Cari Blog Ini

Senin, 05 Juni 2017

Radikalisme, Terorisme dan Wahabisme Musuh “BARU” Umat Manusia

ARN001200400151181_Radikalisme_di_Indonesia

Arrahmahnews.com -Artikel, Radikalisme, terorisme dan wahabisme kini menjadi musuh "baru" umat manusia. Meskipun akar radikalisme telah muncul sejak lama, namun peristiwa peledakan bom, gerakan radikal dan euphoria wahabi atas kemunculan extrimis ISIS akhir-akhir ini seakan mengantarkan fenomena ini sebagai "musuh kontemporer" sekaligus sebagai "musuh abadi". Banyak pihak mengembangkan spekulasi secara tendensius bahwa terorisme berpangkal dari fundamentalisme dan radikalisme agama, terutama Islam. Tak heran jika kemudian Islam seringkali dijadikan 'kambing hitam'. Termasuk dan terutama pada kasus bom paling fenomenal: WTC, Boston Marathon, JW Marriot, bom Bali 1 dan 2,  serta aksi teror lainnya seperti yang sekarang sedang melanda negara-negara timur tengah, ISIS dan Jabha Nusroh.
Namun demikian, tidak sedikit pula yang percaya bahwa motif radikalisme dan terorisme tidaklah bersumber dari aspek yang tunggal. Kesadaran ini membawa keinsyafan bahwa upaya penanganannya juga tidak bersifat parsial, namun perlu pendekatan komprehensif secara integral.
Berbagai kemungkinan motif teror memang sepatutnya perlu diwaspadai. Karena kenyataannya diakui atau tidak terorisme nyata-nyata terus menghantui, walaupun beberapa pelaku aksi terorisme sudah ditemukan. Dalam konteks Indonesia, misalnya, dalam kurun waktu antara 1962-2012 tercatat puluhan kali aksi peledakan bom. Dari sekian peristiwa peledakan bom yang terjadi, adanya motif yang bernuansa agama memang tak bisa dipungkiri. Namun demikian, motif politik dan kepentingan intelijen justru yang paling banyak terkuak, selain motif kriminal murni.
Terlepas dari berbagai motif itu, penting pula untuk melihat terorisme dari "perspektif lain". Perspektif baru mengenai teror seringkali dibuat terlalu sederhana atau bahkan simplistis. Namun dalam konteks lain, teror sejatinya tidak semestinya hanya dipandang sebatas peristiwa peledakan bom, tapi juga teror lainnya yang juga mengancam rasa aman masyarakat. Termasuk dalam kategori teror ini adalah korupsi, bahaya narkoba, dan ancaman kemanusiaan lainnya seperti penganguran, penggusuran, dan aksi-aksi penyesatan dan pengkafiran golongan tertentu.
Peran negara dalam menjamin rasa aman warga negara menjadi demikian vital. Karena itu, beragam peristiwa yang melahirkan ketidakamanan seperti teror peledakan bom perlu mendapat perhatian tersendiri. Negara harus benar-benar serius memikirkan upaya untuk melawan radikalisme dan terorisme yang kini kian menggejala. Beberapa agenda strategis yang dapat disiapkan antara lain: reformasi sektor keamanan, pembenahan regulasi keamanan, reorientasi pendidikan, dan kampanye sosial-kultural secara massif. Agenda ini boleh jadi bukan sesuatu yang baru, tapi sudah menjadi bagian program yang telah dan sedang dilakukan oleh beberapa pihak. Namun demikian, point terpenting dari upaya untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme adalah dengan memperkuat dan mempererat “rantai” keinsyafan bersama baik di level struktural maupun di ranah societal untuk menjadikan radikalisme dan terorisme sebagai musuh bersama.
Kata Kunci: Terorisme, Radikalisme, Institusi Keamanan, Reformasi Sektor Keamanan, Human Security.
Pendahuluan
Sebagai negara dengan komunitas Islam terbesar di dunia, Indonesia seringkali harus menjadi ‘tertuduh’ dalam beragam aksi teror yang kerap menyeruak akhir-akhir ini. Pengaitan-pengaitan peristiwa peledakan bom di tanah air dan dunia hampir selalu pertama kalinya dikaitkan dengan “fundamentalisme Islam”. Contoh paling dekat misalnya pada peristiwa Charlie Hebdo, militan ISIS dan Jabha Nusroh yang serta-merta juga dikait-kaitkan dengan gerakan fundamentalisme Islam. Fenomena ini seolah mengingatkan kembali peristiwa bom WTC yang amat mengharu biru itu. Presiden Amerika saat itu, George W. Bush, langsung menyebut Osama bin Laden sebagai representasi umat Islam yang dituding menjadi dalang. Pernyataan serupa juga pernah dilontarkan Dubes Amerika, Ralph Boyce yang secara spontan menuduh jaringan Al-Qaidah berada di balik teror bom Bali. Ralph Boyce bahkan menyebutkan keberadaan jaringan terorisme internasional Al-Qaidah  itu telah beroperasi di Indonesia. Sementara pemimpin senior Singapura saat itu, Lee Kwan Yew bahkan mengatakan Indonesia sebagai sarang teroris. Tak heran pula jika kemudian Indonesia menjadi sorotan dunia dalam konteks isu terorisme.
