“Tidak boleh kita biarkan mereka yang terang-terangan ingin
mengganti Pancasila, ingin merongrong NKRI , meruntuhkan demokrasi
negara ini” ( Presiden Jokowi)
HTI Akhirnya Dibubarkan !
Pernyataan lugas nan tegas oleh Presiden
Jokowi, di awal tulisan ini, terlontar saat peresmian Akademi Bela
Negara (ABN) Partai Nasdem di Jakarta (nasional.kompas.com,16/7/2017),
saat merespon soal penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 atas Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Untuk memudahkan mengingat, Perppu Nomor 2
Tahun 2017 tersebut, secara singkat dikenal dengan Perppu Ormas Anti
Pancasila. Dan konteks lahirnya Perppu tersebut adalah kegentingan
nasional dengan kian berkecambahnya faham radikalisme dan intoleransi
yang diusung oleh ormas-ormas tertentu, dan belakangan nampak begitu
massif, terstruktur dan sistematis, berjalin berkelindan dengan
akselerasi penggunaan media sosial.
Dan bila kita menoleh sejenak ke belakang,
selama SBY berkuasa, sikap dan tindakan intoleransi telah berkembang,
sebagaimana tersaji dari survey yang digelar oleh Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) pada tahun 2007, terhadap 1200 perempuan dan
laki-laki, menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan. Kendati 76% sepakat
dengan nilai-nilai Pancasila, dan 84.7% setuju NKRI berdasarkan
Pancasila, tetapi hasil survey juga menemukan bahwa terdapat 22.8%
sepakat dengan aspirasi menjadikan Indonesia negara Islam. Survey ini
juga memberi petunjuk mengenai persepsi buruk terhadap non muslim, yaitu
62.7% tidak setuju jadi presiden, 64% setuju jadi guru di sekolah umum;
52.2% membolehkan acara kebaktian; 45.3% melarang kebaktian, 55.8 %
setuju membangun gereja dan sebanyak 51.6% tidak setuju. (http://nurmandi.staff.umy.ac.id/files/2011/09/islam-and-natinality.pdf)
Puncak bulan madu sekaligus penampakan
kasat mata dari aspek radikalisme dan intoleransi adalah pada masa
Pilkada DKI yang baru lalu. Masyarakat disuguhi idiom-idiom yang
begitu intens mengepung dan menteror mental , semisal; kafir,
munafik, penista agama dan beragam kosa-kata yang teramat menyesakkan
untuk dicerna nalar sehat. Dan jejak HTI pun sulit untuk kita lupakan,
bahkan nampak antusias tidak saja turut aktif mengkampanyekan
intoleransi, juga sebagai provokator utama.
Fakta di jagad maya maupun di dunia nyata,
juga tak terbantahkan bahwa HTI secara terang-terangan masuk pada tahap
menguggat falsafah dasar negara, yaitu Pancasila; maka sikap dan
kebijakan tegas Jokowi saat mengeluarkan Perppu mengenai Ormas Anti
Pancasila menjadi proporsional dan pada momentum yang tepat. Dan sasaran
pertama adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).
sumber gambar : kabardwipa.co
Mengapa HTI ?
Kendati Presiden Jokowi pada kesempatan
berbeda menegaskan bahwa ormas-ormas lain yang anti Pancasila juga
sedang dalam tahap penjajakan untuk dibubarkan, namun alasan HTI menjadi
yang perdana sangat logis dan tentunya setelah melewati proses panjang
dan matang.
Merujuk pada https://en.wikipedia.org/wiki/Hizb_ut-Tahrir, penulis sepakat bahwa HTI sebagai ormas yang pertama wajib dibubarkan, setidaknya berdasarkan pada fakta-fakta berikut ini.
1. HT (Hizbut Tahrir) yang
didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani, pada tahun 1953 di Jerusalem,
sejatinya merupakan organisasi politik Internasional Pan-Islamisme
dengan ideologi Islam dan bertujuan untuk menegakkan kembali “Khilafah Islamiyah” atau mendirikan kekhalifahan
internasional yang terdiri dari negara-negara mayoritas muslim yang
terbentang dari Maroko di Afrika Utara hingga Philipina Selatan di Asia
Tenggara. Artinya HT di negara manapun memiliki visi dan misi sama .
