Untuk bapak yang satu ini, hanya ada satu kata yang bisa diucapkan yaitu: Hebat!
Tubuhnya tidak besar, wajahnya teduh dan
tidak garang, tutur katanya lembut, namun ketegasannya tidak perlu
disangsikan lagi. Keputusan-keputusan yang tegas dan berpihak pada
rakyat dilahirkan dari hati yang tulus dan berjiwa kebangsaan. Salah
satu keputusan tegas yang dibuahkan oleh Jokowi adalah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2017
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Perlunya Perppu itu adalah karena
kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat. Keresahan masyarakat
terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu yang tidak sejalan
dengan asas ormas yang telah disahkan dan telah terdaftar serta telah
disahkan oleh Pemerintah. Kenyataan di tengah masyarakat juga tampak dan
terbukti secara faktual ada ormas yang tidak sejiwa dengan Pancasila
dan UUD 1945. Ormas-ormas itu melakukan kegiatan-kegiatan yang
nyata-nyata bermaksud mengubah dasar negara Republik Indonesia. Jika hal
itu dibiarkan, ormas-ormas itu berpotensi menghancurkan bangsa
Indonesia.
Perppu tentang ormas terbit atas dorongan
dan masukan berbagai kalangan yang resah karena ormas-ormas anti
Pancasila bergerilya seperti hantu di siang maupun malam hari dan
menakut-nakuti kehidupan bersama. Dampak dari gerakan ormas anti
Pancasila adalah intoleransi dan ancaman disintegrasi bangsa.
Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj
menyebutkan bahwa ormas-ormas itu radikal baik secara fisik maupun dalam
hal pemikiran. Ke depan jumlah ormas-ormas itu akan bertambah. Apa
jadinya bila mereka tetap hidup? Negara ini bisa menjadi seperti Suriah,
Irak, Yaman, Afganistan dan lain-lain.
Memang berserikat dan berkumpul dijamin
oleh undang-undang. Namun bila dalam berserikat dan berkumpul justru
menimbulkan keresahan dan ketakutan bahkan mengancam eksistensi bangsa,
negara tidak boleh tinggal diam. Demokrasi memberi jaminan adanya
kebebasan, berekspresi dan menyuarakan aspirasi. Namun prinsip berbangsa
dan bernegara adalah hal mutlak yang harus ditegakkan oleh bangsa
Indonesia. Di sinilah negara memiliki kewenangan mengatur ormas. Jika
negara tidak diperkenankan mengatur, terjadilah kekacauan. Tentu saja
dalam mengatur ormas-ormas, negara harus memiliki standart dan kejelasan
supaya tidak menjadi pemerintahan yang diktator.
Joko Widodo tegas dan bukan diktator.
Buktinya, beliau memberi kesempatan pada mereka yang tidak setuju dengan
Perppu untuk melakukan pengujian melalui jalur hukum. Melalui mekanisme
inilah demokrasi ditegakkan. Dengan memperhatikan hal ini, saya
menyimpulkan bahwa bila ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan Jokowi
diktator karena penerbitan Perppu ini, orang itu tidak memiliki itikad
baik bagi negeri ini. Mengapa demikian? Saat ini negara dalam situasi
darurat ormas. Sifat darurat ini menjadikan pemerintah mendapat
kewenangan menerbitkan Perppu. Apalagi terdapat kekosongan Undang-Undang
yang sangat mungkin bisa digunakan ormas tertentu untuk bebas
beraktivitas di Indonesia dan menyebarkan paham radikal.
Kenyataan di tengah masyarakat terdapat
ormas-ormas yang keberatan dengan keputusan penerbitan Perppu itu.
Ormas-ormas yang keberatan itu sebagian besar adalah ormas berbasis
keagamaan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satu ormas yang berkeberatan.
Ormas ini sudah dibubarkan karena terbukti
anti Pancasila. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
mengatakan bahwa HTI harus dibubarkan sebab ormas ini secara
terang-terangan berniat meniadakan ideologi negara, Pancasila. Senada
dengan Mahfud MD, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Yudian Wahyudi juga
menyebutkan bahwa HTI harus dibubarkan. Dari syariahnya, HTI jelas
berbeda dengan semangat ke-Indonesiaan. Menurutnya, demi keselamatan
bangsa ini, HTI yang hendak membuang ideologi Pancasila harus
dibubarkan.