Benarkah ajaran Islam dapat menjadi spirit radikalisme dan terorisme? Benarkah Indonesia menjadi bagian dari simpul jaringan terorisme internasional? Apa sesungguhnya yang menjadi sumber dan akar masalah radikalisme dan terorisme? Lantas bagaimana strategi penanganan yang perlu disiapkan untuk melawan radikalisme dan terorisme di Indonesia? Tentu masih banyak rentetan pertanyaan yang perlu dikemukakan sekaligus perlu disiapkan jawabannya secara memadai.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk menjawab segala ikhwal radikalisme dan terorisme secara komprehensif. Risalah kecil ini hanya ingin mencoba untuk turut “merajut benang kusut” radikalisme dan terorisme dengan mengulas dan mendeskripsikan problematika keduanya serta menggali sumber dan akar persoalan yang melahirkannya. Berdasarkan deskripsi ini, penulis juga ingin berupaya menawarkan sejumlah alternatif solusi dengan mengemukakan beberapa agenda untuk melawan radikalisme dan terorisme, terutama dalam konteks Indonesia.
Merajut Benang Kusut Radikalisme dan Terorisme
Meski terpidana mati kasus bom Bali telah dieksekusi pada 9 November 2008, namun tidak serta merta semua orang percaya sepenuhnya bahwa Amrozi cs. adalah pelaku bom Bali yang sebenarnya. Informasi dari sejumlah media setidaknya dapat menjadi penanda bahwa wacana atas ketidakpercayaan ini tetap mengemuka. Aktivis Law and Government Watch Jakarta, Hendriawan Pujianto, misalnya, menuliskan kesangsiannya dalam harian Jawa Pos. Menurut Pujianto, sebagian besar informasi yang disampaikan kepada publik adalah opini para penyidik tersangka Amrozi dan kawan-kawan yang kemudian difaktakan sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi informasi yang berasal dari fakta-fakta empiris.
Padahal, penyidik dalam perkara terorisme di Bali bukanlah institusi independen, netral, dan mandiri, namun tampak sarat dengan kepentingan ekonomi-politik RI dan Amerika. Dalam kenyataannya, liputan media dan informasi yang disampaikan sebagai news mengenai gerakan terorisme sangat sarat kepentingan politik, supremasi dan subordinasi Amerika. Hampir semua liputan pers dan media massa tentang terorisme bermuara pada kamus besar negara adikuasa itu. Dalam hal ini, terorisme itu hanya diartikan sebagai aksi-aksi kekerasan yang mengancam kepentingan Amerika dan negara-negara sekutunya.[1]
ARN001200400151180_Radikalisme_di_IndonesiaSinisme terhadap tingkah-polah Amerika dalam kaitannya dengan kampanye anti terorisme dapat dengan mudah kita temui di sejumlah media, terutama media internet. Sebagian besar wacananya menyebutkan bahwa Amerika sebagai dalang yang membuat konspirasi teror global.[2] Salah satu sumber bahkan menyebutkan bahwa “Ketika kita sekarang berbicara tentang terorisme, sebenarnya kita sudah terjebak pada wacana yang dimunculkan Amerika yang menjadi agenda setter dalam wacana terorisme ini. Ketika negara adidaya itu merekayasa peristiwa 11 September 2001 disusul dengan kampanye anti-terorisme internasional. Amerika telah menciptakan dua aktor teroris sekaligus, yakni Al-Qaidah untuk tingkat internasional dan Jamaah Islamiyah (JI) untuk tingkat regional Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Berkat dukungan media massa, Amerika berhasil menciptakan opini publik tentang bahaya terorisme, sehingga terorisme menjadi agenda publik yang memunculkan kebijakan publik di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.[3]
