massa, dan makin intensif sejak awal pemerintahan Jokowi-JK serta Ahok-Djarot di DKI. Proses hukum atas kasus Ahok secara adil dan benar sesuai undang-undang tidak akan menghentikan gerakan politik kelompok garis keras ini. Bahkan, bila tuduhan mereka atas Ahok terbukti sehingga Ahok dihukum. Pun, bila berhasil melengserkan presiden Joko Widodo. Kalau demikian, apakah sesungguhnya motif FPI, HTI, Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah dan para penganut Islam garis keras di Indonesia?

0 komentar:

Posting Komentar