Saracen. Oh lucunya berita-berita di media massa belakangan ini. Baik di media cetak konvensional koran ataupun di media online yang tak jadul, modern dan sesuai tuntutan zaman. Meskipun saya tuliskan kata “lucu” bukan berarti saya tertawa pada saat membacanya. Tidak sama sekali. Justru saya merasa sedih, sekaligus bersemangat.
Kenapa sedih? Karena pembongkaran konspirasi Saracen ini saya anggap terlambat. Polri membutuhkan waktu yang kelewat lama untuk mengendus kiprah Saracen. Padahal dari kacamata saya pribadi, yang seorang pengamat politik dan ahli strategi kampanye, filsuf dan penyair, namun bukan pelaku politik praktis, jelas sekali bahwa kasus Ahok itu murni berbau politis. Ahok adalah korban konspirasi politik dan kriminalisasi. Suka atau tidak suka. Titik.
Dan isu-isu (kalau tidak mau disebut fitnah) yang menerpa Ahok selama masa kampanye Pilkada DKI 2017, dan bahkan hingga kini setelahnya, Sang Administrator Publik Terbaik itu mendekam di balik jeruji penjara, jelas merupakan tindakan yang kejam, jahat, terstruktur, masif, dan sistematis.
Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) memang merupakan isu yang seksi dan menarik bagi kaum Bumi datar, celana cingkrang, dan Islam radikal. Sesuatu yang dinyatakan haram dan terlarang, justru nikmat untuk dilanggar. Kalian pasti mengerti dengan baik apa yang saya maksudkan di sini.
Serangkaian tuduhan diarahkan ke Ahok. Ahok menista agama. Ahok kafir. Ahok menista Al-Qur’an. Ahok melecehkan para ulama. Ahok menistakan umat Islam. Ahok layak dibunuh. Darahnya halal. Astaghfirullah. Naudzubillahi min dzalik. Harap istighfar ya ikhwan dan akhwat sekalian. Masalah dosa, dan penilaian iman seseorang, bahkan surga dan neraka, itu murni hak Sang Pencipta. Sang Khalik.
Kembali ke masa sekarang. Gusti ora sare. Itu frasa yang bermakna sangat dalam dari bahasa Jawa, yang dilontarkan oleh Ahok. Tuhan itu tidak pernah tertidur. Karma itu nyata. Siapa yang menabur akan menuai. Salah satu pandangan kaum fatalist yang cenderung bersikap nrimo. Dan menyerahkan segala persoalan kepada kebesaran Tuhan, sang Eksekutor Final atas semua rencana dan rancangan buatan manusia.
Saya sedih. Karena kalau, seandainya, keberadaan sindikat Saracen ini terungkap sebelum perhelatan Pilkada DKI 2017 kemarin usai mungkin nasib Ahok akan berbeda. Saracen disiarkan dibentuk sekitar tahun 2015. Meskipun demikian, saya yakin embrio-embrio fitnah, bigot, SARA, dan intoleran itu sudah ada jauh-jauh hari sebelumnya. Walau baru terasa menggigit di saat Pilpres 2014.
Mereka saling memanfaatkan, bersinergi secara rapi, satu sama lain. Keberadaannya saling beririsan. Antara kaum radikal, bigot NKRI, pengusung ideologi khilafah, Islam radikal, teroris, para penganut Wahabbi dan takfiri, kaum Salafi yang otak mereka sengkleh, hingga ke politikus korup dan semprul, mafia-mafia kotor penggerogot NKRI, dan politikus-tikus busuk, juga kaum mabok agama yang seolah nampak seperti sekte fasisme dan penolak ideologi sektarian dan berhaluan kanan, padahal nyatanya mereka semua menyembah kepada kejahatan kemanusiaan, bahkan Dewa Mormon yang sama.
Akar segala kejahatan adalah cinta akan uang. (Itu yang pernah dinubuatkan para nabi-nabi sejak zaman dahulu. Nabi beneran ya, bukan yang mengaku-aku Imam Besar, padahal berjiwa pengecut dan kerdil, kayak Rizieq lalu ternyata mencatatkan rekor sebagai peserta ibadah umroh terlama di dunia dan di akherat. Hahaha.) Uang memang bukan segalanya dalam hidup ini, tapi tanpa uang rasanya kita enggan hidup.
Anyway, kembali ke statement awal: “Saya juga bersemangat membaca terbongkarnya sindikat saracen”. Kenapa saya bersemangat? Karena ini bisa jadi momentum, khaeros, yang dibutuhkan Jokowi untuk membangun kembali kepercayaan publik.
