Tidak main-main isu SARA yang disebarluaskan oleh sebuah sindikat penebar isu SARA dan ujaran kebecian. Bahkan isu ini sudah sampai ke telinga Jokowi dan Mendagri, Tjahjo Kumolo. Isu SARA yang sangat mengancam kesatuan dan persatuan negara harus segera diusut tuntas sampai ke akar-akarnya.
Jokowi pun sudah memerintahkan pihak kepolisian untuk mengusut tuntas-tas-tas mengenai apa yang menjadi penyelidikan mereka mengenai isu SARA yang disebarkan oleh sindikat Saracen dengan tersangka Jasriadi, Sri Rahayu Ningsih, dan satu lagi saya lupa, dan sekaligus malas untuk mencari tahu. Pada artikel ini saya ingin berfokus kepada apa yang menjadi suara istana, yakni suara mendagri dan panglima tertinggi di Indonesia, Presiden Joko Widodo.
“Saya sudah perintahkan kepada kapolri. Diusut tuntas bukan hanya Saracen-nya saja. Tapi siapa yang pesan siapa yang bayar, harus diusut tuntas… Individu saja sangat merusak kalau informasinya itu tidak benar, bohong, apalagi fitnah. Apalagi yang terorganisasi. Ini mengerikan sekali. Kalau dibiarkan akan mengerikan,” kata Jokowi di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat
Cepatnya perkembangan teknologi dan penyebaran informasi, terkadang juga bisa menjadi kebahayaan tersendiri. Perkembangan teknologi yang tidak diimbangi dengan kedewasaan di dalam bermedia sosial maupun berinteraksi dengan sesama, membuat teknologi menjadi sebuah momok yang mengerikan.
Presiden mengatakan bahwa penggunaan media sosial yang tidak dewasa akan memberikan dampak yang merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jarang sekali kita melihat statement keras Jokowi selama ia memimpin negara ini, hampir 3 tahun. Selama ini kita melihat bagaimana terstrukturnya, sistematisnya, dan masifnya penyebaran pemberitaan hoax yang menyudutkan pemerintahan yang sah. Lihat saja bagaimana Jokowi difitnah sebagai antek-antek asing maupun PKI.
Lihat lagi Ahok yang difitnah begitu rupa hanya karena suku yang berbeda dengan suku kebanyakan alias mayoritas. Maaf jika saya menggunakan istilah minoritas dan mayoritas. Karena saat ini, memang hal inilah yang digoreng secara crispy dan renyah oleh para kaum ontaleran yang sangat ontalektual. Inilah yang terjadi di Indonesia.
Memang betul jika dibiarkan kelamaan, Indonesia akan ada di ujung tanduk. Karena apa yang dikompromikan adalah kedaulatan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara. Seruan-seruan memilih pemimpin yang seiman dan dijanjikan ‘sorga’ merupakan sebuah perusakan mental.
Bahkan kita tahu bagaimana pedihnya pada saat itu melihat Ahok dizolimi, Haji Djarot diusir dari Masjid oleh pendukung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang ‘itu’ malah meneriakkan pekikan-pekikan yang mengkhawatirkan. ‘Jangan memilih pemimpin kafir!’, ‘Kota ini indah tanpa pemimpin kafir’, dan sebagainya. Ini adalah bentuk pembodohan publik yang nyata-nyata dikerjakan oleh para pendukung sebelah. Siapa pasangan calon yang didukung? Pikir saja sendiri. Untuk menyebutkannya pun saya malas.
“Siapa pun pasangan calon yang mengumbar kebencian, menghujat dan memfitnah harus ditindak tegas. Harusnya ada adu program, adu konsep. Harus ada ketegasan dari kepolisian dan perangkat pemilu, saya kira parpol juga sama,” ujar Mendagri, Tjahjo Kumolo
Jokowi akhirnya buka suara mengenai isu SARA yang disebar oleh Saracen dengan Sri Rahayu Ningsih yang jelas-jelas mendukung Prabowo dan Anies. Mendagri, Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa akan ada sanksi berat bagi pasangan calon yang melakukan kampanye berbau SARA.
Ancaman diskualifikasi ini akan diwacanakan untuk pilkada 2018. Jika saya boleh bertanya, bagaimana dengan orang-orang yang sudah terpilih, dan terbukti melakukan kampanye yang berbau-bau SARA? Apakah mereka dapat didiskualifikasi juga?
Sampai saat ini, kita tahu bahwa Indonesia sedang bersih-bersih. Pemerintah dan kepolisian sedang melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Rakyat diajar untuk menjadi rakyat yang lebih ‘manusia’.
Loh maksudnya apa? Bukankah seluruh rakyat Indonesia adalah manusia? Ya, memang kita semua adalah manusia, namun masih banyak di antara kita yang menunjukkan diri tidak selayaknya manusia, bahkan jauh lebih rendah dari hewan.
Tindakan-tindakan yang berbau SARA tidak dapat dibenarkan, bahkan tidak ada binatang yang saling menghantam dengan isu SARA. Rasanya, orang-orang bermental kerdil ini harus dipecut lebih keras lagi, atau lehernya dikekang. Mungkin manusia-manusia rasis yang ontaleran dan intoleran ini harus diberikan pelana agar menjadi jinak.
Mereka harus diajarkan untuk makan nasi, ketimbang makan rumput. Mungkin orang ini harus diajar juga untuk lebih mengetahui, bahwa hidupnya bukan sekadar untuk mengisi perut dan berlari dan makan beling. Loh itu kan kuda lumping? Ya maksud saya juga itu. Jika pembaca Seword tahu siapa yang saya maksud, tentu pembaca Seword sangat cerdas!
Kuda lumping, makan beling. Kuda ganteng, tinggal di Hambalang.
Betul kan yang saya katakan?
0 komentar:
Posting Komentar