Mendengarkan pidato presiden Joko Widodo siang ini dalam sidang tahunan MPR, benar-benar membuat saya bersyukur ada di atas bumi Indonesia. Dalam pidatonya itu presiden menekankan bahwa janji-janji kemerdekaan harus ditepati dengan target pembangunan yang tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang, target pembangunan yang tidak jawa sentris tetapi indonesia sentris. Pembangunan yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan, seluruh rakyat Indonesia sampai di batas terluar negeri ini.
Terbayang masa pra kemerdekaan, ketika 350 tahun di bawah jajahan Belanda dan 3,5 tahun oleh jepang, rakyat Indonesia harus menahan kelaparan, kerja rodi untuk perkebunan dan infrastruktur yang hasilnya dinikmati oleh penjajah. Alas kaki (sandal/sepatu) adalah kemewahan yang hanya dipakai oleh orang-orang Eropa, derajat manusia ditentukan oleh kasta feodal. Rakyat pelan-pelan mati karena kelaparan, kerja rodi, dan tanam paksa. Ada yang bilang, seandainya tidak ada Belanda menjajah Indonesia mungkin tidak ada rel kereta api dan juga jalan raya Anyer-Panarukan. Well, itu dibangun dengan keringat dan darah para sesepuh kita yang mungkin meninggal di tengah injakan sepatu para serdadu belanda atau mandor-mandor proyek. TIDAK ADA YANG LEBIH BAIK DARI MERDEKA. Semua infrastruktur yang ada di masa penjajahan memghasilkan kenangan pilu yang tidak bisa dibanggakan. Pembangunan di era kemerdekaan saat ini jauh lebih menyenangkan, Indonesia saat ini bisa membangun jalan tol, jalan trans hingga Papua, rel kereta api hingga luar jawa, listrik masuk ke pelosok daerah tertinggal, harga bbm bisa sama antara Jawa dan Papua. Masih mau bilang “lebih enak jamanku?” (baca: jaman di mana Anyer-Panarukan dibangun?).
Belum lagi soal pendidikan di masa itu, pra kemerdekaan, sekolah-sekolah dipenuhi oleh anak-anak Eropa. Anak bangsa buta baca buta tulis, jika pun ada yang bisa masuk sekolah Eropa itu pun anak-anak pejabat semacam bupati atau kawedanan. Buku-buku dan terbitan ada dalam bahasa Belanda, dengan cara apa rakyat Indonesia yang buta aksara dan bahasa asing bisa belajar saat itu? Bukankah zaman ini menjadi begitu terang karena arus informasi berkembang dengan cepat, sekolah dan pendidikan adalah prioritas. Betapa kita harus sering bersyukur akan kemerdekaan ini.
Pers masa pra kemerdekaan juga bungkam. Kenapa? Karena terbatasnya kemampuan aksara dan literasi pribumi Indonesia. Hingga munculnya Medan Prijaji sebagai pemula pers pribumi yang dimotori oleh Tirto Adhi Soerjo, yang kemudian juga diasingkan ke Maluku karena dianggap kiprah Medan Prijaji mengancam Gubermen. Lihat, apa-apa di era penjajahan jadi salah, menjadi rakyat yang maju salah, menjadi tidak tahu apa-apa juga tertindas.
Menapaki usia 72 tahun merdeka, benar bahwa Indonesia belum merdeka secara utuh, masih ada angka kemiskinan, masih ada angka putus sekolah, kriminal, dan yang paling menyedihkan adalah masih ada koruptor. Rupanya budaya upeti dan masuk kantong sendiri dari era feodalisme masih diwarisi oleh sebagian kecil rakyat indonesia yang tidak sedikit pun malu dengan perilakunya.
Tapi bukankah selalu ada optimisme dari sebuah kemerdekaan dan bagaimana menunaikan janji kemerdekaan yang sudah dirumuskan oleh pendiri bangsa? Kerja bersama, maju bersama, kiranya bukan slogan yang sederhana jika itu mampu diresapi oleh kita semua. Jika tidak mampu memikirkan dan berkontribusi dalam perkara yang besar, tunaikan janji itu di sekitar kita: merdekakan diri, merdekakan keluarga, merdekakan lingkungan dari kungkungan kemiskinan, kebodohan, dan kebebalan pikir.
Kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan di Indonesia, tetapi siapa pun warga negara ini adalah mereka yang terpilih untuk menjadi penopang bangsa, terpilih untuk menjaga dan menikmati kekayaan sumber daya alamnya. Perbedaan akan selalu ada, perdebatan akan selalu menjelma. Bukankah sebelum pembacaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, juga terjadi perdebatan antara golongan tua dan golongan muda tentang waktu pembacaan teks proklamasi karena kekhawatiran anggapan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang. Pada akhirnya 17 Agustus 1945 adalah hari yang tepat dan kita merayakannya hingga saat ini.