Senada dengan itu, sebuah survei yang dilakukan Gallup’s Centre for Muslim Studies menyimpulkan bahwa perang melawan terorisme yang dilancarkan Amerika di seluruh dunia, justru menimbulkan sikap radikal bagi sebagian umat Islam dan menyebabkan makin meningkatkan sikap anti Amerika. Survei ini melibatkan 10 ribu umat Islam di sepuluh negara yang mayoritas penduduknya muslim. Dari hasil survei itu diketahui, seandainya pun peristiwa serangan 11 September benar dilakukan orang Islam, tujuh persen responden tetap percaya kebencian pada Amerika akan tetap ada dan kelompok-kelompok radikal tetap akan bermunculan. Fakta lainnya yang terungkap dalam survei Gallup adalah, masalah agama ternyata hanya sedikit kaitannya dengan munculnya sikap radikal atau sikap antipati terhadap budaya Barat. Umat Islam hanya tidak menyetujui budaya-budaya Barat yang menunjukkan kerusakan moral, tapi mereka mengagumi wacana kebebasan berbicara, ide kebebasan, sistem demokrasi dan perkembangan teknologinya.[4]
Hasil survei Gallup tersebut sekaligus menjawab pemikiran negatif para politisi Barat yang menganut teori bahwa orang-orang radikal dan fundamentalis adalah mereka yang fanatik pada agamanya, miskin, putus asa dan hatinya penuh kebencian. “Teori-teori itu semua salah. Kami menemukan bahwa orang-orang Islam yang radikal hampir sama dengan orang-orang Islam yang moderat. Kalau Barat ingin merangkul para ekstrimis dan memberdayakan mereka yang moderat, Barat-lah yang harus pertama tahu siapa yang akan dihadapinya,” kata para peneliti Gallup. Profesor bidang agama John Esposito dan Direktur Gallup untuk studi Islam Dalia Mogahed dalam salah satu analisanya bahkan mengatakan, “Barat seringkali menuding ajaran agama yang telah mempengaruhi pandangan radikal dan kekerasan. Tapi data yang ada mengungkapkan hal yang sebaliknya.”[5]
Nada serupa ternyata bukan saja dikemukakan oleh “pihak Islam”. Indikasi konspirasi internasional untuk melemahkan bangsa Indonesia melalui kasus bom Bali juga dikemukakan Ketua Kadin Bali, I Ketut Gde Wiratna. Menurutnya, kasus bom Bali tidak ada hubungannya dengan agama. Gde Wiratna menuturkan bahwa di Bali, Hindu dan Islam sangat dekat, sangat akrab, bahkan berdirinya beragam budaya di Bali selalu terkait dengan dukungan umat Islam sehingga di Bali begitu banyak komponen dan komunitas muslim karena diberikan hak oleh raja-raja di Bali.
Terkait dengan masalah terorisme, ada kepentingan untuk melemahkan Indonesia melalui cara ini. Tampaknya, banyak negara yang khawatir bila demokratisasi di Indonesia menghadirkan Indonesia yang kuat. Kekhawatiran negara lain yang tidak suka Indonesia menjadi kuat. “Indonesia ini negara yang seksi. Namun, banyak pihak tidak menghendakinya menjadi kuat. Sebab, kalau Indonesia kuat, banyak yang merasa kepentingannya akan terganggu karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Maka itu, terjadinya berbagai upaya yang melemahkan Indonesia,” ujarnya.[6]
ARN001200400151183_Radikalisme_di_IndonesiaWacana-wacana yang melukiskan konspirasi dan viktimisasi Islam oleh Barat kini berkembang seiring membuncahnya wacana anti terorisme. Di satu sisi hal ini memang bisa dianggap penting sebagai wacana penyeimbang (counter discourse) di tengah gencarnya kampanye anti terorisme yang bias Amerika. Namun demikian, hal ini di sisi lain ada bahayanya sendiri karena sikap ini dikhawatirkan justru akan membuka pintu bagi munculnya aksi-aksi kekerasan. Dalam konteks ini, Ulil Abshar-Abdalla mengingatkan agar umat Islam bersifat lebih terbuka dengan tidak hanya bersandar pada semangat self denial yang defensif. “Yang tidak boleh kita lupakan dalam melihat masalah Bali adalah ini sudah menjadi masalah internasional. PBB sudah mendorong semua negara untuk membantu Indonesia mengusut masalah ini, dan negara-negara yang lain juga sudah menganggap ini bukan masalah Indonesia, tetapi adalah masalah internasional. Oleh karena itu, menurut saya, kita ini perlu mempunyai mental switch, tidak defensif dengan selalu mengatakan ini bukan ulah umat Islam. Umat Islam adalah umat yang baik, umat Islam tidak mungkin berbuat kejahatan serta berbagai sikap apologetik lainnya yang justru tidak membantu untuk mengatasi masalah terorisme yang dimensinya sudah sangat global ini,” ujarnya.[7]
