Agama memegang peranan yang vital dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sila pertama: Ketuhanan
yang Maha Esa menjiwai empat sila setelahnya. Salah satu contoh konkret
betapa dahsyatnya efek agama diyakini oleh Presiden Pertama Republik
Indonesia, Ir. Soekarno. Beliau menyadari bahwa kekuatan agama sungguh
nyata dalam kehidupan rakyat Indonesia. Untuk mencegah kembalinya
pasukan Belanda, Bung Karno memohon fatwa hukum untuk mempertahankan
kemerdekaan bagi umat Islam.
Pada 17 September 1945 Hadratussyaikh KH.
Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad
bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fisabilillah.
Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno
yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
Berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh NU
(Nadhlatul Ulama) tersebut, maka rakyat mudah dimobilisasi untuk
mempertahankan kemerdekaan RI. Fatwa tersebut makin memberanikan tekad
rakyat untuk siap mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan.
Setelah keluarnya Fatwa NU itu, pada 19
September 1945 terjadi insiden tembak menembak di Hotel Oranje antara
pasukan Belanda dan para pejuang Hizbullah Surabaya. Seorang kader
Pemuda Ansor, Cak Asy’ari dengan gagah berani menaiki tiang bendera dan
merobek warna biru, sehingga hanya tertinggal bendera Merah Putih.
Religi dan Nasionalisme
Dari paparan contoh sebelumnya menunjukkan betapa pentingnya faktor agama sebagai salah satu daya penggerak. Fatwa (19 September 1945) dan Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) dari NU mampu menjadi pembakar semangat rakyat untuk rela berjuang. Mereka bahkan siap mati membela tanah air dan mengusir penjajah yang hendak kembali lagi. Agama dalam kehidupan rakyat Indonesia sungguh menjadi pegangan.
Dari paparan contoh sebelumnya menunjukkan betapa pentingnya faktor agama sebagai salah satu daya penggerak. Fatwa (19 September 1945) dan Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) dari NU mampu menjadi pembakar semangat rakyat untuk rela berjuang. Mereka bahkan siap mati membela tanah air dan mengusir penjajah yang hendak kembali lagi. Agama dalam kehidupan rakyat Indonesia sungguh menjadi pegangan.
Tepat sekali Sila Pertama dalam Pancasila,
Ketuhanan yang Maha Esa menjadi dasar bernegara dan berbangsa. Dari
semua hal yang dibutuhkan dalam hidup. Landasan keimanan atau
keberagamaan menempati posisi pertama dari semua hal penting dalam
konteks kehidupan rakyat Indonesia. Melalui contoh Fatwa dan Resolusi
Jihad NU mengambarkan bahwa agama tidak bertentangan dengan
nasionalisme. Agama bahkan dapat menjadi perekat bangsa. Selain itu,
agama dapat menciptakan solidaritas yang kuat antar warga dalam
memperjuangkan agenda bangsa atau agenda yang memaslahatkan umat.
Dalam konteks keindonesiaan, agama masih
dipandang sebagai basis kehidupan masyarakat. Mengingat peran penting
agama dalam konteks keindonesiaan, maka perlu dipikirkan salah satu bab
dalam pelajaran agama yang mengaitkan dengan nasionalisme. Sebagian
besar pembelajar mungkin sudah cukup banyak yang mengetahui bahwa konsep
nasionalisme identik dengan perlawanan terhadap kolonialisme.
Pekikan Jihad yang berawal dari Fatwa dan
Revolusi Jihad NU yang menggerakkan warga Surabaya serta gema takbir
(Allahu Akbar) Bung Tomo yang mengerakkan rakyat merupakan bentuk
konkret aplikasi umat beragama dalam menjunjung nasionalisme. Setelah
lenyapnya kolonialisme, lalu apakah nasionalisme pupus?
