Cari Blog Ini

Kamis, 29 Juni 2017

Ingin Ganti Dengan Khilafah, Begini Landasan Awal dari HTI (1)

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Keluarga Besar Nahdlatul Ulama kota Bandung berdemonstrasi menuntut pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/4). Mereka selain menolak kegiatan yang akan diselenggarakan HTI pada Sabtu (15/4) juga menolak gagasan khilafah yang diusung HTI. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/17Hi

Gerakan Hizbut Tahrit Indonesia (HTI) nampaknya mengambil model analisi hegemoni Antonio Gramsi. Di mana untuk mengusai dan memperoleh kekuatan massa, para ideologi borjuis melakukan hegemoni intelektual. Baik berupa penggunaan bahasa, moral mauapun lainnya.
Wujud hegemoni yang dilakukan oleh HTI adalah dengan mengeksplorasi dan mengeksplikasikan dalil-dalil agama Islam untuk menyakini kaum muslim tentang kebenaran khilafah. Kelompok yang senang disebut Islamiyyun ini, menegaskan bahwa suatu pemikiran akan kokoh bila dilandasi dengan nalar yang kuat. Tanpa nalar uang kuat pemikiran tersebut akan mudah lenyap.
Selain itu, Hizbut Tahrir mengatakan Islam adalah pemikiran. Asasnya adalah akal. Perangkat untuk memahami sesuatu itu pun adalah akal. Akal adalah satu-satunya asas, tempat Islam didirikan. Akal merupakan asas yang kita gunakan untuk memahami nass-nass Islam. Sehingga, keimanan Islam itu bergantung pada akal.
Dengan adanya hal tersebut HT menyimpulkan Islam merupakan persoalan akal sehingga ia tunduk pada akal. Sehingga, ketika dikatakan tolak ukur Islam adalah akal. Hal ini disebabkan, karena akal meripakan asas Islam.
Artinya, pemahaman akan Islam dan berbuat atas dasar Islam bergantung pada akal sebagai sebuah oerangkat pemahaman dan perbuatan. Begitu juga dengan akidah dan hukum shari’ah adalah sebuah pemikiran atau hasil proses berfikir. Hanya berbedanya hukum shari’ah terkait dengan perbuatan manusia. Sedangkan akidah terkaitan dengan hati dan pembenaran. Hal tesebut dapat terlihat dari sejumlah kader HTI yang mengedepan akal ketika berdiskusi. Bahkan, dalam sebuah media HTI pembaca seakan ‘tersihir’ dengan bacaan tersebut.
Hal yang sama juga ditunjukan oleh Muhamad bin Abdul Wahab. Di mana dia mengomandoi para pengikutnya untuk untuk berani menafsirkan al-Qur’an dan mengamalkan pemahamannya sendiri atas ayat-ayat  tersebut. Bahkan, lebih parahnya, mereka diperintahkan untuk lebih menyakini dan mengedepakan penafsiran  sendiri daripada menyakin segala penafsiran ulama yang terpercaya yang termaktub dalam kitab-kitab klasik.
Lebih jauh, Muhamad bin Abdul Wahab ini menyerukan bahwa segala kaidah ilmu-ilmu nahwu, bahasa Arab dan ilmu fiqih kepada umat Islam merupakan bid’ah terlarang. Oleh karenanya, dia lanras melarang seluruh pengikutnya menelaah kitab-kitab fiqih dan tafsir. Begitu juga dengan kitab-kitab hadist. Puncaknya, dia tanpa beban membhas kitab-kitab tersebut dalam jumlah yang cukup banyak.
Dari apa yang disajikan oleh HTI dan Muhamad bin Abdul Wahab ini, mereka menginginkan dua hal. Pertama, menyulut api kebencian umat dan menjauhkan mereka dari keyakinan pengarang kitab tafsir. Padahal pengarang kitab tafsir yang disepakati oleh empat Imam Mazhab dan dilegitimasi kredibilitasnya oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Keadaan tersebut tersebut tercermin pada sejumlah aksi bela Islam dan Al-Qur’an yang berjilid. Di mana pada aksi tersebut sangat jelas menimbulkan kebencian dan penyulut perpecahan antar umat beragama. Kedua, mendorong  umat Silam yang masih awam agar mereka sukarela mau mengikuti pemikiran tersebut. di mana sangat jelas cacat secara referensi – ilmiah.
Gerakan di beberapa wilayah perlu diakui jempol. Beberapa daerah dengan jangkauan paling jauh mampu dijadikan sebagai ladang berdakwah. Beberapa waktu lalu, HTI mengadakan seminar cukup besar di Jayapura. Kegigihan dalam berdakwah dan menyebarkan faham anti Pancasila perlu diacungi. Namun, perlu dicermati beberapa poin penting untuk penegakan Khilafah di Indonesia.  Ada 13 unsur pokok terkait elemen Khilafah. Di anataranya: Khalifah, Pembantu Khilafah, Gubernur, Departemen Perang, Departemen Keamanan dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Industri, Departemen Peradilan, Departemen Pelayanan Rakyat, departemen Keuangan dan Perbendaharaan Negera, Departemen Informasi dan Majelis Umat.
Namun hal yang paling jelas tidak masuk akal adalah pemahaman khalifah. Dalam perspektif Hizbut Tahrir, Khalifah dapat diartikan sebagai pemimpin negara yang terdiri dari satuan yang disebut dengan wilayah. Selain itu, Khalifah ini adalah pemain utama dalam sistem Khilafah.  Di mana dia mendapatkan porsi perhatian yang ekstra. Syaratnya adalah melalui pengangkatan dan rekomendasi.
Namun, terdapat hal yang paling menarik dalam penggantian Khalifah. HTI sendiri tida membiarkan proses penggantian sebagai mana yang dilakukan oleh Nabi. Mereka justru mengatakan bahwa Khalifah berhak mengadopsi amir sementara dalam undang-undang. Apakah jaman Nabi tidak bijaksana dengan membiarkan umat memilih sendiri serta menentukan proses pemilihan khalifah tanpa harus mengadopsi mekanisme tersebut? Selain itu, kondisi sekarang praktik amir dimungkinkan berpeluang menimbulkan nepotisme.
Selanjutnya adalah Pembantu Khalifah. Untuk merekrut pembantu khalifah, mengutip hadist yang terdapat dalam karya Abu ‘Abdillah Al-Hakim. Di mana dalam hadist tersebut dijelaskan, dua orang wazirku dari langit adalah Jiblil dan Mikail. Sedangkan dari bumi adalah Abu Bakar dan Umar.  Mengutip hadist tersebut, pemaknaan wazir adalah pembantu dalam segala urusan. Hal ini akan memperluas tugas dari wazir.

0 komentar:

Posting Komentar