Utamanya pendukung Ahok yang masih belum bisa menerima dan move-on bahwa Ahok sudah memilih untuk tidak mengajukan banding dan menerima secara penuh vonis 2 tahun yang dijatuhkan hakim. Saya harap kelima hakim yang mengadili Ahok bisa tidur dengan nyenyak setiap malam, mengetahui mereka sudah mengirim orang yang tak bersalah ke dalam penjara, membekap kebebasan, menjauhkan dari keluarga dan tentunya rakyat DKI Jakarta.
Para pembisik di lingkungan Ring 1, atau Ring setengah, di luar the Operators tentu, yang berkeliaran di sekeliling Pakde, yang kemarennya sempat menanamkan ide yang sangat buruk, supaya Pakde juga memertimbangkan penggunaan Politik Identitas Islam radikal, dan menyarankan Pakde untuk mulai merangkul suara kaum Islam radikal, dengan dimulai merangkul MUI, sebaiknya mulai tiarap saja sekarang.
Saya masih ingat sekali, bahwa Pakde sejak jadi Walikota Solo sering menerima masukan dari kalangan yang berbeda. Ini penting. Ini hal yang susah dilawan oleh musuh politik Jokowi. Kini, makin ke sini-sini, Pakde lebih sering mengundang ‘yang sama’, ‘yang satu suara’, ‘yang cocok’, ‘yang sejenis’ dan ‘tidak bersuara kritis’. Bukankah dengan begitu, Pakde jadi lebih sulit membungkam lawan yang makin menjauh?
Pun juga upaya untuk menggerogoti atau istilah Jawa ngrikiti karakter unggul Pakde yang positif semakin masif. Yang melakukannya bukan hanya kalangan Islam radikal, intoleran, tetapi juga aktivis kemanusiaan dan lingkungan yang berpotensi membangun opini menyesatkan, seperti minimal golput, daripada memilih tidak ada yang bagus.
Saya dan teman-teman memang tetap berusaha meng-counter dan merangkul kembali Jokowers yang kecewa. Akan tetapi, suara mereka di media sosial semakin kencang, gerakan murtad sebagai Jokower, mau tak mau menguntungkan kubu Prabowo dan SBY serta kaum-kaum yang disebut di atas tadi.
Sebelum UU Anti Terorisme yang akan segera rampung keburu disahkan. Saya harap ada pasal mengenai penggunaan pasal subversif, yang bilamana diperlukan wajib dimasukkan, demi menjaga stabilitas politik, pertahanan, dan keamanan di dalam negeri. Semacam UU ISA, alias Internal Security Act yang diterapkan di Malaysia dan Singapora yang bisa mencokok individu sebelum mereka bertindak alias pre-emptive measures (tindakan yang diambil sebelum mereka melaksanakan teror). Dengan UU Revisi yang baru, maka yang terlibat Saracen akan ditangkapi dan dihukum mati.
Semoga rakyat Indonesia segera memanjangkan sumbunya. Semoga rakyat Indonesia semakin cerdas (berkat program KIP dari Pakde) dan semakin waras jiwa dan raga (berkat program KIS dari Pakde), sehingga bisa pintar memilih dan memilah mana berita yang sahih dan mana yang hoax.
Semoga mata hati kita bisa berbicara lebih keras, dan mata fisik kita bisa melihat dengan jelas semua pencapaian kinerja yang sudah dilakukan Pakde selama ini untuk membangun NKRI dan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Bangsa Indonesia.
Sesuai mandat di sila ke-5 dari Pancasila. Sesuai mandat ekonomi kerakyatan yang termaktub di dalam Trisila dan Nawa Cita. Sesuai amanat, cita-cita, harapan dan doa yang diperjuangkan oleh sang Bapak Proklamator sekaligus pendiri bangsa ini, Soekarno dan Hatta.
Terakhir, semoga Presiden, POLRI, TNI, KPK, Kepala BIN, dan seluruh penyidik dan penguasa hukum di negara ini tetap berpegang pada prinsip Keadilan dan Kebenaran. Bahwa hukum adalah panglima tertinggi di Indonesia. Bahwa di depan hukum dan pengadilan semua manusia sama, tanpa jabatan, tanpa koneksi, tanpa pengikut, tanpa kekuatan.
Usut dan selesaikan kasus hukum, dengan menghukum dan memenjarakan dengan segala cara apapun terhadap Rizieq Shibab, Buni Yani, Setya Novanto, Anies, Sandi, Amien Rais, dan Mpok Sylvi. Juga usut tersangka makar Ahmad Dhani, Kivlan Zein, Ratna Sarumpaet, Rachmawati, juga kasus Hery Tanoe, dan kesaksian Antasari Azhar terkait isu keterlibatan SBY dalam kasus Nasrudin Zulkarnaen. Usut tuntas Saracen, para pembina dan penasihat, para otak dan pendukung dananya, juga para pemesan paket ujaran kebenciannya. Ada amiiiin, sudare..? Salam bahagia ala saya.
0 komentar:
Posting Komentar