Berbeda-beda Agama, Satu Indonesia
Sejak kelahiran bangsa, masa perjuangan, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, tergambar jelas jasa beragam kalangan bagi Republik Indonesia. Perwakilan dari kalangan Katolik, keberanian Yos Sudarso memutuskan KRI Macan Tutul untuk menjadi martir dibombardir kapal-kapal perusak Belanda berhasil menyelamatkan 2 KRI lain (KRI Harimau dan KRI Macan Kumbang). Keberanian Yos mampu menyelamatkan banyak prajurit. Tenggelamnya KRI Macan Tutul semakin membulatkan tekad Indonesia untuk merebut Irian Barat.
Sejak kelahiran bangsa, masa perjuangan, dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, tergambar jelas jasa beragam kalangan bagi Republik Indonesia. Perwakilan dari kalangan Katolik, keberanian Yos Sudarso memutuskan KRI Macan Tutul untuk menjadi martir dibombardir kapal-kapal perusak Belanda berhasil menyelamatkan 2 KRI lain (KRI Harimau dan KRI Macan Kumbang). Keberanian Yos mampu menyelamatkan banyak prajurit. Tenggelamnya KRI Macan Tutul semakin membulatkan tekad Indonesia untuk merebut Irian Barat.
100% Katolik, 100% Indonesia adalah slogan
nasionalisme dari Uskup Pribumi Pertama Indonesia, Mgr. Soegijopranata,
SJ. Berkat kegigihan diplomasinya, Negara Vatikan menjadi negara
pertama yang mengakui kedaulatan RI seusai proklamasi kemerdekaan, 17
Agustus 1945. Hingga kini slogan tersebut tetap relevan dan masih
senantiasa diingat pemeluk agama Katolik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Yos Sudarso ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun
1973, sedangkan, Mgr. Soegijopranata, SJ ditetapkan sebagai Pahlawan
Pembela Kemerdekaan pada 26 Juli 1963 (Komandoko,2008).
Contoh perwakilan dari kalangan Hindu,
seruan untuk Puputan (perang habis-habisan) di Margarana dari Lektol I
Gusti Ngurah Rai berhasil memberikan perlawanan luar biasa kepada
Belanda. Puputan Margarana merupakan peristiwa heroik dari pimpinan
pasukan Ciung Wanara, Ngurah Rai yang mampu membuat kocar-kacir Belanda.
Kalah jumlah dari pasukan Belanda, mereka gugur sebagai kusuma bangsa.
Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik salah
satu contoh lagi dari kalangan Hindu yang gugur untuk mengusir pasukan
Belanda yang hendak menguasai Buleleng. Ngurah Rai dan Ketut Jelantik
tidak gentar mempertaruhkan nyawa demi mengusir pasukan Belanda,
meskipun secara jumlah dan kemampuan persenjataan pasukan Belanda di
atas jauh dari jumlah pasukan mereka. Pada tahun 1975 dan 1993
pemerintah RI menetapkan Ngurah Rai dan Ketut Jelantik sebagai Pahlawan
Nasional (Komandoko,2008).
Dari kalangan Kristen, Frans Kaisepo yang
belum lama ini diabadikan dalam uang kertas RI pecahan 10.000 merupakan
Pahlawan Nasional. Sebelum itu, namanya sudah diabadikan sebagai nama
bandara di Biak, Papua dan diabadikan sebagai nama kapal perang
Indonesia, KRI Frans Kaisepo. Ia ditetapkan melalui SK Presiden RI No.
077/TK/Tahun 1993. Nama IRIAN merupakan ide ciptaan dirinya yang berarti
Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands. Berkat bantuannya TNI dapat
mendarat di Irian Barat untuk melakukan operasi militer Trikora (Tri
Komando Rakyat). Trikora dilaksanakan untuk membebaskan Irian Barat
(Komandoko,2008).
