Pernyataan Pemerintah yang diwakili Menko Polhukam Wiranto untuk membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI mulai mendapat perlawanan balik dari kelompok ini. Perlawanan balik ini dimunculkan dalam bentuk buletin yang mereka biasa bagikan selepas Sholat Jum’at di masjid-masjid.
Dan memang tidak terbatas kepada masjid manapun, apakah milik NU, atau Muhammadiyah, aktivis HTI selalu bercokol di sana dan menyebarkan “ideologi” mereka melalui artikel-artikel yang termuat di buletin dakwah yang mereka namakan “Al-Islam.”
Dan Jum’at ini pun, 12 Mei 2017, aktivis HTI mulai membagi-bagikan buletin “Al-Islam” tanpa terkendala. Yang menarik, dalam artikel yang bertajuk “Khilafah Ajaran Islam, Mengapa Dikriminalkan ?” HTI menolak keras upaya pembubaran kelompoknya oleh pemerintahan Jokowi. HTI seperti biasa mengetengahkan jargon-jargonnya tentang pentingnya mendirikan sistem Khilafah. Bahkan, HTI menyatakan bahwa mendirikan sistem Khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam.
Lantas, HTI menilai upaya-upaya membubarkan gerakan-gerakan yang pro khilafah sama artinya upaya-upaya “mengkriminalisasi” ajaran Islam. Oleh karenanya, HTI memertanyakan rezim dan pemerintahan Jokowi, mengapa mendakwahkan gagasan Khilafah, yang merupakan ajaran Islam dipersoalkan ? Tidakkah ini menunjukkan bahwa rezim ini anti Islam sekaligus justru anti Pancasila ? Tulis mereka dalam buletin tersebut.
Hizbut Tahrir memang kelompok “abu-abu” tak langsung menyuarakan penolakan Pancasila, namun gerakan-gerakannya membuat kita bertanya-tanya, bagaimana komitmen mereka sesungguhnya terhadap Pancasila dan 3 pilar berbangsa lainnya ? Yang terlihat paling kentara, Hizbut Tahrir adalah kelompok transnasional yang getol menyuarakan berdirinya sistem Khilafat dan mengharamkan sistem atau ideologi selain daripada Islam. Menurut anggapan mereka, Islam sendiri diperlakukan sebagai ideologi yang dilawankan dengan ideologi-ideologi lainnya.
Pesan-pesan Hizbut Tahrir termuat dalam dakwah-dakwah Felix Siauw, salah satu tokoh pentolannya di tanah air. Felix pernah menulis cuitan di twitter, “nasionalisme tidak ada anjurannya, tidak ada perintahnya.” Felix tidak menyadari adanya Republik ini karena rasa “nasionalisme” para pendahulu kita dan founding fathers yang berhasil memerdekakan negeri ini. Tentu apa yang dikatakan Felix berbanding terbalik dengan contoh dari Rasul sendiri. Bagaimana sikap Rasulullah Saw ketika meninggalkan kota Mekkah berhijrah ke Madinah ? Beliau menangis dan berkata “aku akan kembali ke tempat tercinta ini”. Sikap Rasulullah Saw ini menunjukkan kecintaan Beliau terhadap tanah kelahirannya.
Dan sesungguhnya langkah yang ditempuh oleh pemerintah kali ini bukan yang pertama kali. Penolakan terhadap kelompok Hizbut Tahrir banyak terjadi, justru di negara-negara yang mayoritasnya muslim atau bahkan negara-negara Islam. Negara-negara yang melarang aktivitas Hizbut Tahrir hingga saat ini antara lain Mesir, Suriah, Pakistan, Tajikistan, Kirgistan, Bangladesh, Malaysia, Turki, Yordania, Arab Saudi, Libya dan lain-lain. Jadi, tuduhan Hizbut Tahrir kepada pemerintah sebagai rezim anti Islam tidak berdasar. Bukankah justru yang  menolak mereka adalah negara-negara Islam sendiri atau mayoritas penganut Islam?
Dalam setiap unjuk rasa, apapun tema unjuk rasanya, apakah unjuk rasa kenaikan BBM, atau bahkan unjuk rasa anti Ahok sekalipun,  HTI selalu mengusung spanduk, dengan tulisan-tulisan besar yang serupa, “Tegakkan Khilafah ! atau “Khilafah adalah solusi !” Apa sih yang sesungguhnya mereka suarakan ?
Kemunduran atau runtuhnya sistem Khilafah yang mereka rujuk adalah runtuhnya sistem Khilafah Utsmani atau Kekhalifahan Turki Ottoman. Lihat saja respon kelompok ini terhadap keruntuhan Khilafah Utsmaniyah (Ottoman) pada 1924 lalu. Mereka meratapinya, menyalahkan Mustafa Kemal (Bapak Pendiri Turki Modern) Sang penghapus sistem khilafat sebagai agen Yahudi, bahkan menelisik asal-usulnya (yang menurut mereka adalah seorang keturunan Yahudi). Tidakkah mereka melihat peran pendiri Negara Saudi dalam pelemahan Kekhalifahan Utsmaniyah, misalnya ? Intinya, mereka selalu menyalahkan pihak eksternal untuk segala kelemahan yang menimpa umat Islam.
Jadi, sistem Khilafah yang katanya adalah solusi atau “panasea” terhadap segala permasalahan adalah solusi utopis. Tidak benar-benar jelas sesungguhnya apa yang HTI tawarkan sebagai solusi bagi umat. Bagaimana konsep sistem Khilafat itu sendiri ? Selanjutnya bagaimana pula teknis dan prosedurnya mengangkat seorang Khilafah ? Bagaimana pula dengan roda pemerintahan yang nantinya akan dijalankan ? Lembaga-lembaga di bawahnya ? Poin-poin tersebut masih nampak sangat samar. Namun, mereka tak memersoalkan hal itu. Bagi mereka, tentu saja yang paling penting adalah jualan mereka laris, yakni Sistem Khilafah.