Kalau dulu di era Orde Baru, Soeharto menggunakan istilah gebuk untuk menghajar para lawan politiknya, tapi di era Jokowi, bukan hanya digebuki saja, akan tetapi juga kena tendangan. Jokowi menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan ketegasannya.
“Istilah yang paling cocok itu gebuk, kalau saya pakai istilah jewer nanti dianggap tidak tegas,” ujar Presiden Jokowi.
Karena kalau hanya dijewer doang, maka para pengkhianat Pancasila dan kaum bumi peang akan mengulangi lagi perbuatan laknat mereka, tapi kalau digebuki dan ditendangi, maka mereka akan berpikir seribu kali untuk merongrong wibawa pemerintah dan mengangkangi konstitusi, Pancasila, UUD’45 dan Bhineka Tinggal Ika.
“The Smiling General” dan Gebukannya
Dulu di era Orde Baru, Soeharto menggunakan istilah gebuk untuk membungkam lawan politiknya dan purnawiran Jenderal yang coba-coba melawannya.
Istilah gebuk mulai dikenal setelah diucapkan Soeharto di ketinggian 30,000 kaki diatas permukaan laut sepulang dari lawatan kenegaraannya di Uni Sovyet dan Yugoslavia.
Melalui konferensi pers dalam pesawat
saat itu, Soeharto menjawab pertanyaan wartawan tentang adanya tuntutan melakukan suksesi nasional dan berbagai aksi unjuk rasa mahasiswa di Tanah Air.
“Silahkan saja saya diganti asalkan dengan cara-cara yang konstitusional. Jika tidak konstitusional, maka siapa saja akan saya gebuk, walaupun Jenderal”, ujar Soeharto dengan tersenyum lebar sambil mengepal tinjunya.
Dan apa yang diucapkan “The Smiling Generel” kala itu akhirnya terbukti. Tidak lama kemudian dua orang tokoh Petisi 50, yaitu Letjen. Purn. H.R. Dharsono dan Ir. Sanusi dijebloskan ke penjara sebagai jawaban atas kegusaran Soeharto terhadap pihak-pihak yang coba-coba menguliti kekuasaannya.
Bagi Soeharto aktivitas politik para pensiunan Jenderal yang tergabung dalam Petisi 50 itu telah mengarah ke aksi makar untuk menggulingkan kekuasaannya.
Sekedar untuk melawan lupa, pada tahun 1984 yang silam terjadi pengeboman atas beberapa kantor BCA di Jakarta, yaitu BCA di Jl. Pecenongan, di kompleks pertokoan Glodok, dan di Jl. Gajah Mada. Lima orang ditangkap dan dipenjarakan sehubungan dengan peristiwa ini.
Mereka dinyatakan bersalah melakukan delik politik dan tindak subversif dengan menghadiri rapat-rapat yang berkaitan dengan aksi pengeboman tersebut.
Peristiwa kerusuhan itu terjadi secara sporadis di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada tanggal 12 September 1984 yang silam. Sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Menurut laporan resmi Pemerintah, setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat.
Makna Simbolik Presiden Jokowi
Cara komunikasi Presiden Jokowi penuh simbol. Pernyataan gebuk dan tendang yang dilontarkan Presiden Jokowi memiliki makna sesungguhnya yaitu untuk tetap setia kepada ideologi negara Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
Apalagi saat ini Presiden Jokowi sedang sibuk-sibuknya tanpa kenal lelah membangun Indonesia untuk menjadi negara yang bermartabat dimata dunia dengan membangun proyek-proyek besar diseluruh Indonesia dan daerah-daerah terpencil di pelosok tanah air yang dulu tidak diperhatikan sama sekali oleh Presiden-Presiden sebelumnya.
Itulah sebabnya kenapa Presiden Jokowi geram setengah mati dan menggunakan istilah gebuk dan tendang terhadap para pengkhianat bangsa dan kaum bumi peang yang tidak ingin bangsa ini maju dengan sengaja menimbulkan kekacauan demi kekacauan untuk menciptakan mosi tidak percaya rakyat terhadap pemerintah.
Infiltrasi HTI dan Revolusi Mental Jokowi
HTI yang telah puluhan tahun dibiarkan oleh pemerintah sebelumnya kini telah mengakar kuat di bumi pertiwi dan dalam kondisi yang sudah sangat mengkhawatirkan. Simak saja video berikut ini dimana didepan ribuan massa, HTI mengajak memberangus NKRI, Pancasila dan UUD 1945.