Dalam kaitan itu, Syafi`i Ma`arif menyebutkan bahwa gerakan radikal Islam memang ada di Indonesia. Faktor kemunculannya bisa berbagai macam: dari kekuasaan yang otoriter, rasa keadilan yang tidak ada, hingga berkembangnya penyakit sosial di masyarakat. “Tapi ada juga radikalisme yang lahir dari sebuah rekayasa. Jadi keberadaannya sengaja dibentuk oleh kelompok tertentu untuk tujuan tertentu,” ucapnya. Menurut mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah itu, kelompok radikal adalah orang-orang nekat yang tak mampu memetakan masa depan dirinya. Mereka kecewa dengan situasi yang tak kondusif. Mereka juga kesal dengan tersumbatnya saluran komunikasi. Itulah sebabnya, mereka muncul menjadi gerakan radikal. Pertanyaannya, adakah hubungan yang signifikan antara radikalisme dan terorisme? Ini perlu pembuktian. Syafi`i meminta semua pihak tidak sembarangan memberi penilaian atau memberi label sebuah kelompok sebagai gerakan radikal. “Semua harus dibuktikan. Sebab, radikalisme bisa saja dilakukan secara perorangan, berkelompok, atau bahkan oleh suatu negara,” kata Syafi`i.[8]
ARN001200400151179_Radikalisme_di_Indonesia
Sejalan dengan itu, Saiful Mujani mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan kasus terorisme di Indonesia, penganut teologi puritan yang seringkali disebut radikal tidak berbanding lurus dengan intoleransi dan kekerasan. Mengapa bisa begitu? Dalam penelusurannya, Mujani justru menemukan bahwa sepanjang mereka bersentuhan dengan gagasan toleransi, pluralisme, demokrasi, kebebasan beragama, dan seterusnya, penganut teologi puritan cenderung menjadi toleran dan mengapresiasi kelompok lain. Temuan ini dapat disimpulkan bahwa teologi puritan dan sikap radikal dalam beragama tidak serta merta berpengaruh pada perilaku teror karena hal itu bukan faktor determinan dalam gejala radikalisme agama. Lebih jauh, Saiful Mujani juga mencoba mencari kaitan antara gejala puritanisme kelompok Islam dalam kaitannya dengan propaganda anti terorisme yang dikembangkan Amerika. Menurut Mujani, sentimen negatif terhadap Amerika muncul dalam proporsi yang cukup signifikan, meski variasi anti-Amerika itu lebih besar ditemukan dalam bentuk sikap.[9]
Karena itu, untuk menjelaskan fenomena terorisme tentu tidak cukup dengan penjelasan dari dimensi agama, terutama radikalisasi dan fundamentalisme agama semata. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa perlu pendekatan yang lebih komprehensif untuk melihat fenomena ini. Menurut Azyumardi, untuk memahami fenomena terorisme tidak hanya dilakukan melalui tindakan berbasis keagamaan, tindakan yang bersifat peningkatan kesejahteraan ekonomi dan perlindungan sosial juga harus dilakukan secara bersamaan. “Kalau dilihat akar radikalisme itu sendiri muncul dari ketidakadilan. Bukan hanya akibat tindakan oligarkhi pemerintah Amerika Serikat, persoalan kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang membelenggu kalangan umat juga menjadi penyebabnya. Kita seharusnya tidak hanya bergerak dalam satu sektor, misalnya hanya mengambil tindakan yang bersikap keagamaan, tapi harus lebih komprehensif” tegasnya.[10]
Berbagai kemungkinan atas motif teror memang sepatutnya perlu diwaspadai. Karena kenyataannya diakui atau tidak terorisme di Indonesia nyata-nyata terus menghantui, walaupun beberapa pelaku aksi terorisme sudah ditemukan. Dalam kurun waktu antara 1962-2009 tercatat puluhan kali aksi terror dalam bentuk peledakan bom di Indonesia.[11]
Dari sekian banyak peristiwa peledakan bom yang terjadi, adanya motif yang bernuansa agama memang tak bisa dipungkiri. Namun demikian, harus diakui bahwa motif politik dan kepentingan-kepentingan intelijen ternyata justru yang paling banyak terkuak, selain motif lainnya yang bersifat kriminal murni.
