Miris di tengah modernisasi bangsa, masih
banyak masyarakatnya yang berpikir secara primitif. Belakangan ini,
bukanlah kasus Rizieq yang menjadi perhatian saya, karena menurut saya
dia sudah kalah telak, hingga menunda kepulangannya ke Indonesia. Bukan
pula koalisi mantan jendral yang bergabung melawan tukang kayu, karena
menurut saya sudah jelas ketakutan Pilpres mendatang sudah tergambar di
wajah mereka.
Saya juga tidak tertarik mengomentari HT
yang labil, dengan mendukung ke sana, lalu ke sini. Apalagi membahas
tentang serentetan artis ibu kota yang terjerat kasus narkoba. Mulai
dari yang gemuk—bertato pun memiliki segudang alasan. Yang saya hendak
bahas di sini, ketika menjelang HUT ke-72 RI, sifat primitif bangsa
Indonesia mulai terlihat.
Beberapa hari lalu, muncul kasus di media
massa, di mana seorang ‘terduga’ pencuri di musala, dibakar hidup-hidup.
Setelah saya mengikuti beberapa kasus di media sosial, dan media massa,
dia merupakan seorang tukang servis, yang memang benda tersebut
milikinya, yang dibawa masuk, karena takut hilang jika ditinggal di
luar. Lalu, mengapa bisa bangsa Indonesia yang sudah mapan, berpikir
primitif seperti itu?
Cara Berpikir
Sebagian masyarakat Indonesia, masih
memiliki pola pikir yang rendah. Survei dari suatu lembaga survei
mengatakan, 60% masyarakat Indonesia menggunakan pola pikir dasar,
artinya langsung menelan berita tanpa meneliti kebenarannya. Sama halnya
seperti beredarnya berita hoax di media massa, masyarakat
memercayainya sebagai kebenaran yang hakiki. Inilah yang membuat sikap
dan karakteristik bangsa Indonesia menjadi primitif. Setiap ada isu atau
teriakan secara histeris yang didengarkan oleh orang lain, mereka
langsung berkelompok dan menjadi hakim jalanan.
Ketidaklogisan suatu berita, dipandang
sebagai wujud eksistensi zaman, di mana setiap masyarakat modern,
meyakini bahwa perkembangan berdasarkan tingkat kecerdasan. Akan tetapi,
berita yang dimuat di media massa, memancing pembacanya untuk kritis
membaca, bukan melihat sekilas, kemudian percaya akan isinya. Penulis di
media massa, membuat suatu berita yang memang dimaknai secara
tersirat, agar pembacanya menjadi cerdas, tetapi masyarakat Indonesia
cenderung malas dalam menelaah suatu informasi.
Dari malasnya berpikir, kemudian bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang ‘gelap’ akan gaya bahasa seorang penulis.
Hal ini berdampak pada cara berpikir bangsa Indonesia yang semakin aneh
belakangan ini. Mereka yang dikenal kekeluargaan, bersahaja, seakan
kehilangan jati dirinya. Cara masyarakat membuat hukum jalanan, menjadi
suatu contoh nyata, bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan jati diri
bangsanya. Hukum tidak lagi menjadi suatu hal yang mutlak dipatuhi di
Indonesia.
Selain cara berpikir yang pendek, main
hakim sendiri, masyarakat Indonesia mulai kehilangan semangat dalam
memecahkan masalah hidup. Mereka cenderung mengambil jalan pintas dalam
menyelesaikan masalah hidupnya, padahal jalan pintas itu tidak
menyelesaikan masalahnya. Sikap yang seperti ini, haruslah hilang dari
generasi bangsa Indonesia, karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
terbiasa berpikir dan mencari solusi atas permasalahan hidupnya, bukan
mengambil jalan pintas.
Memaknai Modernisasi
Sebagai bangsa yang modern, masyarakat
Indonesia dituntut lebih matang dalam berpikir. Salah satunya dalam
menelaah suatu informasi yang berkembang di masyarakat. Perkembangan
zaman mengharuskan bangsa Indonesia melakukan transformasi dalam
pelbagai aspek. Misalnya dalam bidang pendidikan, pembangunan, dan
politik yang selama ini menyumbang kemajuan bangsa.
Sebagai bangsa yang maju, bangsa Indonesia
sudah melalui tahap tersulit, yaitu saat era penjajahan, dan saat ini
bangsa Indonesia sedang berusaha untuk berkembang. Pembangunan di
mana-mana, pergolakan politik yang cukup hangat, banyaknya generasi muda
berprestasi, merupakan salah satu makna modernisasi. Mereka yang masih
berpikir primitif, seharusnya memetik hikmah dari apa yang sedang
terjadi di Indonesia. Jika tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, maka
dia akan tergerus oleh zaman.
Memaknai modernisasi bukan hanya menerima
pembangunan, melainkan membentuk pola pikir yang kritis. Sikap
mengkritisi, menelaah, meneliti, merupakan suatu bentuk karakteristik
bangsa Indonesia yang modern. Seharusnya bangsa Indonesia menghapus
budaya primitif mulai saat ini. Segala macam aksi yang memang
bertolakbelakang dengan ideologi bangsa, seharusnya mulai ditinggalkan.
Aksi demonstrasi, main hakim sendiri, dan memercayai berita yang belum
pasti haruslah tidak ada dalam era modern seperti saat ini. Terlebih
lagi, seorang politisi yang ternyata tidak menghargai adanya pembangunan
yang modern. Tersesat di simpang Semanggi, lantas menyebutnya sebagai
pembangunan yang gagal, lalu bagaimana jika Anda berkunjung ke Dallas?
Semoga tidak ada lagi generasi primitif di Indonesia yang malas membaca
dan mengkaji.
0 komentar:
Posting Komentar