Perayaan kemerdekaan hingga 72 tahun ini bukanlah semata-mata bentuk upacara bendera, kita tinggal menikmati. Kita tidak harus menjadi Jenderal Soedirman yang bergerilya, menjadi Soekarno dan Hatta yang bernegosiasi, menjadi Fatmawati yang menjahitkan bendera merah putih, menjadi Sayuti Melik yang mengetikkan naskah proklamasi. Saat ini kita hanya perlu menjadi warga negara yang baik yang taat pada pancasila dan UUD 1945, yang berkontribusi dengan baik, berterima kasih kepada bumi pertiwi dengan menjaganya. Sebab kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan kemerdekaan adalah hak seluruh warga Indonesia. TIDAK ADA YANG LEBIH BAIK DARI MERDEKA, MERDEKA! MERDEKA! MERDEKA
Terbayang masa pra kemerdekaan, ketika 350 tahun di bawah jajahan Belanda dan 3,5 tahun oleh jepang, rakyat Indonesia harus menahan kelaparan, kerja rodi untuk perkebunan dan infrastruktur yang hasilnya dinikmati oleh penjajah. Alas kaki (sandal/sepatu) adalah kemewahan yang hanya dipakai oleh orang-orang Eropa, derajat manusia ditentukan oleh kasta feodal. Rakyat pelan-pelan mati karena kelaparan, kerja rodi, dan tanam paksa. Ada yang bilang, seandainya tidak ada Belanda menjajah Indonesia mungkin tidak ada rel kereta api dan juga jalan raya Anyer-Panarukan. Well, itu dibangun dengan keringat dan darah para sesepuh kita yang mungkin meninggal di tengah injakan sepatu para serdadu belanda atau mandor-mandor proyek. TIDAK ADA YANG LEBIH BAIK DARI MERDEKA. Semua infrastruktur yang ada di masa penjajahan memghasilkan kenangan pilu yang tidak bisa dibanggakan. Pembangunan di era kemerdekaan saat ini jauh lebih menyenangkan, Indonesia saat ini bisa membangun jalan tol, jalan trans hingga Papua, rel kereta api hingga luar jawa, listrik masuk ke pelosok daerah tertinggal, harga bbm bisa sama antara Jawa dan Papua. Masih mau bilang “lebih enak jamanku?” (baca: jaman di mana Anyer-Panarukan dibangun?).
Belum lagi soal pendidikan di masa itu, pra kemerdekaan, sekolah-sekolah dipenuhi oleh anak-anak Eropa. Anak bangsa buta baca buta tulis, jika pun ada yang bisa masuk sekolah Eropa itu pun anak-anak pejabat semacam bupati atau kawedanan. Buku-buku dan terbitan ada dalam bahasa Belanda, dengan cara apa rakyat Indonesia yang buta aksara dan bahasa asing bisa belajar saat itu? Bukankah zaman ini menjadi begitu terang karena arus informasi berkembang dengan cepat, sekolah dan pendidikan adalah prioritas. Betapa kita harus sering bersyukur akan kemerdekaan ini.
Pers masa pra kemerdekaan juga bungkam. Kenapa? Karena terbatasnya kemampuan aksara dan literasi pribumi Indonesia. Hingga munculnya Medan Prijaji sebagai pemula pers pribumi yang dimotori oleh Tirto Adhi Soerjo, yang kemudian juga diasingkan ke Maluku karena dianggap kiprah Medan Prijaji mengancam Gubermen. Lihat, apa-apa di era penjajahan jadi salah, menjadi rakyat yang maju salah, menjadi tidak tahu apa-apa juga tertindas.
Menapaki usia 72 tahun merdeka, benar bahwa Indonesia belum merdeka secara utuh, masih ada angka kemiskinan, masih ada angka putus sekolah, kriminal, dan yang paling menyedihkan adalah masih ada koruptor. Rupanya budaya upeti dan masuk kantong sendiri dari era feodalisme masih diwarisi oleh sebagian kecil rakyat indonesia yang tidak sedikit pun malu dengan perilakunya.
Tapi bukankah selalu ada optimisme dari sebuah kemerdekaan dan bagaimana menunaikan janji kemerdekaan yang sudah dirumuskan oleh pendiri bangsa? Kerja bersama, maju bersama, kiranya bukan slogan yang sederhana jika itu mampu diresapi oleh kita semua. Jika tidak mampu memikirkan dan berkontribusi dalam perkara yang besar, tunaikan janji itu di sekitar kita: merdekakan diri, merdekakan keluarga, merdekakan lingkungan dari kungkungan kemiskinan, kebodohan, dan kebebalan pikir.
Kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan di Indonesia, tetapi siapa pun warga negara ini adalah mereka yang terpilih untuk menjadi penopang bangsa, terpilih untuk menjaga dan menikmati kekayaan sumber daya alamnya. Perbedaan akan selalu ada, perdebatan akan selalu menjelma. Bukankah sebelum pembacaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, juga terjadi perdebatan antara golongan tua dan golongan muda tentang waktu pembacaan teks proklamasi karena kekhawatiran anggapan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang. Pada akhirnya 17 Agustus 1945 adalah hari yang tepat dan kita merayakannya hingga saat ini.
Perayaan kemerdekaan hingga 72 tahun ini bukanlah semata-mata bentuk upacara bendera, kita tinggal menikmati. Kita tidak harus menjadi Jenderal Soedirman yang bergerilya, menjadi Soekarno dan Hatta yang bernegosiasi, menjadi Fatmawati yang menjahitkan bendera merah putih, menjadi Sayuti Melik yang mengetikkan naskah proklamasi. Saat ini kita hanya perlu menjadi warga negara yang baik yang taat pada pancasila dan UUD 1945, yang berkontribusi dengan baik, berterima kasih kepada bumi pertiwi dengan menjaganya. Sebab kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan kemerdekaan adalah hak seluruh warga Indonesia. TIDAK ADA YANG LEBIH BAIK DARI MERDEKA, MERDEKA! MERDEKA! MERDEKA
0 komentar:
Posting Komentar