Dari kalangan Peranakan Tionghoa diwakili
oleh John Lie. Lalu, ia berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma
(Santosa,2012). Keahliannya dalam menerobos blokade Angkatan Laut
Kerajaan Belanda hingga ia mendapat “Hantu Selat Malaka”. Laksamana Muda
merupakan pangkat tertinggi yang pernah diraih pejuang peranakan
Tionghoa di RI. Berkat jasa dan sumbangsihnya untuk RI pada 9 November
2009, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Selain itu, namanya
juga diabadikan sebagai nama kapal perang, KRI John Lie.
Republik Indonesia sudah fitrahnya berdiri
di atas keberagamaan. Kaum muda perlu semakin dini diperkenalkan dengan
jasa-jasa para pahlawan yang terdiri dari beragam latar belakang (suku,
agama). Kemajemukan sudah jadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia.
Salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang memersatukan adalah
Pancasila. Alm. Gus Dur pernah mengungkapkan, “Tanpa Pancasila, negara
akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya.
Ia adalah tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan.”
Kebesaran hati para pendiri bangsa sudah
teruji kala mereka rela dan ikhlas untuk menghilangkan 7 kata dalam
Piagam Jakarta. Dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) pada tanggal 17 Agustus 1945 petang, beberapa perwakilan
Indonesia Timur menyampaikan keberatan terhadap 7 kata tersebut.
Esoknya, Moh. Hatta, K.H. Wahid Hasyim, Ki
Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan Teuku M. Hasan membahas hal
tersebut dan bersepakat mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan yang
Maha Esa”. Spiritnya satu: merangkul seluruh elemen bangsa dalam NKRI
(Iyubenu,2015).
Penyadaran terhadap karunia keberagaman
(suku, agama) di bumi Indonesia merupakan proses yang perlu terus
digaungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Khususnya,
internalisasi terhadap nilai keberagaman perlu digiatkan penyebarannya
dalam institusi-institusi pendidikan. Generasi muda perlu disadarkan
bahwa terdapat perbedaan antara pluralisme dengan kebenaran agama.
Menurut Guru Besar Filsafat dari STF Driyarkara, Jakarta, Prof. Franz
Magnis Suseno menyatakan, “Menerima secara positif dan hormat kepada
agama lain bukan berarti harus mengatakan semua agama sama. Sikap
pluralitas adalah mampu hidup berdampingan dengan menerima umat beragama
yang berbeda.”
Pancasila dan Presiden Joko Widodo
Salah satu pembeda Bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dalam pidato 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menawarkan konsepsi yang dikenal sebagai Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia merdeka. Dalam pidato tersebut beliau mengungkapkan bahwa sila-sila itu adalah kearifan masyarakat Nusantara yang telah dihidupi selama ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan jelas dan rendah hati beliau menegaskan bahwa dirinya bukan menemukan hal baru tetapi sekedar menggali dari khasanah budaya Nusantara (Tobing,2012).
Salah satu pembeda Bangsa Indonesia adalah Pancasila. Dalam pidato 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menawarkan konsepsi yang dikenal sebagai Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia merdeka. Dalam pidato tersebut beliau mengungkapkan bahwa sila-sila itu adalah kearifan masyarakat Nusantara yang telah dihidupi selama ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan jelas dan rendah hati beliau menegaskan bahwa dirinya bukan menemukan hal baru tetapi sekedar menggali dari khasanah budaya Nusantara (Tobing,2012).
Pemilihan dasar negara Pancasila sungguh
karunia yang disadari sedari awal oleh para pendiri bangsa. Mereka
memahami bahwa NKRI dapat terus melaju dan hidup jika ada ideologi
pemersatu. Ideologi yang dapat merangkul segenap warga bangsa dengan
keanekaragamannya. Ideologi yang menegaskan, meskipun berbeda-beda
tetapi pada hakikatnya Bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan.
