Indonesia
adalah satu-satunya negara yang unik di dunia. Setidaknya, negara ini
memiliki pulau terbanyak dengan jumlah 17.504 pulau dan jumlah suku 740
serta bahasa lokal 746 bahasa. Hal ini menandakan bahwa bangsa ini
memiliki tingkat keragaman yang sangat luar biasa. Agama yang dianut pun
beragam. Untuk hidup berdampingan dibutuhkan sebuah sistem yang bisa
mengakomodir semua golongan tersebut. Maka, lahirlah Bhinneka Tunggal
Ika sebagai pedoman.
Pada awalnya, sesaat setelah kemerdekaan,
bangsa ini hampir saja kembali terpecah. Padahal, perjuangan melepaskan
diri dari kolonialisme tidaklah mudah. Butuh tenaga luar biasa dan
korban jiwa yang tidak tanggung-tanggung. Peristiwa itu dikarenakan
tujuh kata yang dinilai hanya memihak agama dan golongan tertentu di
negara yang multi golongan dan agama ini. Maka, di antara debat yang
sengit; menyita banyak tenaga; dan waktu, muncullah K.H. Wahid Hasyim
sebagai salah satu dari tim sembilan dan tokoh muda NU memberi solusi
yang tepat. Beliau menawarkan menghapus tujuh kata tersebut dengan
pertimbangan kebersatuan bangsa dan ketenteraman masyarakatnya akan
lebih terjamin. Semuanya sepakat.
Pun pada Munas Alim Ulama di Situbondo
pada tahun 1983, NU secara tegas menerima Pancasila sebagai asas tunggal
organisasinya yang dinyatakan dalam sebuah piagam resmi. Hal ini
dikarenakan sikap visionernya organisasi terbesar di tanah air ini dalam
menyikapi keberagaman dan kebersatuan bangsa yang terdiri dari berbagai
golongan, suku dan agama.
Indonesia memang unik, ia tidak bisa
disamakan dengan Negara-Negara Timur tengah yang notabeni masyarakatnya
pemeluk Agama Islam atau pun Eropa yang mayoritas Kristen. Di negara
yang penuh dengan keberagaman ini, semuanya hidup berdampingan. Layaknya
saudara, kita harus saling melengkapi kekurangan dan menolong yang
lemah. Sehingga, keputusan apa pun yang bersangkat-paut dengan
masyarakat tidak boleh menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Bhinneka Tunggal Ika adalah falsafah dari
sebuah kebersamaan yang harus dirajut. Sebagaiaman rajutan, ia tidak
akan pernah terjadi jika tidak pernah ada keberagaman. Namun, mereka
akan menjadi sesuatu yang unik dan tidak terbayangkan dalam pikiran
siapapun setelah dirajut oleh tangan-tangan andal dan kreativitas yang
tinggi. Sehingga menerima Pancasila sebagai dasar bersama dengan pedoman
Bhinneka Tunggal Ika yang dihayati sepenuhnya adalah kewajiban bagi
setiap warga negara jika tidak ingin rajutan yang telah terlihat begitu
indah hancur berkeping dan kita pun tidak berdaya di atas
kepingan-kepingan itu.
HTI dan Ancman Keutuhan Negara
Sebagai sebuah bangsa, Negara Indonesia
ibarat sebuah rumah besar untuk semua golongan yang telah menghuninya.
Mereka sudah hidup begitu lama dan merasa sudah tenteram di sana. Hanya
saja, akhir-akhir ini, ada beberapa kelompok yang mulai mengendap-endap
hendak mencuri kedamaian tersebut. Entah dengan mencuri barang berharga
atau sekadar merusak benda-benda dan aturan-aturan yang telah
disepakati. Mereka mulai masuk ke kantong-kantong pemerintah dan swasta.
Dalam konteks bernegara, mereka dikenal
dengan ormas yang mempunyai paham garis keras atau fundamentalis. Dalam
Islam sendiri juga dikenal dengan Islam Transnasional. Mereka inilah
kelompok-kelompok yang mencoba merong-rong bangunan yang telah mapan dan
terbukti kemanjurannya dalam melindungi penghuninya dari serangan
binatang buas dan cuaca buruk dengan konsep-konsep abstrak yang tidak
jelas arah tujuannya.
Maka, kehadiran mereka adalah sebuah teror
yang sangat mencemaskan meski tidak terasa menghentak seperti ledakan
bom di pusat perbelanjaan atau di tempat-tempat tertentu yang sering
menjadi sasaran teror bom bunuh diri akhir-akhir ini. Namun, jika
dibiarkan mereka akan berkembang dan tumbuh besar hingga sulit
ditumbangkan. Ibarat sebuah pohon, mereka akan terus menancapkan akar
tunggangnya dengan memajangkan ranting dan merimbunkan daunnya.