Infiltrasi ormas HTI sudah sedemikian parahnya karena telah merasuki sendi-sendi Institusi negara. Mulai dari institusi Pengadilan Tinggi hingga militer telah terbius dan direcoki paham khilafah yang anti Pancasila itu. Mereka bahkan sudah punya RUU sendiri untuk pembentukan negara khilafah.
HTI masuk ke akses-akses kekuasaan pemerintah, militer, hukum dan akses ke kehidupan sosial bangsa. Mereka mempunyai satu tujuan yaitu menguliti dasar negara pelan tapi pasti sambil menunggu saat yang tepat untuk merebut kekuasaan di negeri ini.
HTI tumbuh dan berkembang pesat karena menunggangi sistem demokrasi di negara ini. Mulai dari sekolah-sekolah, kampus-kampus, sampai pada kantor-kantor pemerintahan, baik itu BUMN maupun BUMD, bahkan sampai ke DPR/MPR telah menjadi sarang dan embrio beredarnya paham radikal.
Bahkan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon juga telah terinfiltrasi paham radikal ini dengan menyebut bahwa HTI memiliki kontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara.
Termasuk Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto yang juga sudah kena pelet paham radikal ini sehingga mendukung penuh manifesto Hizbut Tahrir Indonesia.
“Sangat layak, dan harus terus digulirkan sebagai bentuk jalan baru bagi bangsa ini,” ujar Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto di hadapan ribuan hadirin yang memenuhi Auditorium Adyana Wisma Antara, Jakarta.
Betapa sadisnya virus racun khilafah ini. Bayangkan, mantan KASAD pun sudah terinfiltrasi HTI dan mendukung mendirikan negara khilafah. Kurang gawat apalagi negara ini?
Untung saja Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak main-main siap gebuk dan tendang paham-paham radikal ini. Revolusi Mental Jokowi siap menghancurkan racun khilafah dan intoleransi yang radikal dengan suntikan morphin psikologis.
“Saya katakan kepada Kapolri jangan terpengaruh pakai hitung-hitungan yang lain. Kalau ada bukti silahkan ditindak. Kalau gebuk, ya gebuk saja. Jangan ragu-ragu. Organisasi yang sudah jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45 dan hukum harus ditindak,” kata Jokowi tegas.
Pernyataan Presiden Jokowi tentu saja secara implisit sasarannya bukan hanya HTI dan Komunis saja, akan tetapi juga ormas-ormas kaum bumi peang seperti FPI, GNPF-MUI, FUI yang menjadi duri dalam daging dalam pemerintahan Presiden Jokowi selama ini.
Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah tidak akan segan-segan menggebuk dan menendang ormas-ormas yang bertentangan dan menggangu Pancasila.
“Ya, kita gebuk, kita tendang, sudah jelas itu. Jangan ditanyakan lagi, jangan ditanyakan lagi, payung hukumnya jelas, TAP MPRS,” kata Presiden Jokowi tanpa banyak basa-basi.
Negara tidak akan tinggal diam jika ada ormas-ormas yang coba-coba mengganggu kedaulatan negara yang hanya menghabiskan energi pemerintah mengurusi hal-hal yang tidak perlu.
Para kaum bumi peang pun merana, termasuk Amien Rais itu, yang protes keras Presiden Jokowi yang akan gebuk siapa saja yang coba-coba merongrong kewibawaan negara dan mengencingi Pancasila, UUD’1945, NKRI dan Bhineka Tinggal Ika.
Namun Amien Rais dan kaumnya lupa bahwa Presiden Jokowi sedang berupaya membebaskan belenggu sirkuit politik yang penuh kebencian dan kebiadaban yang kini sedang melilit negeri ini dari para maum elite predator oligarki yang memanipulasi kebencian kultural seperti Amien Rais dan kaum bumi peang lainnya.
Satu-satunya cara untuk membangun politik beradab di tengah politik kebencian dan disintegrasi bangsa yaitu gebuk dan tendang demi keutuhan bangsa dan tatanan politik yang sehat di negeri ini.
Kecuali jika mereka sudah siap babak belur karena menjadi manusia tolol yang ngotot melakukan rasionalisasi terhadap apa yang mereka yakini sebagai kebenaran yang absurd, namun sumir dimata rakyat.
Kura-kura begitu.
***
Sumber Tautan Berita:
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/19/17264751/jokowi.ormas.anti-pancasila.dan.komunis.kita.gebuk.kita.tendang