Ormas mana lagi yang sudah dibidik
pemerintah untuk dibubarkan ? Tentu beberapa pihak, yang memiliki
firasat dirinya akan menjadi sasaran berikutnya atas pemberlakuan PERPPU
nomor 2/2017 tentang Ormas, sudah mengambil ancang-ancang, karena
faktanya pemerintah sudah memberikan isyarat ke arah itu.
Menteri Dalam Negeri Thjahjo Kumolo
menyebut ada organisasi masyarakat yang dibubarkan setelah Hizbut Tahrir
Indonesia. Pengumuman pembubaran ormas itu akan dilakukan secara
bertahap. “Ada (yang dibubarkan), setelah HTI,” ujar Tjahjo di kantor
Kementerian Dalam Negeri, Jalan Medan Merdeka Utara No 7, Jakarta Pusat,
Rabu (9/8/2017). Tjahjo belum menyebutkan ormas yang dimaksud, termasuk
kapan pengumuman pembubaran ormas dilakukan. Pengumumannya dilakukan
secara bertahap setelah pembubaran HTI (detik.com).
Sejak pemberlakuan PERPPU tentang Ormas,
diduga ada beberapa ormas di luar HTI yang telah diputuskan pemerintah
untuk dibubarkan, indikasinya tidak lepas dari kajian tim bentukan
pemerintah, yakni mereka yang ditengarai sebagai organisasi berafiliasi
kepada faham radikal keagamaan, dan merupakan sumber para pelaku
terorisme.
Penentangan atas berlakunya PERPPU tentang
Ormas ini, tampaknya akan menemui berbagai sandungan, karena materi
yang memicu keberatan pihak pemohon uji materi di Mahkamah Konstitusi,
adalah pengertian kondisi ‘kegentingan’ sebagai
pertimbangan terbitnya PERPPU. Kondisi kegentingan yang ditafsirkan
pemohon, boleh jadi berbeda dengan pengertian versi pemerintah, dimana
pemerintah tentu memiliki persfektif lebih luas mengingat kelengkapan
perangkat dan aparatur, serta memperhatikan kepentingan komponen bangsa
secara menyeluruh. Dalam implementasinya terbukti masyarakat mulai
merasakan kondisi yang lebih baik dan toleransi yang menjadi ciri khas
Indonesia, menuju keadaan normal.
Apakah situasi ini bersifat sementara ?
Mungkin mereka yang memiliki pemahaman bahwa jihad melalui cara-cara
radikal, sebenarnya tidak benar-benar surut, melainkan dalam posisi wait and see.
Maka menjadi logis, ketika pemerintah terus melakukan pengkajian, atas
ormas-ormas yang terindikasi menganut faham yang tidak sesuai dengan
palsafah Pancasila.
Menurut peneliti dari LIPI, Amin
Mudzakkir, tanpa dibekali PERPPU tersebut pemerintah akan sulit bergerak
cepat dalam mencegah berkembangnya ormas-ormas radikal. Amin memandang
UU Ormas yang ada sebelum penerbitan Perppu Ormas, justru membuat
pemerintah kesulitan untuk bergerak karena prosedur penertiban yang
terlalu panjang. “Kami dari LIPI setuju (Perppu Ormas) meski ada
kelemahan. Dilihat dari urgensi, sulit sekali negara secara cepat
mengantisipasi intoleransi yang terjadi jika menggunakan uu ormas,” ujar
Amin dalam diskusi bertajuk Melawan Intoleransi dengan Perda, Perlukah? di kantor GP Ansor, Jakarta Pusat, Jumat, 4/8/2017 (kompas.com).
Dalam kesempatan lain, hakim konstitusi
Suhartoyo menyatakan tafsir ‘keadaan yang memaksa’ lahirnya sebuah
Perppu, harus dipahami secara kekinian. Tafsir ‘kegentingan’ diminta
jangan menggunakan tafsir kuno. “Mesti dipahamkan mengenai keadaan yang
memaksa di konsederan. Kegentingan memaksa di era dulu, dengan konteks
kekinian. Artinya kita dituntut untuk melihat persoalan secara jernih,”
ujar Suhartoyo dalam persidangan dalam agenda pemeriksaan pendahuluan,
di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu,
2/8/2017 (detik.com).
Memaknai keadaan yang memaksa dan kondisi
kegentingan seperti disebutkan sebelumnya, kita perlu memahami
pertimbangan pemerintah, bahwa atas dasar faktor-faktor yang meyakinkan,
sekelompok massa yang memiliki potensi kuat membahayakan keutuhan
NKRI, serta mengancam palsafah bangsa, harus diberikan pendekatan yang
sesuai, dengan meletakkan keselamatan negara sebagai prioritas.
Pertaruhan antara keselamatan negara
sebagai kepentingan bersama, dengan kepentingan kelompok massa yang
dalam tahap tertentu, dapat dikategorikan membahayakan, cukup untuk
dijadikan landasan bagi aparat yang diberikan otoritas, guna melakukan
tindakan pencegahan dan penangkalan. Dalam hal ini diperlukan mekanisme
evaluasi, kepada setiap upaya hukum oleh pemerintah, agar dapat
dipastikan seluruh tahapan telah sesuai dengan batas-batas rasa
keadilan.
Logika berfikir kita tentang keamanan dan
keselamatan, terlepas apakah berkaitan dengan individu, atau lebih luas
lagi berkenaan dengan keselamatan negara, selalu akan berbanding
terbalik dengan kemudahan dan kenyamanan. Hal ini dapat diartikan, bahwa
ketika kita meletakkan keamanan sebagai prioritas, maka kemudahan dan
kenyamanan akan berkurang sebagai konsekwensi logis. Kita tidak harus
merasa terganggu, jika mendapati prosedur keamanan, pemindaian dan
sejenisnya, sepanjang prosedur itu bertujuan menjamin keamanan dan
keselamatan. Demikian juga berkaitan dengan pemberlakuan PERPPU nomor
2/2017 ini, masyarakat luas perlu memahami, bahwa pemerintah memiliki
niat yang positif guna menjamin keamanan dan keselamatan bersama sebagai
bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar