A. Pendahuluan
Munculnya
isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru
bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini sebenarnya
sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme Islam
sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak
dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan
media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat
dunia. Banyak labellabel yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan
Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan
kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme
sampai terrorisme.
Secara
terminologi, kiranya dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering
menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[1] Disamping istilah radikalisme, kira juga mengenal istilah fundamentalis yang memimiliki makna yang interpretable.[2] yang memang terkadang bermaksud untuk menunjuk kelompok pengembali (revivalis) dalam agama,[3]
dimana kedua terminologi tersebut mengacu kepada suatu paham dimana
kekerasan adalah sebagai sebuah model dalam mencapai tujuan yang hendak
diperoleh berdasarkan atas isme yang mereka anut.
B. Radikalisme Dalam Berbagai Perspektif
Melihat
apa yang telah dipaparkan secara sederhana dalam bab pendahuluan,
kiranya tidaklah meng-herankan jika banyak kalangan (ahli hukum,
sosiolog, politikus, ekonom, budayawan dan rohaniawan), meskipun bukan
objek utama-nya, tertarik pada radikalisme dan menjadikan radikalisme
sebagai salah satu fokus pem-bicaraan atau kajiannya.
Hanya
yang membedakan antara satu kajian dengan kajiannya, adalah objek
formalnya saja, sedangkan objek materialnya adalah sama yaitu
radikalisme.[4]
Pada sisi lain, tertariknya banyak kalangan terhadap radikalisme ini
juga dikarenakan adanya gerak konvergensi ilmu pengetahuan, menjadikan
pembahasan suatu ilmu pengetahuan tidak lagi terikat secara kaku dalam
batas-batas formal yang telah disepakati, tetapi mengarah pada digunakannya perspektif lain dalam melihat persoalan objek materialnya.[5]
Menyadari akan hal tersebut, pada bagian ini penulis akan melihat
radikalisme dari berbagai perspektif, terutama dalam perspektif politik,
sosiologi, budaya, ekonomi dan agama, serta melakukan refleksi
masing-masing perspektif dalam tataran objek formal dengan tetap
mengakui terjadinya konvergensi ilmu pengetahuan seperti yang tersebut
di atas.
1. Radikalisme Dalam Perspektif Politik
Ketika
orang berbicara masalah radikalisme, maka pertama yang tergambarkan
adalah persoalan tersebut masuk dalam domain politik, yaitu bagaimana
sesungguhnya radikalisme yang terjadi merupakan bentuk radikalisme
negara yang dilakukan oleh perangkat kekuasaan yang ada terhadap warga
negaranya, atau tindak radikalisme yang dilakukan oleh suatu negara
terhadap negara lain yang dinilai memiliki sistem dan kepentingan
politik yang berbeda, atau setidaknya unsur politik diterjemahkan
sebagai adanya pihak lain yang campur tangan dalam fenomena radikalisme
yang terjadi. Pemahaman ini kiranya tidaklah berlebihan, dan tidak
salah, sebab memang dalam realitas empiriknya memperlihatkan kondisi
yang tidak jauh berbeda dari pendapat atau asumsi tersebut di atas.
Tidak
jauh berbedanya antara pendapat atau asumsi tersebut di atas, dengan
membawa persoalan radikalisme dalam domain politik karena hanya
politiklah dinilai satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara terbuka dan
secara eksplesit mengembangkan berbagai teori, dan pemandangan tentang
bagaimana radikalisme sebagai sarana yang inheren dan sah dipergunakan
guna merebut dan mempertahankan kekuasaan yang ada, terutama teori
politik yang dikembangkan pada abad pertengahan, serta teori politik
Marxian dan Sosialis.
