Akhir bulan Mei 2017, dunia internasional,
digegerkan oleh serangan teroris milisi Maute yang menduduki sebagian
wilayah kota Marawi, Filipina. Aksi teroris yang mengaku telah berbaiat
kepada ISIS itu tergolong brutal dan sadis. Dengan darah dingin, mereka
tak ragu membunuh penduduk setempat yang hendak melarikan diri. Tentara
militer Filipina menemukan banyak jenazah manusia dengan tangan terikat
dan kepala ditembak. Diperkirakan mereka semua dibunuh karena tidak
dapat membaca Alquran. Sumber: BBC.com. Teroris
bersenjata lengkap tersebut juga tak segan menggunakan warga sipil
sebagai pelayan, budak, bahkan tameng hidup. Menurut data resmi
pemerintah Filipina pada pertengahan Juni 2017, sebanyak 225 gerilyawan,
59 tentara dan 26 warga sipil tewas dalam pengepungan di Kota Marawi.
Sumber: Sindonews.
Saat ini, setelah lebih dari satu bulan lamanya, kota Marawi masih belum mampu direbut kembali oleh Militer Filipina.
Salah satu ‘keistimewaan’ milisi Maute
adalah anggotanya yang berasal dari manca negara, yaitu Malaysia,
Indonesia, Pakistan, Arab Saudi, Chechnya, Yaman, India, Maroko, dan
Turki. Mereka merupakan bagian dari jaringan ISIS yang bertujuan ingin
mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara. Sumber: pikiran-rakyat.com.
Hari Kamis, tanggal 22 Juni 2017, Menlu
Retno Marsudi menghadiri pertemuan Trilateral bersama Menlu Filipina dan
Menlu Malaysia di Manila. Pertemuan yang diprakarsai Indonesia itu
membahas perkembangan situasi pasca serangan kelompok teroris di Marawi,
Filipina, serta membahas kesepakatan terkait upaya kolektif ketiga
negara dalam menanggulangi terorisme. Dalam
pidatonya Retno menekankan bahwa permasalahan yang dihadapi Filipina
merupakan permasalahan bersama ketiga Negara. Karena itu, penanganannya
harus dilakukan secara bersama-sama. Sumber: Detik.
Permasalahan teroris di Indonesia sendiri
sudah cukup lama ada, dan pernah mengalami masa-masa ‘kegelapan’ pada
tahun 2002-2006. Pada rentang masa itulah terjadi peristiwa bom Bali 1
(2002) yang menewaskan 202 orang, bom JW Marriot Jakarta (2003) dengan
korban meninggal 12 orang, bom Kedubes Australia (2004) dengan korban
meninggal 11 orang, dan bom Bali 2 (tahun 2005) yang menewaskan 23
orang. Tidak dapat dipungkiri, saat itu Indonesia cukup kewalahan
menghadapi serangan teroris. Walaupun beberapa orang yang diduga kuat
merupakan otak serangan tersebut sudah ditangkap dan sebagain bahkan
sudah menjalani hukuman mati. Diantaranya Amrozi, Imam Samudra, dan Ali
Gufron (Mukhlas). Sumber: Wikipedia1,Wikipedia2, Wikipedia3, Wikipedia4.
Setelah tahun 2005, masih terjadi beberapa
kali insiden terorisme di Indonesia, tapi dalam skala yang tidak
terlalu besar dan masif. Berikut beberapa data yang berhasil diperoleh:
Sumber: Wikipedia5
- Tahun 2009, bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta. Ledakan terjadi dalam waktu hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB. Sembilan orang termasuk dua orang pelaku bom bunuh diri menjadi korban.
- Tahun 2010, terjadi penembakan warga sipil di Aceh
- Tahun 2011, terjadi bom bunuh diri di Mesjid Mapolresta Cirebon tengah shalat Jumat yang menewaskan pelaku, dan melukai 25 orang lainnya.
- Tahun 2011, bom bunuh diri di GBIS Kepunten Solo, Jawa Tengah usai kebaktian. Terdapat korban satu orang pelaku bom, dan 28 orang lainnya luka-luka.
- Tanggal 25 Mei 2011, terjadi aksi penembakan terhadap anggota Polri di kantor Bank BCA di Palu, Sulawesi Tengah
- Tahun 2012, sebuah granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa Tengah. Tidak ada korban jiwa.
- Tahun 2013, bom di depan Mesjid Mapolres Poso, Sulawesi Tengah. Pelaku bom meninggal di tempat dan satu orang terluka.
Tapi belakangan ini, terhitung sejak tahun
2016, sel-sel teroris yang lama pasif, nampak mulai bangkit dan aktif
kembali. Berikut rangkuman singkat beberapa kejadian terorisme yang
terjadi sepanjang tahun 2016:
- Tanggal 14 Januari 2016. Ledakan dan baku tembak di sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Tujuh korban jiwa, lima diantara merupakan pelaku teror. Sumber: BBC.com2
- Tanggal 5 Juli 2016, peristiwa bom bunuh diri di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah. 1 pelaku tewas dan 1 petugas kepolisian luka-luka.
- Tanggal 28 Agustus 2016, ledakan bom bunuh diri terjadi di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara. Pelaku mengalami luka bakar, sedangkan seorang pastor mengalami luka ringan.
- Tanggal 13 November 2016, sebuah bom molotov meledak di depan Gereja Oikumene Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Empat anak terluka dan satu orang di antaranya meninggal dunia dalam perawatan di rumah sakit.
