Menjaga
Toleransi-Perdamaian Antar Umat Beragama
Oleh:
Ayub Al Ansori *)
Apakah mungkin
perdamaian mesti setelah terjadinya perang, berselisih, saling sikut, saling
pukul, saling larang, saling menyalahkan, saling mengkafirkan? Penulis yakin
jawabannya tidak mesti. Perdamaian bisa terjadi dan diusahakan dengan sikap
toleransi. Tidak mesti harus ada perselisihan terlebih dahulu.
Namun berkaca pada
peristiwa-peristiwa yang terjadi justru semangat perdamaian muncul setelah
terjadinya peristiwa yang disebut ketidakadilan dan diskriminasi, juga
kekerasan terhadap umat beragama baik dengan dalih atasnama agama maupun
atasnama peraturan pemerintah.
Sebut saja peristiwa-peristiwa
kekerasan akibat terorisme di Indonesia seperti bom Bali 1 dan 2, juga bom di
hotel J.W. Marriot. Kita juga tidak lupa konflik antar umat beragama di Ambon,
penembakan jama’ah di sebuah tempat ibadah, dan pengeboman di tempat-tempat
ibadah. Bahkan sampai pelarangan pembangunan tempat ibadah dan pengekangan
terhadap kebebasan beribadah, yang keduanya merupakan cermin ketidakadilan dan
diskriminasi. Bahkan tak akan kita lupakan dan kitapun bersama-sama mengutuk atas
peristiwa bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon, dengan pelaku treoris
bernama M. Syarif. Baru-baru ini terjadi bom bunuh diri dan penembakan oleh
teroris di kawasan Sarinah, Jl. MH. Thamrin, Jakarta.
Ini menunjukkan bahwa
ingin hidup damai dan aman di Indonesia seolah tergadaikan begitu saja. Kondisi
ini sangat memperihatinkan dimana sikap toleransi (tasamuh) antar umat
beragama kian hari semakin tak bernyawa. Tetapi penulis yakin semangat
kebersamaan untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan masih tetap ada.
Sikap toleransi antar umat beragama menjadi penting untuk bersama-sama kita hidupkan.
Memahami Toleransi Antar Umat Beragama
Kita mungkin bertanya,
apa itu toleransi?. Apa urgensi toleransi bagi masa depan umat manusia?.
Pertanyaan-pertanyaan ini paling tidak akan menjadikan kita faham akan arti
pentingnya toleransi. Toleransi yang bukan sekedar dalam wacana semata.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri
berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga
berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Atau dalam bahasa Arab kita mengenalnya “tasamuh” yang artinya sikap
membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan)
artinya: murah hati, suka berderma (kamus Al Munawir hal.702). Dalam konteks
beragama, maka toleransi bisa disebut juga kebebasan dalam memeluk dan
menjalankan agama dan keyakinan. Menghormati dan menghargai pemeluk agama yang
berbeda.
Oleh
karenanya kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadikan seseorang mampu
meniadakan diskriminasi berdasarkan agama; pelanggaran terhadap hak untuk
beragama, dan paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai
agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang
menunjukkan saling pengertian, persahabatan dengan semua orang atau persaudaraan
universal. Jadi, toleransi (tasamuh)
beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan
seseorang atau kelompok lain.
Islam
mengajarkan betapa pentingnya toleransi. Nabi Muhammad SAW. mengajarkan bahwa Islam
adalah agama kasih sayang. Nabi juga melindungi kaum minoritas dalam
melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
pernah mengatakan bahwa Nabi pun pernah meminta tiga orang pendeta Kristiani
yang datang dari Najran (provinsi timur di Arab Saudi) untuk beribadah menurut
agama mereka di Masjid Nabi (Masjid Nabawi). Pernah juga diceritakan pada
suatu hari ada orang Arab badui kencing di Masjid Nabi di Madinah. Terang saja
para sahabat geram dan ingin memukul orang itu. Namun, Nabi mencegahnya, dan
kemudian menyuruh para sahabat 'kerja bakti' menyiram dan membersihkan air seni
laki-laki tak kenal sopan santun itu. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, pengarang Kitab
Fath al-Bari, riwayat ini memperlihatkan dengan jelas sikap toleransi Nabi
dan keluhuran budi pekertinya.
Begitu juga kemurahan
hati yang diperlihatkan oleh Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1188 M saat dia
berhasil merebut kembali Yerussalem dari tentara salib. Ketika Salahuddin tiba
ia menyaksikan pasukan salib sedang mengotori masjid dengan menyimpan babi di
dalamnya. Bahkan para ahli sejarah Eropa pun mengakui bahwa Salahuddin tidak
membalas dendam, melainkan memberikan maaf kepada pasukan salib, melindungi dan
menjamin keamanan saat kembali ke negerinya.
