Tulisan Bung Argo tanggal 6 Agustus 2017
berjudul “Soal Pembubaran HTI, SBY Kena Gampar dari Tito Karnavian”
wajib dibaca dan disebarluaskan oleh para Sewordian. Kita layak
berterimakasih kepada Benny Kabur Harman yang telah membuka peluang bagi
Kapolri Jenderal Tito Karnavian membongkar siapa yang paling
bertanggungjawab atas berkembang-biaknya ormas-ormas radikal seperti HTI
dan FPI. Tentu dengan tidak sengaja, karena Benny justru mengeritik
keras Perppu Ormas. Juga tidak menduga bahwa Jenderal Tito akan begitu
berani dan blak-blakan (tapi tetap elegan) menyingkap kebenaran yang
selama ini berusaha ditutup-tutupi.
Salah satu istilah yang selalu dilekatkan
pada figur dan kepemimpinan SBY selama 10 tahun adalah “pembiaran”.
Mengingatkan kita pada peringatan filsuf Yunani Plato (427 – 347 BC):
“Ignorance is the root and stem of all evil”
Pengabaian/pembiaran
adalah akar dan pohon dari segala kejahatan. Itulah kebenaran yang
terbukti seusai 10 tahun kepemimpinan SBY. HTI yang jelas-jelas anti
Pancasila, anti demokrasi dan punya agenda khilafah berkembang subur dan
menjadi ancaman serius kebhinekaan dan keutuhan NKRI. Demikian pula
dengan FPI.
Jenderal Tito melihat pembiaran itu
dilatari kepemimpinan yang lemah, serba ragu dan takut mengambil risiko
(ditinggalkan, atau serangan balik) – diperlawankan dengan keberanian
Jokowi mengambil risiko dengan mengeluarkan Perpu No. 2/2017. Itu satu
sisi pandang yang kita amini tanpa keraguan.
Ada sisi pandang lain yang perlu kita diskusikan. Bagaimana kalau “pembiaran” itu sebenarnya menjadi bagian dari hidden agenda Pak Mantan cs yang tidak hanya membiarkan tetapi juga dengan sadar ‘memelihara’ kelompok-kelompok vigilante itu? Tujuannya, selain untuk menggalang dukungan kaum radikalis selama pemerintahannya, juga untuk kepentingan proxy war
pasca kekuasaan. Itulah yang ‘terbaca dan terindikasi’ dari penyebutan
nama dan peran beliau dalam gerakan-gerakan berangka togel menunggangi
kasus hukum Ahok untuk menggoyang Jokowi. Antaralain pembicaraan tilpon
dengan Ketua MUI.
Reaksi konyol melalui “pernyataan Cikeas” dengan menggunakan istilah abuse of power oleh
Presiden Jokowi, rasanya menguatkan sisi pandang ini. Berbagi tugas
dengan sohib-mantan-jenderalnya, Prabowo, yang menyerang presidential threshold
dengan istilah yang sama konyolnya, “lelucon politik yang menipu
rakyat”. Dengan itu kita menduga Pak Mantan tetap menempatkan diri
sebagai godfather kelompok-kelompok vigilante dan kaum radikalis yang dibutuhkan suaranya ke depan. Baik sebagai voters di Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, maupun sebagai vocalis-provokator yang bergerak di akar rumput dan rumah-rumah ibadah, seperti sudah terjadi dalam Pilkada DKI.
Benny Harman Masih Tetap Kabur
Sebagai bagian dari kader utama Partai Demokrat, tentu saja Benny Kabur Harman merasa ‘wajib hukumnya’ senada-seirama dengan boss-nya. Tentu
dengan menggunakan argumen hukum, sesuai bidang dan kompetensinya.
Sayang beribu sayang (atau syukur alhamdulillah?), serangannya terhadap
Perpu Ormas justru menjadi boomerang bagi dirinya, bagi boss-nya
dan tentu juga bagi partai mereka. Jenderal Tito dengan sangat cerdas,
berani dan elegan memberi jawaban pamungkas sebagaimana dituturkan Bung
Argo. Dahsyat! Salute Pak Tito, Go ahead!
Saya terpaksa mengajak para pembaca budiman untuk me-refresh ingatan kolektif kita, yang konon menderita short-term memory loss.
Mengingatkan peristiwa politik pada hari Jumat subuh 26 “September
Kelabu” 2014, untuk membuka topeng-topeng kepalsuan yang disandiwarakan
bersama Partai Demokrat diatas panggung politik dalam sidang paripurna
DPR-RI. Sidang paripurna saat itu harus memutuskan pilihan antara
pilkada langsung atau pilkada oleh/melalui DPRD.
Untuk memahami konteksnya, mari kita coba menelusuri scenario politik
yang biasa dimainkan (Presiden) SBY. Seperti dalam kasus Century dan
beberapa kondisi krisis lain, beliau akan meninggalkan Tanah Air untuk
“urusan kenegaraan” dan dari luar memainkan kartunya dengan
pertanyaan-pernyataan heroik. Tetapi (patut diduga) darisana memainkan “remote control”
melalui sms dan tilpon kepada pion-pionnya di DPP Partai Demokrat atau
Fraksi Demokrat (FD) untuk dimainkan diatas panggung-depan Senayan.
Jadi, ketika beliau membuat pernyataan
memihak pilkada langsung, sebenarnya itu hanya topeng untuk menutupi
sikap asli yang memihak KMP (Koalisi Merah Putih) dengan agenda pilkada
lewat DPRD. Untuk itu DPP-PD menyiapkan “10 Syarat” untuk perbaikan
pilkada langsung ke depan, sebagai “bukti” bahwa mereka memang serius
mengamankan kedaulatan rakyat. Ketua harian PD Syarif Hasan kemudian
menginstruksikan Fraksi Demokrat untuk menyuarakan “pemihakan” Sang
Ketua dengan menambahkan 10 syarat itu. Ketika dipresentasikan di
tingkat lobby maupun paripurna, kesepuluh syarat itu
diembel-embeli dengan “mutlak” harus diterima secara musyawarah-mufakat.
“Syarat-yang-dimutlakkan” itu ternyata akal-akalan dan “mainan taman
kanak-kanak” (seperti sindiran Gus Dur terhadap DPR) karena semua juga
tahu itu mustahil!
Tapi ketika Fraksi PDIP, PKB dan Hanura (yang masih menganggap FD serius memihak pilkada langsung) mendukung usul itu tanpa reserve, jubir FD Benny Kabur Harman nampak terperanjat. Kalau syarat itu diterima dan voting dilakukan, kubu pro-pilkada langsung pasti menang. Sebab, dari 148 legislator Demokrat, 130 orang hadir. Nampaknya disinilah remote-control mulai dimainkan. Maka Benny Harman-pun menyatakan fraksinya “kabur” (terjemahan baru versi Demokrat untuk walk-out) dari sidang paripurna. 126 legislator Demokrat dibawah pimpinnan Benny Harman, kabur dan menyisakan 4 anggotanya di arena voting.
Perilaku politik “cuci tangan” ala Pilatus itulah yang memenangkan KMP
dengan 226 suara, mengalahkan koalisi Jokowi-JK dengan 135 suara.
Seandainya Benny Harman cs tidak kabur, suara Kolasi Kerakyatan mestinya
menang dengan 261 suara .
Pada hari itu juga, hashtag atau tagar ShameOnYouSBY muncul spontan dari para pengguna sosial-media twitter, beberapa saat setelah palu sidang diketok untuk mengesahkan pilkada lewat DPRD. Dalam waktu singkat tagar itu menduduki ranking teratas nasional. Tidak lama kemudian bertahan seharian sebagai trending topic global. Pengamat politicawave Yose Rizal menyatakan lebih 300 ribu netizen ikut berkicau di tagar tersebut.
Penasaran dengan tagar itu, saya mencaritahu lewat google. Hasilnya? ‘Shame on you’ is an idiom: a phrase scolding someone for being naughty. Jadi,
itu suatu idiom yang digunakan untuk mencaci-maki seseorang karena
kebrengsekannya. Idiom itu kemudian dijadikan judul lagu swing oleh Spade Cooley, untuk mencela dan memarahi girlfriend-nya yang sesat dan menyesatkan. Nah, silahkan tafsirkan sendiri tagar ShameOnYouSBY.
Mengapa begitu banyak orang mem-bully
seorang presiden, bahkan lembaga kepresidenan Republik Indonesia, dan
mempermalukan kita sebagai bangsa? Kalau ucapan jubir Demokrat Ruhut
Sitompul bahwa walk-out FD dari paripurna karena SMS dari SBY
itu ternyata benar, maka jelas SBY adalah dalang dari sandiwara politik
Demokrat ketika itu. Karena Benny Harman menjadi pelakon utama, maka
sekarangpun kita bisa mengatakan (maaf): Benny Harman masih tetap kabur.
Lagu yang disenandungkannya “Aku masih seperti yang dulu”. Hanya saja,
‘kabur’ kali ini lebih pas dimaknai sebagai blur, tidak jelas,
abu-abu, plintat-plintut mengorbankan nurani dan prinsip untuk mengekor
komandannya. Mungkin saja nuraninya setuju dengan Perpu Ormas (kalau
masih setia pada NKRI dan Pancasila), tetapi naluri politiknya dipaksa
untuk mendukung si boss menyerang Perppu Ormas Presiden Jokowi.