Mantan Kepala Badan Inteljen Negara (BIN) AM. Hendropriyono tak menyangkal adanya nuansa kepentingan intelijen dalam berbagai aksi peledakan bom, namun ia lebih percaya bahwa berbagai motif itu tak lepas dari akar ideologis dan filosofis baik yang bersifat ontologis maupun epistimologis. Hendropriyono melukiskan aksi terorisme dengan mengibaratkannya sebagai sebuah pohon. Menurutnya, para teroris hanya merupakan daun-daun dari pohon tersebut, sementara batang dan ranting-ranting pohon merupakan organisasinya, serta filsafat dan ideologi adalah akarnya. Melalui bukunya yang berjudul “Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam” Hendropriyono memakai teori filsafat Ludwing Wittgenstein untuk menjelaskan akar-akar terorisme, yang antara lain terwujud dalam pola permainan bahasa teror yang khas. Dalam bukunya ini, Hendropriyono menyatakan, hanya lewat kajian filsafat, kita bisa menyusun metode, strategi dan taktik yang tepat dalam usaha menumpas terorisme. Kajian sejarah yang juga dilakukan menunjukkan, terorisme juga tak cuma kenal di dunia Islam. Gerakan terorisme global juga ada di antara kaum fundamentalis agama-agama samawi lain, termasuk Yahudi dan Kristen.[12]
Menurut Hendropriyono, fundamentalisme merupakan fenomena global, yang dapat ditemui di semua agama-agama besar dunia. Ketika perspektif politik dunia dibatasi pada relasi Islam-Barat, maka perspektif itu bagi sebagain orang yang berbicara tentang fundamentalisme berarti melakukan tuduhan. Fundamentalime tidak menunjukkan keyakinan-keyakinan agama, tetapi lebih merupakan pandangan sosio-politik, yakni masalah yang menyangkut urusan negara, masyarakat dan dunia politik. Akan tetapi masalah itu dewasa ini seringkali diartikulasikan melalui atau dengan simbol-simbol agama.
“Pada hakikatnya, akar dari terorisme memerlukan tanah untuk hidup. Dan kesuburan tanah tersebut memberikan pengaruh langsung terhadap kesuburan pohon terorisme. Tanah yang subur itu adalah lingkungan masyarakat fundamentalis (ekstrim), yang merupakan habitat, sehingga terorisme selalu timbul tenggelam dalam sejarah kehidupan manusia. Terorisme Kristen subur di dalam masyarakat fundamentalis Kristen, terorisme Zionis subur di dalam masyarakat fundamentalis Yahudi, dan terorisme kontemporer subur dalam masyarakat fundamentalis Islam. Masyarakat ekstrim Islam yang dimaksud di sini adalah Islam politik, bukan Islam yang kerap kali dikaitkan secara salah oleh kaum internasional dewasa ini terutama oleh pihak Barat'”[13]
Namun demikian, lepas dari berbagai motif itu, Wimar Witoelar memandang perlunya perspektif baru dalam memahami fenomena terorisme. Menurutnya, sukses Polri dalam menghentikan Dr Azahari patut mendapat acungan jempol, terutama dari pers Australia yang selalu mencela bahwa Indonesia melindungi terorisme. Tapi kebanggaan kita tentu jangan menjadi nasionalisme sempit dengan mengatakan bahwa kita lebih hebat dari negara lain. Memang aparat anti-terorisme kita benar hebat, dan kita boleh memberi contoh kepada Amerika dan Australia yang lebih banyak menghabiskan tenaganya untuk meneriakkan slogan daripa mncegah terorisme. Mungkin mereka menangkap beberapa teroris tapi dalam prosesnya justru malah menambah semangat untuk melahirkan terorisme baru.
Menurut Wimar, perspektif baru mengenai teror harus bersifat sederhana supaya bisa dishare dengan banyak orang secara lebih luas. Pertama, teror adalah kegiatan orang sesat yang sudah berlangsung sejak awal zaman. Wacana terorisme sekarang diperkeras oleh liputan media, komunikasi internet dan reaksi primordial Amerika. Kedua, teror adalah kegiatan biadab, acak yang tidak perlu dibela atas alasan apapun. Ketiga, teroris dilakukan orang sedikit dengan dedikasi banyak. Perlawanan terorisme bisa dilakukan oleh orang sedikit juga (ahli kontraterorisme) tapi karena kontra-teroris tidak sebebas teroris, upaya mereka perlu ditambah dengan dukungan orang banyak. Orang banyak harus  berpandangan sama bahwa teroris harus dihentikan. Keempat, saluran dan mekanisme pelaporan harus dibuat secara fleksibel dan terbuka oleh pemerintah dan lembaga internasional tanpa dibumbui diskriminasi terhadap agama apapun.
Selain itu, menurut Wimar terorisme juga perlu dipahami dalam perspektif total. Dalam konteks ini, teror tidak hanya dipandang sebatas peristiwa peledakan bom, misalnya, tapi juga teror lainnya yang juga mengancam rasa aman masyarakat. Termasuk dalam kategori teror menurutnya adalah korupsi, bahaya narkoba, dan ancaman kemanusiaan lainnya seperti wabah flu burung, misalnya. “Dan yang paling kita perlukan adalah perspektif baru untuk  menghayati ini semua,” ujarnya.[14] Dengan makin luas dan kompleksitasnya persoalan ini, kita –terutama pemerintah sebagai pengelola negeri ini— tentu harus segera menyiapkan agenda-agenda strategis sebagai langkah antisipatif yang solutif dalam rangka memutus mata rantai radikalisme dan terorisme secara tepat.