Kekhasan dasar negara Pancasila yang mampu
merangkul segenap warga bangsa, beragam kekayaan adat, suku dan agama
adalah Nasionalisme Indonesia. Ciri dari Pancasila adalah nasionalisme
religius, yakni nasionalisme yang tetap menjadikan agama sebagai dasar,
namun agama yang dimaksud di sini bukanlah satu agama tertentu,
melainkan seluruh agama yang diakui oleh negara (Nasih,2012).
Presiden RI ke-7, Ir. Joko Widodo mencatat
sejarah dengan menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional.
Hari libur nasional tersebut untuk memperingati kelahiran Pancasila.
Penetapan itu dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016
tentang Hari Lahir Pancasila. Penetapan 1 Juni sebagai hari libur
nasional merupakan salah satu upaya Joko Widodo untuk menghidupkan
kembali Pancasila sebagai roh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
(Swandaru,2017).
Gebrakan pemerintahan Jokowi untuk
menggenjot pembangunan infrastruktur dan memeratakan pembangunan dari
daerah pinggiran adalah merupakan perwujudan Sila Kelima, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Paling kekinian adalah Jokowi
membentuk UKP PIP (Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila).
Pembentukan UKP PIP merupakan pondasi baru
dalam menerapkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melalui unit kerja tersebut juga akan menggodok kurikulum yang akan
kembali memasukkan Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah
wajib di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Jokowi menyadari bahwa
melalui pendidikan merupakan cara terefektif untuk internalisasi
ideologi Pancasila.
Sumber Referensi:
http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62913-lang,id-c,nasional-t,Detik+detik+Resolusi+Jihad+Nahdlatul+Ulama+dan+Pertempuran+10+November+1945-.phpx, diakses pada 16 Januari 2017.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/12/19/203000626/inilah.pahlawan.papua.di.pecahan.uang.nkri.baru.rp.10.000, diakses 18 Januari 2017.
http://pspk.ugm.ac.id/seminar/115-nasionalisme-baru-nasionalisme-bangsa-indonesia-menghadapi-tantangan-global.html. Diakses 1 Februari 2017.
Iyubenu, Edi. AH. 2015.
http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62913-lang,id-c,nasional-t,Detik+detik+Resolusi+Jihad+Nahdlatul+Ulama+dan+Pertempuran+10+November+1945-.phpx, diakses pada 16 Januari 2017.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/12/19/203000626/inilah.pahlawan.papua.di.pecahan.uang.nkri.baru.rp.10.000, diakses 18 Januari 2017.
http://pspk.ugm.ac.id/seminar/115-nasionalisme-baru-nasionalisme-bangsa-indonesia-menghadapi-tantangan-global.html. Diakses 1 Februari 2017.
Iyubenu, Edi. AH. 2015.
http://basabasi.co/7-kata-yang-dihapuskan-sejarah-piagam-jakarta/, diakses 20 Januari 2017.
Komandoko, Gamal. 2008. 125 Pahlawan dan Pejuang Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Nasih. Mohammad. Pancasila dan Nasionalisme Religius. Seputar Indonesia. 31 Mei 2012.
Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari
Barat ke Timur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Swandaru, Diasma Sandi dalam Abi Sarwanto.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170601171306-20-218749/menghidupkan-pancasila-di-era-jokowi/. Diakses 3 Juli 2017.
Tobing, Jakob. http://www.leimena.org/id/page/v/646/pancasila-rumah-kita. Diakses April 2017.
Komandoko, Gamal. 2008. 125 Pahlawan dan Pejuang Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Nasih. Mohammad. Pancasila dan Nasionalisme Religius. Seputar Indonesia. 31 Mei 2012.
Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara: Catatan Perjalanan dari
Barat ke Timur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Swandaru, Diasma Sandi dalam Abi Sarwanto.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170601171306-20-218749/menghidupkan-pancasila-di-era-jokowi/. Diakses 3 Juli 2017.
Tobing, Jakob. http://www.leimena.org/id/page/v/646/pancasila-rumah-kita. Diakses April 2017.
0 komentar:
Posting Komentar