Sejak kapan HTI berniat mengganti
Pancasila dengan ideologi khilafah? Niat itu sebenarnya sudah
dikampanyekan oleh HTI sejak dulu kala. Dalam buku Ilusi Negara Islam
yang ditulis oleh Wahid Institute dan Maarif Institut disebutkan bahwa
HTI sebagai sebuah ormas infiltrasi dari negeri asing memiliki agenda
khilafah internasional. Agenda ini jelas bertentangan dengan ideologi
bangsa Indonesia.
HTI hanya salah satu ormas di Indonesia
yang anti Pancasila dan sudah dibubarkan. Ke depan bisa jadi akan ada
ormas-ormas lain yang akan dibubarkan karena bertentangan dengan Perppu
nomor 2 tahun 2017. Dalam kasus HTI, kita diingatkan bahwa ormas tidak
boleh memaksakan kehendaknya. Kehendak HTI jelas yaitu pendirian
khilafah. Ormas ini ngotot agar kekhilafahan dijadikan sebagai ideologi
bernegara. Mereka lupa bahwa Indonesia adalah negeri yang diberi berkah
oleh Tuhan menjadi negara yang majemuk.
Sebagai negara yang majemuk, para pendiri
bangsa sepakat tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Meski
bukan negara agama, bukan berarti Indonesia negeri yang tidak percaya
pada Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama Pancasila berbunyi: Ketuhanan
Yang Maha Esa menunjukkan bahwa nilai-nilai religiousitas tertanam di
bumi Indonesia dan setiap penganut agama serta keyakinan bebas
menjalankan ajaran agamanya.
Dari mana konsep Ketuhanan Yang Maha Esa
itu lahir? Soekarno, bapak bangsa melahirkan konsep itu bukan tiba-tiba
alias seperti ilham dari langit yang datang dadakan. Konsep itu
lahir dari perjumpaannya dengan berbagai kalangan. Banyak ulama,
menjadi sahabatnya dalam bertukar pikiran memberi masukan kepadanya.
Salah satunya adalah Syekh Abbad Abdullah Padang Japang yang mengatakan
pada Soekarno di tahun 1942,”Negara yang akan didirikan kelak haruslah
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jika hal itu diabaikan, maka
revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan.
Ketika menyampaikan materi tentang
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila di kursus Pancasila bagi kader
Pancasila pada tanggal 26 Mei 1958 di Istana Negara, Soekarno
menceritakan tentang banyaknya pihak mempropagandakan bahwa ia kurang
menggali secara mendalam makna ketuhanan dalam Pancasila. Soekarno
menolak anggapan tersebut dan mengatakan,”Saya adalah orang yang cinta
kepada agama Islam. Saya beragama Islam. Saya tidak berkata bahwa saya
ini orang Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam. Dan saya
menolak tuduhan bahwa saya menggali kurang dalam”.
Jadi apa yang kurang dari Pancasila dan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan filosofis hidup bersama di
negeri yang majemuk ini? Sungguh sangat disayangkan bila ada
ormas-ormas tertentu yang tidak setuju pada Pancasila. Tidak setuju pada
Pancasila berarti juga menolak gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila
pertama Pancasila.
Joko Widodo telah menorehkan sejarah yang
hebat. Apapun ormas-ormas di negeri ini, semua harus berdasar pada
Pancasila. Dengan Perppu nomor 2 tahun 2017 semua warga negara Indonesia
diajak untuk saling menghargai, menghormati sesama warga bangsa. Apapun
agama dan keyakinannya, semua harus dihargai dan memiliki hak yang sama
di muka hukum.
Ormas-ormas anti Pancasila, intoleran yang
gemar memaksakan pendapatnya pada orang lain harus paham hal ini.
Mereka hidup di Indonesia yang majemuk dan berdasar hukum. Indonesia
bukan negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Ormas, sehingga ormas
bisa se-enak sendiri memaksa pendapat pada orang lain. Indonesia
berdasar Pancasila yang menghargai kepelbagian dan memiliki sila pertama
dasar negara: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terimakasih Bapak Joko Widodo, bapak telah
mengembalikan khittah sila pertama dasar negara kita di jalur yang
benar. Ini adalah revolusi mental, revolusi yang menjadikan Indonesia
Hebat!
Referensi:
Ir. Sukarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Yogyakarta, Media Pressindo, 2017.
Wahid Institute dan Maarif Institute, Ilusi Negara Islam, Jakarta, 2009.
0 komentar:
Posting Komentar