ARN001200400151182_Radikalisme_di_Indonesia
 Agenda Strategis ke Depan
Kalau kita menyimak teori negara, mulai dari yang paling klasik sampai teori negara paling modern, tampak jelas bahwa salah satu tugas negara yang paling esensial adalah menyediakan rasa aman bagi warganya.[15] Sebagai sebuah bentuk ‘political goods,’ rasa aman tentulah dapat dijadikan parameter atau indikator keberhasilan suatu negara. Negara yang berhasil, misalnya, dapat dilihat antara lain dari kinerjanya dalam menyediakan rasa aman bagi warganya. Sebaliknya, negara yang banyak dihiasi teror dan dicekam rasa tidak aman dengan sendirinya dapat dikategorikan sebagai negara yang gagal (failure state).
Dalam kaitan ini, Ichlasul Amal et.all. (2010) menyebutkan bahwa menghindarkan masyarakat dari situasi homo homini lupus merupakan fungsi utama negara dalam pemahaman teori-teori negara klasik. Dalam pemahaman ini, ancaman terhadap keamanan diandaikan bersumber dari dalam masyarakat sendiri. Karenanya, pengalihan sebagian kebebasan individu disepakati baik sebagai cara untuk menghindarkan situasi homo homini lupus maupun untuk merepresi situasi semacam sehingga situsi damai bisa dikembalikan. Sudut pandang ini nantinya berkembang menjadi: a) fungsi keamanan dalam negeri yang antara lain dijalankan oleh aparat justisia, terutama polisi; b) rujukan bagi perumusan lebih lanjut mengenai fungsi-fungsi kepolisian yang mencakup fungsi perlindungan, penegakan hukum, dan ketertiban masyarakat.[16]
Atas dasar alasan tersebut maka keamanan kemudian berkembang menjadi fungsi negara yang pokok. Ia menjadi: (a) alasan mengapa negara ada (b) dasar bagi diterimanya adagium bahwa negara adalah pemegang wewenang penggunaan kekerasan secara sah dan sebaliknya (c) pelarangan pengalihan atau penggunaan wewenang ini oleh aktor lain di luar negara (d) alasan bagi dibentuknya institusi keamanan negara, yaitu tentara, kepolisian, dan intelijen. Perluasan makna ini kemudian membawa keamanan ke tingkat yang lebih subtil dan komprehensif karena harus ditransformasikan menjadi barang politik (political goods) yang memiliki dua ciri pokok. Pertama, keamanan wajib disiapkan oleh negara secara impersonal dan tak dapat diprivatkan atau dibiarkan dikelola sendiri oleh masyarakat. Kedua, keamanan merupakan hak setiap warga negara untuk menikmatinya.
Dengan asumsi teoretik tersebut, peran negara dalam menjamin rasa aman warga negara menjadi demikian vital dan sentral.[17] Karena itu, beragam peristiwa yang melahirkan ketidakamanan seperti halnya aksi-aksi teror dalam bentuk peledakan bom yang terjadi cukup massif di Indonesia tentu perlu mendapat perhatian tersendiri. Bukan saja dari masyarakat luas yang berharap atas terpenuhinya rasa aman sebagai salah satu public goods yang ingin dinikmatinya, namun terutama harus menjadi perhatian serius pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) untuk memastikan penanggulangannya secara cermat dan tepat.
Beberapa agenda strategis yang dapat disiapkan dalam rangka memutus mata rantai radikalisme dan terorisme antara lain dapat ditempuh melalui: reformasi sektor keamanan, pembenahan regulasi keamanan, reorientasi pendidikan, dan kampanye sosial-kultural secara massif.
  • Reformasi Sektor Keamanan
Dalam menangani aksi-aksi terorisme yang terjadi, pemerintah tampaknya lebih banyak mengedepankan pendekatan keamanan secara parsial. Ini setidaknya dapat disimak dari upaya-upaya yang lebih mengedepankan “program anti-terorisme” secara represif. Padahal, pendekatan paling mutakhir semestinya justru  lebih banyak mengedepankan pendekatan “counter terrorisme” yang lebih bersifat preventif ketimbang cara-cara “anti-terorisme” yang represif. Tak heran jika dalam penanganan terorisme yang justru tampak dominan adalah aparat kepolisian dan tentara, sementara institusi intelijen nyaris tak tampak fungsinya. Kalau pun institusi intelijen terlibat, perannya nyaris sulit dibedakan dengan aparat kepolisian dan tentara. Reformasi sektor keamanan (security sector reform) mengasumsikan adanya komplementasi “tupoksi” institusi keamanan secara simultan. Koordinasi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) institusi  keamanan menjadi penting sehingga tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan satu sama lain.