- Pada 14 November 2016, sebuah bom molotov meledak di Vihara Budi Dharma, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
Tahun 2017 pun sudah beberapa kali aksi teror dilancarkan, diantaranya:
- Tanggal 27 Februari 2017, aksi teror bom panci berdaya ledak rendah meledak di taman Pandawa. Cicendo, Bandung. Pelaku menjadi satu-satunya korban meninggal. Sumber: Detik2.
- Menjelang awal bulan puasa, pada tanggal 24 Mei 2017, aksi bom bunuh diri terjadi di dekat sebuah halte bus Transjakarta di daerah Kampung Melayu. Dua orang pelaku bom bunuh diri dan tiga orang polisi meninggal dunia. Sumber: Kompas2
- Yang terbaru, tepat pada hari Idul Fitri tanggal 25 Juni 2017, kurang lebih pukul 03.00 WIB, Malpolda Sumatera Utara diserang dua orang terduga teroris. Satu orang anggota polisi tewas digorok lehernya, dan satu orang pelaku tewas di tempat. Sumber: Tribunnews.com.
Pertanyaannya sekarang, kira-kira apa yang menyebabkan kembali maraknya upaya aksi terorisme dua tahun ke belakang ini?
Perlu dipahami bahwa aksi terorisme yang
terjadi di berbagai belahan dunia, tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Ada
jaringan yang terstruktur secara rapi dan menyebar ke seluruh pelosok
negara. Karena itulah sering kita dengar kata ‘sel-sel’ terorisme.
Aksi terorisme yang terstruktur,
sistematis, dan masif ini jauh-jauh hari sudah memiliki agenda, atau
target utama yang hendak dicapai. Sekian lama mereka cuma duduk manis
dalam diam bukan berarti mereka lemah. Mereka tengah aktif merekrut,
giat mempropaganda, dan khusyuk dalam mematangkan rencana mereka. Tujuan
akhirnya adalah mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara, khususnya
Indonesia. Peristiwa teror di Marawi merupakan bukti nyata bahwa sel-sel
teroris dari seluruh penjuru dunia kini tengah menarget wilayah Asia
Tenggara menjadi ‘Suriah kedua’.
Pemilihan wilayah Filipina sebenarnya
tidaklah mengejutkan. Bertahun-tahun lamanya kelompok Abu Sayyaf
berhasil melancarkan aksinya menculik banyak warga asing, meminta
tebusan selangit, lalu membunuh secara keji para sandera jika tuntutan
mereka tidak dipenuhi. Selama itu, pemerintah Filipina tampak tidak
berdaya meredakan, apalagi membasmi mereka.
Di Indonesia, aksi teror paling lantang
dan sadis datang dari kelompok Santoso alias Abu Wardah, di Poso,
Sulawesi Tengah. Santoso sendiri merupakan anggota JI (Jamaah
Islamiyah), sekaligus Ketua Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) yang telah berbaiat kepada ISIS. Komplotan pimpinan Santoso ini terkenal brutal dan sadis dalam menjalankan segala aksi terornya.
Letak
geografis yang berdekatan dengan negara Filipina membuat hubungan antara
teroris di kedua negara cukup erat. Buktinya pasokan persenjataan
komplotan Santoso dikabarkan berasal dari Filipina Selatan. Sumber: Liputan6.com.
Pada awal tahun 2016, tepatnya tanggal 10
Januari 2016, dimulailah Operasi Tinombala di daerah Poso, Sulawesi
Tengah. Target utamanya adalah menangkap dan membasmi komplotan Santoso.
Sebanyak kurang lebih 3000 personel gabungan dari satuan
Kepolisian, Brimob, Kostrad, Marinir, Raider, dan Kopassus turut
diterjunkan dalam operasi ini. Sumber: Wikipedia6.
Sungguh bukan operasi yang mudah, karena
medan yang teramat sulit dan anggota komplotan Santoso yang sangat
menguasai lapangan dan tidak takut mati. Bagaimanapun, operasi Tinombala
sukses membatasi ruang gerak komplotan Santoso, sehingga satu persatu
personelnya tertangkap bahkan tidak jarang terbunuh sewaktu melakukan
perlawanan. Puncak keberhasilan Operasi Tinombala adalah ketika Santoso
berhasil ditangkap, dan tewas pada tanggal 18 Juli 2016, kurang lebih
hanya berselang 6 bulan sejak Operasi Tinombala diluncurkan. Sumber: Detik3.
Sebagai penutup, artikel ini ditulis
khusus untuk mengapresiasi kinerja Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal
Pol. Tito Karnavian bersama dengan Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo, beserta seluruh gabungan personel dari pihak Kepolisian RI
dan TNI. Bahwa dengan suksesnya Operasi Tinombala, dan juga keberhasilan
meredam gejolak upaya aksi teror yang seringkali terjadi dua tahun ke
belakang ini, situasi dan kondisi negara masih stabil dan kondusif.
Dapat dibayangkan, jika pemerintah gagal
meredam aksi terorisme seperti ketika masa-masa ‘kegelapan’ dulu, sangat
mungkin aksi teror di kota Marawi, Filipina juga terjadi di bumi
Indonesia yang tercinta ini.
Ke depannya, seluruh warga negara
Indonesia harus terus mendukung usaha pemerintah untuk melawan segala
bentuk aksi terorisme, dengan cara mengedepankan empat pilar kebangsaan
kita, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, supaya
persatuan dan kesatuan bangsa dapat terus dipertahankan.
Jangan sampai ada ruang sedikit pun untuk aksi terorisme di bumi Indonesia.
Be alert and of sober mind, because your enemy, the devil, prowls around like a roaring lion, looking for someone to devour…
0 komentar:
Posting Komentar