Cari Blog Ini

Rabu, 28 Juni 2017

Membandingkan Isi Khotbah Quraish Shihab Dan Bachtiar Nasir


Menarik memang salat Idul Fitri kali ini. Nuansa panas setelah Pilkada Jakarta yang membuat polarisasi atau perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Perpecahan ini bukan lagi persoalan SARA, tetapi sudah menjadi perpecahan antara mereka yang baik dan mereka yang jahat. Seperti dalam keyakinan kuno tiongkok, selalu ada yin dan selalu ada yang.
Kalau dalam memahami siapa yang yin dan siapa yang, sudut pandang dan berdiri di pihak yang mana akan menjadi penentu. Jika kubu yang satu menganggap bahwa kubunya yang baik, maka kubu yang satu lagi menganggap kubunya lah yang baik dan benar.
Semua menjadi terpecah karena politisasi surat Al maidah 51. Dimana kubu yang satu meyakini bahwa pemimpin haruslah beragama Islam (tanpa konteks) dan yang lain meyakini bahwa pemimpin tidaklah dilihat dari agamanya (dengan konteks). Itulah mengapa polarisasi terpecah antara mereka yang menolak Ahok karena non muslim dan mereka yang menerima Ahok meski dia non muslim.
Polarisasi ini terasa ketika politisasi masjid pun menjadi pemicu yang massif mengenai tafsir surat Al Maidah 51. Bahkan salah satu calon Gubernur, kita sebut saja namanya Anies Baswedan, di acara Mata Najwa memiliki pandangan bahwa pemimpin memang haruslah beragama Islam. Tanpa menunggu waktu yang lama, perpecahan pun terjadi.
Bangsa terluka dan terciderai karena sudah lagi bukan sekedar wacana tetapi sudah menjadi kenyataan. Seorang nenek menjadi korban tidak dishalatkan jenazahnya di masjid gara-gara dia mendukung Ahok. Peristiwa yang akhirnya membuat Anies “terpaksa” membuat seruan penolakan aksi spanduk diskriminasi pendukung Ahok.
Semua sudah terlanjur terjadi. Luka yang sampai saat ini belum juga pulih dengan sempurna. Apalagi, tukang provokasinya masih ada dan masih terus bersuara lantang. Itulah mengapa, ketika Quraish Shihab menjadi khatib untuk salat Id di Masjid Istiqlal, penolakan dari kubu bumi datar dan kaum intoleran bergema.
Tetapi kalau yang menjadi khatib adalah Bachtiar Nasir, Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI dan Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), mereka anteng-anteng aja. Bagaimana tidak, Bachtiar ini adalah salah satu pimpinan mereka dan juga salah satu penyokong dana.
Lalu apa yang pada akhirnya dikhotbahkan oleh dua khatib ini?? Sekali lagi, karena berbeda kubu, maka isi khotbahnya pun akan terpusat pada perbedaan tersebut. Berikut perbedaanya:
Jika ingin melihat naskah khotbah secara penuh dari Qurasih Shihab silahkan ke sini. Tetapi secara garis besar akan saya tampilkan outlinenya.
PENDAHULUAN
Allah Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.
Dengan takbir dan tahmid, kita melepas Ramadan yang insya Allah telah menempa hati, mengasuh jiwa serta mengasah nalar kita. Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan suci dengan hati yang harus penuh harap, dengan jiwa kuat penuh optimisme, betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya situasi. Ini karena kita menyadari bahwa Allah Maha Besar. Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Musyawarah demi Kemaslahatan

Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain. Pertama, kesatuan seluruh makhluk karena semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “wahdat al-wujud/Kesatuan wujud” – dalam pengertiannya yang sahih.
Kedua, kesatuan kemanusiaan.
Ketiga, di pusat tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Dan karena itu pula, pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, berkata: “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaannegaraan, tidak wajar ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama.”
Kesadaran tentang kesatuan dan persatuan itulah yang mengharuskan kita duduk bersama bermusyawarah demi kemaslahatan dan itulah makna “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan”. ْ
Akhirnya, walau bukan yang terakhir, perlu juga disebut kesatuan jati diri manusia yang terdiri dari ruh dan jasad.

Iblis dan Hoax

Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar tentang peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebarluaskan fitnah dan hoax serta menanamkan perilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.
PENUTUP
Akhirnya, mari kita jadikan ‘idul fithri, sebagai momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatupadukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.
Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.
“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian. Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm.
Lalu bagaimana dengan isi khotbah Bachtiar Nasir??
Tidak ada naskah lengkapnya yang sudah saya telusuri. Mungkin karena tidak pakai naskah khotbahnya. Tetapi Bachtiat dalam khotbahnya menyinggung mengenai Pilkada Jakarta, lalu ada juga menyinggung masalah kebangkitan umat Islam dalam aksi 212, lalu juga menyinggung surat Al Maidah 51. Berikut kutipannya dari beberapa media.
“Walau ada yang menuduh Pilkada Jakarta adalah pilkada yang berbau SARA tapi itu hanyalah orang-orang munafik yang gagal memahami,” kata Bacthiar di lapangan masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (25/6).
“Bukan cuma masjid Al-Azhar yang iktikafnya meningkat 100 persen. Rata-rata peningkatan jemaah iktikaf, sampai 100 persen, bahkan di beberapa masjid meningkat 200 persen. Ini pertanda, jangan salah paham dengan kondisi ini,” ujar Bachtiar.
“Tidak ada lembaga atau seorang pun yang mengerakan ini karena ini ibadah. Dan peningkatan jemaah subuh, dan ini salat yang paling berat bagi orang munafik.”
“Banyak orang ber-KTP Islam mengaku muslim, salat bahkan haji dan berumrah. Tapi orang-orang yang mengaku Islam ini banyak tidak yang memikirkan Islam dibenaknya,” kata Bachtiar.
“Karena dalam surat Al-Maidah kita tidak bisa main-main dalam memilih pemimpin. Siapapun pemimpinmu lama-lama akan cara berpikirmu sama dengan pemimpinmu,” katanya.
Membandingkan kedua isi khotbah ini pada akhirnya membuat kita memahami mana yang ilmu tafsir dan pemahamannya yang dalam dan menyeluruh. Mana yang sedang mengajarkan fitrah yang sebenarnya dan mana yang masih sibuk khotbahkan Pilkada Jakarta dan surat Al Maidah 51.
Saya jadi teringat saat seseorang mengajarkan kepada saya perbedaan level kedalaman keIslaman seseorang. Jika levelnya seperti Gus Dur dan Quraish Shihab dan yang sealiran, maka mereka itu disebut Islam yang tinggi dan luhur. Karena sudah sampai kepada pemaknaan Islam yang sesungguhnya yang berarti damai, selamat, tunduk, dan bersih.
Sedangkan model FPI dan yang sealiran adalah islam level rendah. Islam yang bahkan tidak bisa memahami makna Islam yang berarti damai, selamat, tunduk, dan bersih. Karena itu, sikap dan tingkah mereka penuh kebencian dan menyebarkan sikap-sikap kebencian tersebut. Sayangnya, malah yang beginian yang kemarin berhasil memprovokasi umat dalam aksi 212.
Level kedalaman inilah yang membuat seseorang berbeda pada akhirnya memahami #ArtiRamadhan. Lalu yang manakah kita??
Salam Khotbah.

0 komentar:

Posting Komentar