2. Tiga tahapan strategi yang diterapkan
HT antara lain; pertama rekrutmen anggota baru, kedua membangun
jaringan sel-sel rahasia dan pada akhirnya mencoba untuk menginfiltrasi
pada pemerintahan untuk melegalkan partai dan tujuannya. Secara lebih
sistematis strategi tersebut dapat diuraikan di bawah ini:
- 2.1- Menciptakan grup elit sebagai komunitas dari anggota HT yang mengajak pada masyarakat Muslim untuk mendukung negara Islam. Para anggota harus menerima semua target dan metode organisasi HT sebagai miliknya dan siap bekerja guna memenuhi semua target.
- 2.2- Membangun opini publik di tengah Umat Islam mengenai khilafah dan konsep Islam lainnya, yang akan menggiring pada kebangkitan kembali pemikiran Islam (proses tersebut mereka sebut sebagai “ transformasi intelektual melalui interaksi politik dan budaya”). Dua target berikutnya melibatkan anggota-anggota elit HT ke dalam beragam posisi di pemerintahan dan militer.
- 2.3- Ketika opini publik tercapai lewat debat dan ajakan, grup elit HT berharap mendapat dukungan dari jenderal-jenderal militer, para pemimpin, dan figur berpengaruh lainnya atau pelbagai lembaga guna memfasilitasi pergantian pemerintahan . Dan pada akhirnya jika sukses mengganti pemerintahan segera menerapkan hukum Islam “secara umum dan menyeluruh” .
Jika menyimak tiga tahapan strategi di
atas, dan dengan dukungan anggota diperkirakan berjumlah antara 10 ribu
hingga sekitar satu juta yang tersebar pada lebih dari 50 negara,
maka taidaklah mengherankan jika hampir semua negara dimana pun ada HT,
menjadi ancaman nyata keutuhan berbangsa dan bernegara. Maka harus
dibubarkan sebagaimana terjadi di Rusia, Jerman, Tiongkok, Mesir pada
medio tahun 2015.
Maka sangat wajar dan rasional bahwa pemerintahan Jokowi pun segera membubarkan HTI sebelum semuanya terlambat.
Fakta lain bahwa HT diterima dengan nyaman
di Amerika Serikat dan Inggri–dua dedengkot kapitalisme dunia, yang
sering mereka serang– sejatinya memberi perspektif lain bagi kita bahwa
eksistensi HT di seluruh dunia adalah menjadi pion-pion AS dan Inggris
untuk kepentingan dua negara adidaya tersebut (yang juga embahnya
zionisme), demi mengacak-ngacak negara lain. Fenomena Arab Springs adalah contoh sempurna atas dugaan di atas. Contoh kajian keterlibatan HTI di selama Arab Springs berlangsung dengan kasus Suriah misalnya, bisa diakses di https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/04/04/hti-gagal-paham-suriah-1/
3. Muslihat dan hipokrisi yang ditampilkan
HTI—dengan jargon organisasi dakwah Islam—sembari
mencantumkan Pancasila pada ARD/ART-nya, namun pada prakteknya, secara
mencolok mata kerap menistakan Pancasila. Sistem demokrasi pun
mereka olok-olok.
4. Label-label kafir dan thogut yang
kerap disematkan pada pemerintahan Jokowi, adalah wujud
penghianat dan ancaman serius tidak saja pada wibawa pemerintahan
Jokowi yang telah dipilih secara demokratis, juga akan
menjadi bibit buit perpecahan antar anak bangsa.
Menepis Falasi Non Causa Pro Causa
Falasi Non Causa Pro Causa
artinya memberi argumentasi yang salah karena keliru mengidentifikasi
sebab. Kendati telah penulis singgung pada artikel lain (https://seword.com/politik/falasi-non-causa-pro-causa-dan-pembubaran-hti/. Namun di sini perlu dikemukakan kembali sebagai penguat bagi pendukung pembubaran HTI dan juga pihak pemerintahan Jokowi.
Bahwa pembubaran HTI lewat lahirnya Perppu No 2 Tahun 2017 disebabkan, sekali lagi disebabkan oleh tindakan HTI yang sudah menjurus pada makar dan membahayakan empat pilar bangsa ini, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45, sebagaimana dipaparkan di atas,
Jadi bukan disebabkan oleh tindakan
otoriter pemerintahan Jokowi yang tiba-tiba membubarkan HTI, juga Perppu
Anti Pancasila tersebut berlaku bagi semua ormas yang merongrong dan
membahayakan PBNU.
Jadi kesimpulannya bahwa; dengan
penerapan Perppu No 2 Tahun 2017, justru membuktikan dan menegaskan
komitmen Jokowi untuk menegakkan dan menjaga Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45 .
0 komentar:
Posting Komentar