Keberadaan kelompok militan Negara
Islam atau disebut ISIS di Suriah dan Irak dapat menjadi tempat
pelatihan bagi gelombang lahirnya para pelaku peledakan bom di
Indonesia, kata ahli terorisme Sidney Jones.
"Kalau ada orang yang
punya pengalaman di Suriah bisa kembali ke Indonesia, dia bisa jadi
pemimpin dengan kredibilitas yang baru, dengan keterampilan yang lebih
tinggi, dengan komitmen ideologi yang lebih mendalam," kata Sidney
Jones.
Pimpinan Institute for Policy Analysis of Conflict
ini juga mengatakan, warga Indonesia pendukung ISIS yang baru kembali
dari Suriah "bisa betul-betul menghidupkan dan melatih sel-sel teroris
yang masih ada di Indonesia dan itu bahayanya."
Berikut tanya-jawab Rebecca Henschke dengan Sidney
Jones tentang dukungan warga Indonesia terhadap ISIS setelah serangkaian
serangan di Paris, Prancis.
Bagaimana Anda melihat reaksi sejumlah warga Indonesia yang mendukung aksi serangan di Paris?
Sulit
untuk dibilang secara pasti. Kalau kita lihat jumlah orang yang
berbai’at kepada ISIS pada bulan Juli tahun lalu, setelah khilafah
diumumkan, mungkin sekitar 2000 orang dan pasti lebih besar daripada itu
sekarang. Tapi jelas bahwa kalau dilihat secara keseluruhan hanya
segelintir orang Indonesia (yang) mendukung, sebetulnya.
Dan yang berangkat ke Suriah?
Yang
berangkat ke sana (Suriah), kalau totalnya mungkin sekitar 400; tapi
itu terdiri dari sekarang ini 50 orang yang sudah meninggal dan sebagian
besar setelah 1 Maret tahun ini – jadi banyak yang meninggal dalam
bulan-bulan terakhir ini. Terus, ada sekitar 200–250 mujahidin yang
betul-betul ikut pasukan ISIS. Tapi yang menarik untuk saya, ada sekitar
130 orang yang terdiri dari perempuan dan anak di bawah umur 15 tahun
karena banyak yang datang ke sana bersama keluarga.
Itu datanya dari mana, dan apakah pelacakan di Indonesia cukup bagus?
Ini
semacam kombinasi dari angka resmi dan data yang kami kumpulkan
sendiri. Dan kalau kita lihat biodata, dengan nama dan data lain dari
orang-orang itu, hanya sekitar 150-an orang fighter yang kita
sudah tahu datanya secara lengkap. Dugaannya lebih dari itu, karena
pasti tidak semua sudah teridentifikasi. Yang menarik, pada awalnya
sebagian besar adalah anggota dari organisasi radikal yang sudah kami
tahu – organisasi yang sudah ada, seperti Darul Islam, seperti JAT
(Jamaah Anshorut Tauhid), seperti organisasi macam itu. Tetapi baru-baru
ini, ada orang yang juga bergabung, yang tidak pernah ikut dengan
organisasi radikal, yang tertarik oleh propaganda ISIS.
Kenapa
mereka tertarik? Bukankah tidak ada diskriminasi terhadap orang-orang
Islam di sini, tidak ada perang di Indonesia saat ini... Kenapa mereka
mau pergi ke Suriah bersama keluarga untuk berperang di situasi yang
sangat tidak nyaman?
Ya, saya kira mungkin yang paling berhasil dari
propaganda ISIS, ada ide bahwa ISIS adalah satu-satunya negara Islam di
mana syariat Islam bisa diterapkan secara penuh dan itulah yang menarik
banyak orang di Indonesia. Apalagi dengan video-video orang yang sangat
senang... yang bisa hidup seperti biasa, seperti tidak ada perang sama
sekali. Dan saya kira... apalagi dengan sekolah gratis, dengan rumah
gratis, dan... saya kira itu bisa menjadi pull (daya tarik) yang cukup besar.