Prinsip kasih sayang
yang bersemayam di lubuk hati setiap agama, kepercayaan, etika kemanusiaan, dan
tradisi spiritual menghimbau kita untuk selalu memperlakukan orang lain
sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan (KH. Husein Muhammad dalam
Toleransi Islam, Hidup damai dalam Masyarakat Plural). Kiai Husein, dalam
bukunya tersebut menuliskan, Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk
menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Pesan kerahmatan (kasih sayang) dalam
Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam baik al-Qur’an maupun Hadits.
Syeikh Wahbah
Az-Zuhaili, seperti dikutip Husein Muhammad, mengatakan bahwa dasar-dasar
toleransi dalam Islam meliputi lima hal, Pertama, persaudaraan atas dasar
kemanusiaan (Al-Ikha Al-Insani).
Kedua, pengakuan dan penghormatan terhadap yang lain (Al-I’tiraf Al-Akhyar wa Ihtiramuh). Ketiga, kesetaraan semua
manusia (Al-Musawah baina An-Nas Jami’ah).
Keempat, keadilan social dan hokum (Al-‘Adl
fi At-Ta’amul). Kelima, kebebasan yang diatur oleh undang-undang (Iqrar Al-Hurriyah Al-Munazzamah).
“Toleration
is the greatest gift of the mind..,” ucap Helen Keller.
Pemahaman yang terbuka terhadap yang lain itulah yang dikenal dengan istilah
toleransi.
“Toleransi itu berarti
saya tidak akan membuang kamu keluar dari komunitas saya, saya tidak akan
berhenti berinteraksi dengan kamu sekalipun kamu berbeda, saya tidak akan
melarang kamu untuk menjadi tetangga saya,” begitulah John E. Esposito
menggambarkannya.
Pentingnya Menjaga Toleransi Antar Umat
Beragama
Modus
hubungan antar manusia di bumi ini hanya ada dua: Konflik dan Harmoni. Konflik
dimotori oleh egoisme baik individu maupun kelompok yang berujung pada
keengganan untuk berdialog. Dengan karakteristiknya yang egoism maka perilaku
ini akan mengerdilkan kemanusiaan sekaligus membuat kebudayaan menjadi statis.
Individu atau kelompok menjadi eksklusif satu sama lain sehingga tidak dapat
melihat sisi manusiawi individu atau kelompok lain. Yang lain hanya akan dicap
sebagai “musuh” yang harus segera diwaspadai dan apabila perlu dihancurkan.
Sedangkan harmoni, sebaliknya, bekerja dengan relasi resiprokal antar individu
atau kelompok berbasis toleransi, kepercayaan dan harga diri.
Toleransi
dan kerukunan antar umat beragama bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa
dipisahkan satu sama lain. Kerukunan berdampak pada toleransi; atau sebaliknya
toleransi menghasilkan kerukunan; keduanya menyangkut hubungan antar sesama
manusia. Jika tri kerukunan [antar umat beragama, intern umat seagama,
dan umat beragama dengan pemerintah] terbangun serta diaplikasikan pada hidup
dan kehidupan sehari-hari, maka akan muncul toleransi antar umat beragama. Atau,
jika toleransi antar umat beragama dapat terjalin dengan baik dan benar, maka
akan menghasilkan masyarakat yang rukun satu sama lain.
Toleransi
antar umat beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang
menunjukkan umat saling menghargai, menghormati, menolong, mengasihi, dan
lain-lain. Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain;
menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain; tidak merusak tempat
ibadah; tidak menghina ajaran agama orang lain; serta memberi kesempatan kepada
pemeluk agama menjalankan ibadahnya. Di samping itu, maka agama-agama akan
mampu untuk melayani dan menjalankan misi keagamaan dengan baik sehingga
terciptanya suasana rukun dalam hidup dan kehidupan masyarakat serta bangsa. Jika semua orang
menjalankan agamanya masing-masing dengan sebenar-benarnya, maka sudah pasti
akan melahirkan kedamaian, ketentraman hidup dan kerjasama sosial yang sehat.
Toleransi tidak perlu
disikapi sebagai ancaman akidah, karena setiap orang memiliki preferensinya
sendiri-sendiri. Sebagaimana baju yang saya pakai, belum tentu nyaman dipakai
oleh orang lain. Berdakwah kepada non muslim dalam rumusan ini, tidak lagi
identik dengan mengkonversi iman mereka, tapi cukup mengajak mereka melakukan kerjasama
sosial yang sehat. Inilah toleransi yang benar dan sehat, yang semestinya
dijadikan rujukan dakwah oleh para da’i dan ulama-ulama di nusantara. Di
atas segala perbedaan yang ada, dengan semangat toleransi kita akan mendapatkan
manfaat yang jauh lebih besar dan kemampuan meningkatkan nilai diri kita
sebagai manusia yang berakal dan berhati nurani.