Dengan itu, silahkan menjawab pertanyaan retorik pujangga Inggeris William Shakespeare dalam film-drama Romeo and Juliet “What is in a name”? Apa sih arti sebuah nama?
Viktor B.Laiskodat dan Konteks Pilgub NTT
Dengan paparan diatas, kiranya kita pun
dapat memahami pidato politik Viktor Bungtilu Laiskodat di depan
konstituennya di Kupang, NTT, 1 Agustus 2107. Ketua Fraksi Partai Nasdem
DPR-RI itu terang-terangan menyebut Partai Gerindra, Demokrat, PKS dan
PAN sebagai partai yang mendukung kelompok-kelompok radikal dengan
agenda khilafah. Kita ketahui, Partai Nasdem bersama PDIP adalah dua
partai yang paling terpercaya dan terandalkan sebagai garda depan (avant garde)
dalam membela NKRI dan Pancasila. Siap memertaruhkan segalanya untuk
keutuhan NKRI dan kokohnya Pancasila sebagai dasarnya. Bagi Viktor,
penolakan keempat partai terhadap Perppu Ormas mengindikasikan kompromi
bahkan dukungan mereka pada ormas-ormas anti Pancasila.
Pengingatan Viktor tentu tak dapat
dilepaskan dari rangkaian pilkada dan pilgub NTT 2018. Dan Partai
Demokrat sudah mendukung Benny K.Harman, kelahiran Manggarai Flores,
kembali mencalonkan diri untuk pilgub NTT. Kita tidak boleh lupa, proses
perenungan dan perumusan awal Pancasila itu terjadi pada masa
pembuangan Bung Karno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
[Ketika berkunjung ke Ende (2010), saya
sengaja mengunjungi situs sejarah terkait, yakni rumah tempat Bung Karno
ditahan Belanda dan Taman Rendo. Bahkan menyempatkan untuk duduk
bersila dan coba-merasakan sentuhan memori historis Pancasila dibawah
pohon Sukun di Taman Rendo . Di situlah tempat Bung Karno bermeditasi
dan berkontemplasi hingga terilhami untuk meramu rumusan-rumusan awal
Pancasila demi mewujudkan harmoni dalam kebhinekaan hidup berbangsa dan
bernegara].
Saya bisa memahami jika Viktor Laiskodat
sebagai putera NTT mengingatkan rakyat NTT untuk menjaga Pancasila
dengan tidak membiarkan daerahnya dikangkangi oleh partai-partai yang
dianggap kompromistik dengan agenda khilafah. Atau nantinya dipimpin
oleh gubernur, bupati dan walikota yang siap berkompromi dengan kaum
radikalis. Pemimpin yang tidak segan-segan membungkam nuraninya demi
kepentingan kursi kekuasaan.
Rupanya pidato Viktor berdurasi 21 menit
12 detik itu kemudian dipotong-potong dan diedit (istilah wasekjen
Partai NasDem ‘dimutilasi’) oleh pihak tertentu untuk kemudian
disebarluaskan. Mirip dengan apa yang dikerjakan Buni Yani atas pidato
Ahok di Kepulauan Seribu. Tidak heran kalau ada pihak terkait yang
melaporkan Viktor ke Bareskrim Polri.
Bisa dibayangkan kalau nanti polemik
pidato tersebut berbuntut panjang menjadi kasus hukum. Jagad medsos akan
kembali diramaikan oleh silang pendapat dan opini. Berita baiknya,
rakyat pemilih akan mendapat informasi lebih banyak tentang
partai-partai bersangkutan. Tidak hanya di ruang sidang oleh Viktor dan
para saksi yang dihadirkan, melainkan juga di jagad medsos.
Topeng-topeng yang selama ini menembunyikan wajah asli mereka akan
dibongkar oleh orang-orang yang selama ini punya informasi tapi memilih
berdiam-diri.
Kalau itu benar-benar terjadi, maka kita akan ramai-ramai bernyanyi bersama Ariel Peterpan:
“Kudapat melintas bumi – kudapat merajai hari
kudapat melukis langit – kudapat buatmu berseri
tapi kudapat melangkah pergi – bila kau tipu aku disini…
…buka dulu topengmu – biar kulihat warnamu”
kudapat melukis langit – kudapat buatmu berseri
tapi kudapat melangkah pergi – bila kau tipu aku disini…
…buka dulu topengmu – biar kulihat warnamu”
(Peterpan: “Topeng”)
0 komentar:
Posting Komentar