  • Pembenahan Regulasi Keamanan
Regulasi keamanan sejatinya merupakan bagian integral dari upaya yang harus dilakukan dalam security sector reform. Namun ini perlu mendapat perhatian tersendiri karena memiliki tingkat kepelikan dan problematika tersendiri. Studi Propatria menunjukkan bahwa hingga kini produk legislasi dalam bidang pertahanan dan keamanan masih memiliki sejumlah kelemahan.[18] Dari sisi kerangka pengaturan legal (legal framworks), setidaknya tampak ada tiga kelemahan utama. Pertama, ketidakjelasan soal konsepsi keamanan. Kedua, tidak ada sinkronisasi antar peraturan perundangan yang ada. Ketiga, masih terdapatnya wilayah “abu-abu” yang belum tercakup dalam regulasi yang ada. Persoalan ini mungkin saja bisa dikesampingkan, namun sejatinya bisa berbahaya dalam tingkat implementasinya. Problem ketidakjelasan (crarity), ketidakrincian, kekaburan, dan ketidaklengkapan di tingkat regulasi dapat menghasilkan persoalan yang lebih parah di tingkat implementasi. Tidak heran jika kemudian muncul ragam konflik antar institusi keamanan seperti yang belakangan sering terjadi, terutama antara satuan polisi dan militer.[19] Dalam kondisi seperti ini, institusi keamanan yang seharusnya memberikan pengabdian secara total bagi terciptanya rasa aman masyarakat justru malah terlibat konflik internal yang pelik. Oleh karena itu, upaya untuk melakukan pembenahan regulasi keamanan menjadi urgen.
  • Reorientasi Pendidikan
Pendidikan seringkali menjadi sarana paling mujarab untuk melakukan rekayasa sosial atau bahkan “invasi kultural” untuk tujuan tertentu. Dalam hubungan ini, lahirnya ‘teologi jihadis’ radikal yang melahirkan insan-insan teroris boleh jadi berpangkal dari produk pendidikan yang salah. Ahmad Ali Riyadi (2009) menyebutkan bahwa dalam realitas sejarah di Timur Tengah, munculnya institusi pendidikan seringkali tidak bersih dari kepentingan politik yang menyokongnya. Menurutnya, pertarungan antara kelompok sunni dan syiah menjadi contoh “kesalahan” sejarah yang fatal akibat rekayasa pendidikan.[20] Hal serupa barangkali terjadi pula dalam sejarah pendidikan di Barat dan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia yang plural, sudah selayaknya kita memikirkan model pendidikan multikultur. Sebagai bagian integral dari upaya untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme di tanah air, aktifitas pendidikan semestinya diorientasikan pada upaya untuk melahirkan kesadaran kritis sehingga mendorong anggota masyarakat untuk dapat berpikir logis dan analitis, seraya tidak terjebak pada pola pikir dan perilaku radikal yang membahayakan.[21]
  • Kampanye sosial-kultural secara massif
Kesadaran untuk melawan radikalisme dan terorisme memang harus menjadi pemahaman dan keinsyafan semua pihak. Namun sayangnya, pemerintah seringkali justru  mengalami disorientasi ketika mengumandangkan perang melawan terorisme. Melalui kampanye anti-terorisme, pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan rasa aman kepada masyarakat, justru malah bertindak sebaliknya. Program-program yang dicanangkan pemerintah seringkali malah menjadi semacam teror baru yang mengancam kebebasan warga (civil liberties). Terjadi distorsi yang cukup akut dalam beragam program anti-terorisme yang didagangkan pemerintah. Karena itu, meskipun sejatinya persoalan keamanan merupakan domainnya pemerintah, masyarakat juga perlu melibatkan diri secara proaktif dan bahkan turut melakukan kontrol secara konstruktif. Usulan Denny J.A mengenai pembentukan “terrorism watch’ bagi kalangan civil society sepertinya sangat layak untuk dipertimbangkan.[22] Melalui lembaga ini, kalangan civil society dan masyarakat umumnya dapat melakukan pengawasan, pendokumentasian, melakukan analisis, serta memantau aneka program, termasuk perencanaan dan pengganggarannya secara terbuka dan transparan. Kesadaran ini perlu dikampanyekan secara massif di level societal agar masyarakat tidak menjadi “korban” program anti-terorisme, tapi justru turut merasa memiliki program ini secara bertanggung jawab.
Beberapa tawaran agenda tersebut boleh jadi bukan sesuatu yang baru, tapi sudah menjadi bagian program yang telah dan sedang dilakukan oleh beberapa pihak. Namun demikian, point terpenting dari upaya untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme adalah dengan memperkuat dan mempererat “rantai” keinsyafan bersama baik di level struktural maupun di ranah societal untuk menjadikan radikalisme dan terorisme sebagai musuh bersama.