Berbagai peristiwa
terorisme, kekerasan, dan diskriminasi di atas tadi memperlihatkan betapa
toleransi harus menjadi pola komunikasi antar warga. Terlepas dari perbedaan
agama, suku, etnis, dan budaya juga status sosial. Dengan sikap toleran inilah
diharapkan terciptanya kerukunan antar warga yang relasinya akan
menciptakan dunia yang damai. Perdamaian
dengan tidak pertumpah darahan. Perdamaian dengan tidak adanya kelompok yang
merasa di marjinalkan, dan didiskriminasi. Untuk itu penulis rasa perlunya
toleransi sebagai sebuah jalan menuju perdamaian yang diharapkan tadi. Meski
perlu disadari benturan-benturan peradaban memang tak dapat disangkal secara
empiris. Namun kita tidak boleh menyerah pada realita empiris dan terus
memelihara harapan akan terwujudnya perdamaian yang penuh toleransi.
Penutup
Baiklah,
dalam hal ini peranan agama dalam memperkuat toleransi jelas semakin penting di
masa sekarang ini dan ke depan. Tugas utama pemuka agama dan umat beragama
adalah terus mensosialisasikan dan sekaligus mengaktualisasikan ajaran-ajaran
agama tentang toleransi dan perdamaian tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari.
“Maka, sudah saatnya
kita semua, terutama tokoh agama, duduk bersama dalam suasana hati yang tenang
dan pikiran yang jernih tanpa prasangka untuk dapat merumuskan kembali agenda
bersama dalam kerangka menciptakan relasi manusia yang harmonis, damai dan
menyejahterakan,” tulis KH. Husein Muhammad dalam bukunya Toleransi Islam:
Hidup Damai dalam Masyarakat Plural.
Harapannya, tulis Kiai
Husein, pertemuan dan dialog antar para pemimpin agama dapat melahirkan
rekomendasi-rekomendasi mendasar dan strategi bagi hubungan baik antar
kelompok-kelompok keagamaan dalam ruang internalnya masing-masing, maupun antar
para pemeluk agama-agama (relasi eksternal) untuk kehidupan kita hari ini
maupun hari esok yang panjang.
Pemerintah
pun harus bertindak tegas terhadap perilaku-perilaku intoleransi, baik oleh
individu ataupun kelompok. Tidak ada toleransi terhadap sikap dan tindakan
intoleransi dan diskriminasi. Sehingga dalam kapasitasnya sebagai pemegang
kebijakan, pemerintah dalam hal ini harus dapat berperan aktif. Pemerintah,
dalam hal ini, agar tidak segan-segan untuk menindak tegas individu, kelompok,
atau lembaga yang berpotensi radikalis menjurus pada intoleransi, diskriminasi
dan terorisme. Terutama menindak tegas individu, kelompok, dan lembaga
anti-Pancasila, UUD 1945, dan NKRI atau Negara bangsa (nation-state). Karena bagaimanapun Pancasila, UUD 1945, dan NKRI
merupakan suatu kesatuan yang mewadahi seluruh umat beragama di Indonesia.
Karena itu, para tokoh
agama dan pemerintah adalah panutan masyarakat. Kepada merekalah rakyat dan
masa depan bangsa ini ditambatkan dan digantungkan. Hari ini sudah saatnya sikap dan ajakan yang bernada
“toleransi” mulai digalakkan oleh para tokoh agama dan pemerintah. Mulai dari menghormati
agama dan iman orang lain, menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain,
tidak merusak tempat ibadah, tidak menghina ajaran agama orang lain, serta
memberi kesempatan kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya. Hal-hal tadi
merupakan harapan yang harus diperjuangkan semua pihak. Bila tulisan ini harus
diakhiri penulis sedikit mengutip perkataan sang pujangga Inggris, Samuel
Johnson (1709-1784 M): Di mana tidak ada harapan, disitu tidak ada usaha keras.
Di mana ada harapan, disitu harus ada usaha keras. Wallahu ‘alam bisshawab.
*) Penulis adalah kader IPNU, sekaligus santri Pondok Kebon Jambu Al Islamy
Pesantren Babakan Ciwaringin. Tulisan pernah dimuat dalam Harian Umum Kabar
Cirebon tahun 2015.
0 komentar:
Posting Komentar