Dia bisa jadi pemimpin dengan kredibilitas yang baru, dengan keterampilan yang lebih tinggi, dengan komitmen ideologi yang lebih mendalam, yang bisa betul-betul menghidupkan dan melatih sel-sel teroris yang masih ada di Indonesia dan itu bahayanya.
Tapi di samping itu ada juga ide bahwa
menurut beberapa hadits, perang akhir zaman akan terjadi di Syam
(Suriah), dan ini kesempatan untuk orang Indonesia dan sebetulnya orang
di mana saja untuk ikut dalam perang yang terakhir di mana Islam akan
menang. Dan itu juga bisa jadi satu faktor atau motivasi yang sangat
kuat.
Indonesia juga sudah memiliki program
deradikalisasi dan ada badan pemberantas terorisme (BNPT) di sini dan
banyak dana mengalir ke sana, dan apakah mereka gagal untuk mengimbangi
propaganda ini?
Ya sebetulnya program deradikalisasi atau
kontra radikalisasi sampai saat ini tidak begitu efektif. Tapi saya
kira sulit untuk cari negara manapun di dunia, di mana program
deradikalisasi atau kontra-radikalisasi betul-betul efektif. Lihat saja
Prancis, misalnya. Ada begitu banyak program yang dilakukan dan tetap
ada orang yang mau bergabung. Dan di sini, saya kira, di Indonesia
mungkin tugasnya lebih sulit lagi karena tidak ada konsensus sama sekali
di antara tokoh agama dan tokoh politik tentang apa itu ekstremisme.
Ada yang bilang bahwa, misalnya, Wahabi lebih bahaya daripada
orang-orang yang bergabung dengan ISIS. Tanpa konsensus itu, akan
mustahil mendapatkan satu program yang betul-betul efektif. Apalagi,
saya kira, masih ada masalah besar dengan penjara di Indonesia karena
banyak jaringan rekrutmen memang ada orangnya yang sudah ditahan di
salah satu penjara di Indonesia, dan pengawasan terhadap penjara sangat
lemah.
Apa yang terjadi di penjara?
Misalnya
ada yang bisa berkomunikasi dengan teman-teman. Ada orang yang misalnya
memegang nomor kontak orang di perbatasan Turki dan Suriah. Kalau mau
nyebrang dari Turki ke Suriah harus dapat contact number itu. Dan kadang-kadang, justru napi terorisme atau temannya yang punya nomor kontak begitu.
Salah
satu orang yang terkenal adalah Aman Abdurrahman, orang ideolog yang
baru-baru ini menerjemahkan pernyataan ISIS bahwa mereka bertanggung
jawab atas serangan di Paris. Dialah yang menerjemahkan dari Bahasa Arab
ke Bahasa Indonesia. Dan dia ditahan di salah satu penjara yang super maximum security, tapi tanpa kesulitan apapun dia bisa menyebarkan propaganda itu melalui handphone.
Dan kalau mereka balik ke Indonesia, ada
kekhawatiran mereka akan membuat bom seperti Bali 2002, seperti yang
dilakukan alumni Afghanistan?
Ya, saya juga khawatir
bahwa resiko terorisme sekarang ini lebih tinggi daripada tahun-tahun
sebelumnya. Sejak tahun 2009, waktu ada pemboman hotel di Jakarta,
sebetulnya tidak ada pemboman yang betul-betul berhasil dan aksi
terorisme lebih bersifat tembakan yang diarahkan kepada polisi. Tapi
sekarang ini, saya kira, target juga bisa berubah. Bukan bahwa target
terhadap polisi atau targeting domestic akan berhenti, tapi mungkin akan ditambah lagi dengan orang asing, seperti dulu dengan Nurdin (M) Top, itu satu.
Tapi
juga saya kira, kalau ada orang yang punya pengalaman di Suriah bisa
kembali ke Indonesia, dia bisa jadi pemimpin dengan kredibilitas yang
baru, dengan keterampilan yang lebih tinggi, dengan komitmen ideologi
yang lebih mendalam, yang bisa betul-betul menghidupkan dan melatih
sel-sel teroris yang masih ada di Indonesia dan itu bahayanya.
0 komentar:
Posting Komentar