Beranikah kita berfikir, bahwa jika kita
menginginkan sesuatu terjadi, Tuhan pasti akan menuruti ? Kalau demikian
kejadiannya, maka niscaya dunia ini akan penuh dengan hal-hal ajaib.
Karena keinginan manusia tidak akan mampu menjangkau masa depan, jadi
ketika dia membayangkan sesuatu, kebutuhan saat itulah yang mampu
difikirkannya. Panggung sulap tidak akan semenarik seperti saat ini,
karena semua orang bisa melakukannya.
Sayangnya dunia bukanlah panggung sulap,
yang seketika bisa mengubah hal yang tidak mungkin menjadi sebaliknya.
Hukum Tuhan bukanlah seperti sihir atau akrobat. Hukum Tuhan bersifat
kekal, seperti difirmankannya dalam semua kitab suci. Jika menurut
hukum, suatu benda harus mengikuti proses pembentukan, bertahap dari
bentuk sederhana hingga mencapai kelengkapannya, dan bukan tiba-tiba
muncul di hadapan, maka selamanya akan berlaku seperti itu.
Adapun ruang yang disediakan bagi kita
untuk meminta kepada-Nya, harus memenuhi batas dan persyaratan tertentu,
yang mengikuti ketetapan-Nya pula, tidak lebih dan tidak kurang. Dan
meskipun karena kemurahan-Nya sekalipun, Dia senantiasa mendengar doa
makhluknya, tetapi cara-Nya menerima do’a, tidak seperti orangtua kita
mengabulkan permintaan anaknya.
Mari kita analogikan uraian di atas dengan
kondisi masyarakat sekarang, yang katanya sarat dengan manusia berilmu.
Tetapi justru karena ketinggian ilmunya, ketika pada saatnya, terkesan
memaksa Tuhan menuruti kehendak hatinya. Dan atas pemahamannya yang
terbatas itu, bahwa saat ini Tuhan seharusnya meluluskan kehendak mereka
mendirikan Khilafah, yakni kepemimpinan islami, yang berorientasi
syariah Tuhan.
Repotnya terminologi syariah versi mereka,
menafikan kaidah yang selalu dibawa para utusan Tuhan di masa lalu.
Jika kehendak dan permohonan mereka itu tidak membawa misi kekuasaan
secara politik, sebenarnya tidaklah salah dan sah-sah saja. Sebagaimana
Tuhan berfirman dalam Al Qur’an, bahwa “Allah telah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih untuk menjadikan
mereka sebagai khalifah di muka bumi ini sebagaimana Ia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah, menyebarkan bagi mereka
agama yang telah diridhainya untuk mereka secara merata dan menggantikan
ketakutan mereka dengan rasa keamanan (sehingga) mereka dapat
menyembah-Ku dan tidak menyekutukan-Ku. Barangsiapa ingkar setelah itu,
merekalah orang-orang yang fasiq.” (Surah an-Nûr (24) : 56)
Persoalannya, dengan jaminan Tuhan di
atas, tidaklah lantas berarti kita berhak untuk memintanya kapanpun kita
inginkan. Karena Tuhan tentu memiliki rencana, yang tidak secara terang
dikabarkan, sebagaimana wujud-Nya yang Maha ghaib, kita tidak
mengetahui kapan dan siapa yang Dia kehendaki menyandang predikat
utusan-Nya.
Jika ditemukan sekelompok orang
menyuarakan kepada khalayak untuk menggalang pembentukan komunitas
negara, atau khilafah dengan istilah apa pun, patut dipertanyakan atas
nama apa mereka berani menyuarakan doktrinnya. Jika atas nama Tuhan
mereka masuk ke ranah politik dengan itikad pembentukan negara, kita
yakin hal itu semata-mata didorong oleh agenda kekuasaan dunia semata.
Sementara Tuhan, seperti dalam sejarah
setiap para nabi dan utusan-Nya mendakwakan diri, mereka tidak pernah
menyentuh wilayah kekuasaan dunia. Lihatlah riwayat para raja di masa
lalu, yang selalu mengangkat bendera permusuhan dengan para nabi,
bukanlah karena alasan perebutan kekuasaan, melainkan karena
kekhawatiran mereka semata atas kekuatan moral dan spiritual para
penghamba Tuhan itu.
Sangat jauh bedanya ketika masa para nabi
dan penyeru manusia untuk kembali kepada Tuhan, dibanding kini para
pengusung pendirian negara syariah, yang tidak melepaskan isu memperoleh
kekuasaan politik, wajar jika pemerintah yang sah di semua negara akan
bangkit menghadang gerakan serupa itu.
Khilafah yang sejati tidak mungkin
merongrong kehidupan negara yang sudah berdiri tegak. Ironisnya, tidak
sedikit sosok pemuka masyarakat yang terjebak dalam paradigma keliru
tentang khilafah. Maka penting untuk dipahami, bahwa kedekatan hati
manusia kepada Tuhannya, terlalu berharga untuk dinodai dengan ambisi
kekuasaan duniawi. Dan misi khilafah yang hadir di tengah-tengah
masyarakat nanti, haruslah memiliki karakteristik demikian.
Bahwa Tuhan ingin menetapkan siapa sesuai
yang dikehendaki-Nya, sebagaimana sepanjang zaman yang kita ketahui, Dia
hanya mengabarkan kepada orang yang spesifik. Maka satu hal lagi yang
perlu menjadi pemahaman kita, cermatilah dia yang mendakwakan diri nanti
sebagai pembawa misi itu.
Sungguh disesalkan, sejarah selalu
berulang, tidak pernah satu kali saja, di masa seorang utusan yang
benar, mengaku kepada masyarakat terdekatnya sekali pun, langsung
disambut gembira. Hal yang selalu terjadi, justru penistaan demi
penistaan, dan tidak jarang menjadi sasaran pembunuhan. Tetapi
pembuktian bahwa dia seorang yang benar, akan tiba melalui fenomena ini,
meskipun sekuat tenaga mereka mengerahkan upaya penghancuran, Tuhan
selalu menyelamatkan dia yang berada atas nama-Nya.
Kesimpulan kita, jika pengakuan pendirian
khilafah itu memiliki implikasi membawa misi politik kekuasaan, kita
harus meyakini hal itu bukan berasal dari Tuhan, karena politik Tuhan
tidak pernah menisbatkan seseorang pembela-Nya menjadi penguasa dunia.
Lebih-lebih jika pengaku khalifah justru menyebarkan teror, menebar
kehancuran, berlaku intoleran dan mengkampanyekan permusuhan.
Di lain pihak, jika kita bertemu dengan
dia yang mendeklarasikan dirinya pengusung misi mengembalikan manusia ke
hadapan Tuhan, hendaknya kita tidak secara frontal menentang, melainkan
pelajari dan selidiki dengan seksama. Pertimbangan kita hanya satu hal,
Tuhan jauh-jauh hari telah memberi kabar ghaib tentang kedatangan
khalifah akhir zaman.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
menguji kebenaran dia, lebih-lebih di era teknologi serba maju. Setiap
hal bisa menggunakan metode paling baik, sehingga membawa keyakinan yang
tinggi untuk menetapkan sesuatu bernilai positif atau negatif.
0 komentar:
Posting Komentar