Salah satu contoh ormas Islam
Transnasional yang sudah menyebar di berbagai kota dan daerah di
Indonesia adalah HTI. Pada awalnya, hanyalah orpol yang di Indonesia
berkembang dan berbadan hukum ormas. Ia masuk ke negara ini pada tahun
1980-an di Bogor. Pada akhirnya, ormas yang hanya diikuti segelntir
orang ini berhasil berkembang pesat. pada tahun 2007 terbukti, mereka
bisa mengumpulkan 100 ribu orang dalam konferensi internasional dengan
tema “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia.”
Kita pun terperanjat. Setengah menggeleng
dan setengah tidak percaya. Bagaimana mungkin mereka bisa sepesat itu.
Bahkan, mulai berani terang-terangan menentang Pancasila sebagai dasar
negara dan mereka bercita-cita membentuk khilafah seperti yang pernah
terjadi pada zaman sahabat dulu. Tumbuh kembangnya paham ini adalah
sebuah keteledoran. Jika dibiarkan, tidak ayal negara yang telah
dirintis oleh Ulama khos dan pejuang akan musnah dan pertengkaran
kembali terjadi hingga tidak jelas kapan akan berakhir.
Tentu orang-orang di luar Islam tidak akan
rela jika tanah airnya dipaksa mengikuti aturan agama yang tidak mereka
anut, pun di internal kelompok-kelompok Islam Fundamentalis akan
berdebat keras siapa yang berhak menjadi khalifah. Masih belum
perdebatan di mana penempatan pusat pemerintahan yang tepat. Jika tidak
ingin pohon itu tumbuh semakin subur dan mengakar tunggang yang hanya
akan menyisakan kebencian dan pertengkaran yang tidak berujung, sudah
saatnya pemerintah beraksi dan menyatakan sikap yang jelas dan tegas.
Lahirnya Perppu dan Proses Normalisasi
Pada akhirnya, setelah melewati fase yang
sangat rumit, pada tanggal 10 Juli 2017, Perppu Nomor 2 Tahun 2017
tentang ormas terlarang ditandatangani oleh presiden Jokowi. Hal ini
merupakan salah satu langkah maju mengingat sudah cukup lama kegiatan
ormas yang mengancam keutuhan NKRI ini terbiarkan karena tidak ada
Undang-Undang yang cukup mewadahi pelarangannya. Setidaknya, Perppu ini
akan menjadi langkah awal untuk menyeleksi dan mengukur berbagai ormas
yang ada.
Bagaimana pun, Indonesia adalah rumah
besar bersama yang dihuni oleh banyak golongan dan agama. Keterjaminan
ketenangan dan ketenteraman mereka juga harus diutamakan. Jika ada di
antara kelompok yang berbuat usil terhadap yang lain, sudah layak
pemerintah sebagai orang tua yang mengawasi dan mengatur agar warga di
dalam rumah dipastikan keamanannya, mencoba menerbitkan aturan baru.
Bahkan, menghukum mereka yang manggkel itu adalah keniscayaan.
Jika kemudian terdengar beberapa nada-nada
sumir dari segelintir orang ataupun kelompok, itu hanya
percikan-percikan kecil dari sebuah kebijakan yang dijalankan. Penulis
yakin, hakkul yakin, tidak ada aturan yang diterima di semua golongan
dan kelompok. Namun, sejauh mana aturan itu mengakomodir mayoritas
masyarkatnya, itulah yang diharapkan. Rumah besar bersama ini yang
diberi nama Indonesia sudah terlalu indah untuk diubah dan diformat
ulang. Ia sudah terbukti berjalan dengan baik hingga 72 tahun. Tinggal
kita mengecatnya kembali dan menambal dinding yang mungkin mulai retak
atau sudah bolong. Selanjutnya, selamat atas pemerintahan Jokowi yang
telah melangkah lebih maju dalam menjaga keutuhan negeri tercinta ini
dibanding pendahulunya. Salam.
Referensi:
- Bizawi, Zainul Milal. 2014. Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949). Tanggerang: Pustaka Compass.
- http://m.kumparan.com/salmah-muslimah/sejarah-hizbut-tahrir-di-indonesia
- http://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubungan-islam-pancasila-pada-munas-nu-1983
- Perppu no 2 tahun 2017
- Umam, Khairul. 2015. Bahasa Lokal dan Identitas Bangsa (tidak diterbitkan)
0 komentar:
Posting Komentar