Selain itu, penting juga untuk membangun kesadaran bahwa untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme tidak cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan (security approach) semata. Pendekatan ini perlu dikomplementasikan dengan dimensi human security secara lebih luas. Ini disadari karena radikalisme dan teror seringkali bersumber tidak dari aspek yang tunggal, tapi bersumber dari multi aspek, termasuk ketidakadilan yang di dalamnya termuat beragam dimensi kemanusiaan secara simultan. Oleh karena itu, pendekatan human security penting dipromosikan dalam membangun security sector reform sebagai salah satu paradigma baru untuk menyusun strategi penangnan radikalisme dan terorisme yang acapkali mengejawantah dalam banyak wajah.

Daftar Pustaka
Amal. Ichlasul, Cornelis Lay dan Erwin Endaryanta, 2010. “Mengenal Keamanan” dalam Bahan Perkuliahan Politik Keamanan dan Pembangunan, Program Pascasarjana, Fisipol-UGM, Yogyakarta.
Budiman, Arief (2006). Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Denny JA, “Al-Qaidah di Indonesia?” dalam Kompas, Jakarta:Eedisi Kamis, 26 September 2002.
Hendropriyono, AM., (2009). Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Penerbit Kompas, Jakarta.
Pujianto, Hendriawan. “Distorsi Jurnalisme dalam Isu Terorisme” dalam Jawa Pos, Surabaya: Edisi Senin, 25 November 2002.
Mujani, Saiful (2005). Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika, Freedom institute-PPIM, dan Penerbit Nalar, Jakarta.
Muhaimin, Yahya (2008). Bambu Runcing dan Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertanan Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Riyadi, Ahmad Ali. “Studi Islam dan Radikalisme Pendidikan dalam Konteks Masyarakat Majemuk” dalam  Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Surakarta, 2-5 November 2009.
Working Group on Security Sector Reform (2006). Monograph-7: Kajian Kritis Paket Perundangan di Bidang Pertahanan Keamanan. Propatria, Jakrta.


Sumber Media
Majalah TEMPO, Jakarta: Edisi 17 Mei 1999
Perspektif Online, Edisi 10 November 2005.
[1] Pujianto, Hendriawan. “Distorsi Jurnalisme dalam Isu Terorisme” dalam Jawa Pos, Surabaya: Edisi Senin, 25 November 2002.
[2]  Simak antara lain dalam link berikut: http://forum.detik.com/showthread.php?t=121020
[5] Ibid.
[7] Simak: “Diskusi Ulil Abshar-Abdalla-Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain Tentang Bom Bali, Islam, dan Terorisme” dalam http://media.isnet.org/islam/Etc/BomBali.html
[8] www.Liputan6.com  ditayangkan pada  14/11/2002 15:35.
[9] Mujani, Saiful (2005). Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika, Freedom Institute-PPIM, dan Penerbit Nalar, Jakarta.
[11] Ulasan lebih rinci mengenai peristiwa peledakan bom di Indonesia dapat disimak dalam  laporan Majalah TEMPO, Jakarta: Edisi 17 Mei 1999 juga dalam link: www.muslimdaily.net
[12] Hendropriyono, AM., (2009). Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Penerbit Kompas, Jakarta.
[13]  Ibid.
[14] Perspektif Online, Edisi 10 November 2005.
[15] Lihat, misalnya dalam Budiman, Arief (2006). Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[16] Amal. Ichlasul, Cornelis Lay dan Erwin Endaryanta, 2010. “Mengenal Keamanan” dalam Bahan Perkuliahan Politik Keamanan dan Pembangunan, Program Pascasarjana, Fisipol-UGM, Yogyakarta.
[17] Dari sudut epistimologi, keamanan (security) berasal dari istilah Latin “se” dan “curus” yang berarti terbebas dari bahaya atau terbebas dari ketakutan.
[18] Working Group on Security Sector Reform (2006). Monograph-7: Kajian kritis Paket Perundangan di Bidang Pertahanan Keamanan. Propatria, Jakrta.
[19] Lihat misalnya dalam Muhaimin, Yahya (2008). Bambu Runcing dan Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertanan Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
[20]  Riyadi, Ahmad Ali. “Studi Islam dan Radikalisme Pendidikan dalam Konteks Masyarakat Majemuk” dalam  Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Surakarta, 2-5 November 2009.
[21]  Fenomena kekerasan terhadap minoritas Syiah di Sampang, Madura, misalnya, bisa jadi salah satunya disebabkan karena orientasi pendidikan yang salah, terutama pendidikan agama yang cenderung eksklusif sehingga turut memupuk benih permusuhan satu sama lain.
[22] Denny JA, “Al-Qaidah di Indonesia?” dalam Kompas, Jakarta:Eedisi Kamis, 26 September 2002.

0 komentar:

Posting Komentar