Demikian
juga ketika berbicara masalah radikalisme dalam perspektif politik,
maka biasanya dengan serta merta orang akan terlintas kepada radikalisme
yang dilakukan oleh negara, atau radikalisme yang dilakukan oleh aktor
lain selain negara yang memiliki kekuasaan (power) yang
luar biasa besarnya. Cara pandang, dan simpulan yang demikian ini
terjadi, karena memang negara merupakan objek utama dalam politik,
sehingga ketika berbicara masalah politik, maka pada galibnya, adalah
membicarakan negara,[6]
atau pembicaraan mengenai hubungan antara penguasa dengan yang
dikuasainya, yang oleh Hegel merupakan elemen pertama dalam ilmu
politik.[7]
Sebenarnya dalam perspektif politik bukan negara itu yang terpenting, tetapi kekuasaan yang dimilikinya itulah yang menjadi perhatian utama, dan kekuasaan inilah yang dinilai merupakan sumber radikalisme. Hal
ini dikarenakan, kekuasaan sebagai suatu konsep memberikan kepada orang
untuk mewujudkan segala keinginan, dan tujuan dari orang yang memiliki
kekuasaan tersebut.[8]
Meskipun negara bukan satu-satunya pemilik kekuasaan, namun kekuasaan
yang dimiliki oleh negara sangat berbeda dengan kekuasaan yang dimiliki
oleh organisasi-organisasi lainnya, ataupun kekuasaan yang di miliki
oleh orang perseorang. Perbedaan ini terlihat dari hak istimewa yang ada
pada negara, negara bisa memaksakan warga negara untuk tunduk kepada
peraturannya, jika perlu dengan sangsi hukuman.
Oleh
karena itu, dalam perspektif politik, radikalisme yang terjadi
menempatkan faktor kekuasaan sebagai inti persoalannya, sehingga
radikalisme juga sering dimaknai sebagai bentuk dan cara perebutan kekuasaan.[9] Apalagi ketika
berbicara ke-kuasaan dalam politik, maka konotosi yang sifatnya jelek,
kotor, kerakusan, serta dominasi seakan sudah terkonstruksi, dan
merupakan image yang melekat dari kedua konsep tersebut.[10]
Seperti dikatakan di atas, ilmu
politik adalah satu-satunya ilmu yang secara terbuka dan eksplisit
mengembangkan teori, atau pemikiran tentang arti pentingnya radikalisme
dalam rangka memperoleh, dan mempertahankan kekuasaan. Machiavelli
misalnya, dalam mengembangkan pemikiran politiknya, terutama tentang
konsep kekuasaan negara menjauhkan diri dari ranah moral. Baginya hanya
mengenal satu kaedah etika politik yaitu yang baik adalah apa saja yang
memperkuat raja (kekuasaan), segala apa yang melayani tujuan itu harus
dibenarkan, termasuk radikalisme.[11] Karena
baginya kekuasaan adalah hakekat suatu negara itu sendiri yang
pelaksanaannya tidak dicampuradukkan dengan pertimbangan moral, etika,
bahkan hukum sekalipun.
Berbeda dengan Plato
yang menganjurkan kekuasaan tersebut dijalankan secara paternalistik,
yakni meniru cara seorang ayah yang arif terhadap anaknya, dan Aristoteles yang mengajukan konsep matrimonial yakni seperti yang dilakukan dalam hubungan antara suami istri, maka Machiavelli mengan-jurkan kekuasaan despotik
(dari bahasa yunani ”despotike”/of master untuk menunjuk-kan
penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan oleh seorang tuan terhadap
budaknya).
Bahkan lebih jauh, Machiavelli
menganjurkan agar penyelenggaraan ke-kuasaan negara secara dispotik itu
harus dirumuskan dan diperkaya dengan kepura-puraan, kemunafikan,
kelicikan, kejahatan, penghianatan dan sebagainya, demi kepen-tingan
negara, yang penyelenggaraannya tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai
etis, kultural, dan religius.[12] Sehingga bagi Machiavelli
salah satu aspek kunci dari kekuasaan adalah radikalisme. Para penguasa
politik yang enggan menggunakan radikalisme tidak akan pernah
memperoleh kekuasaan, atau akan kehilangan kekuasaan yang pernah
diraihnya. Namun, penggunaan radikalisme yang berlebihan akan
menimbulkan kebencian pada rakyat dan mungkin akan digulingkan. Oleh
karena itu, bagi Machiavelli lebih menyukai
pemerintahan berbentuk republik sebagai sebuah rezim yang nonmonarkhis.
Hal ini dikarenakan, republik merupakan sistem pemerintahan yang
didasari pada kesepakatan antara rakyat dengan
penguasa, kesepakatan ini akan memperkuat kedudukan para pe-nguasa,
sehingga membatasi dilakukannya radikalisme.[13]
Pemikiran
lain dalam abad pertengahan yang melakukan teoritisasi terhadap
perlunya radikalisme dalam mempertahankan kekuasaan, adalah Thomas Hobbes. hal ini terlihat dari bagaimana dia mengkonstruksi kemunculan suatu negara. Kemunculan negara dikonstruksinya sebagai bentuk kesepakatan para anggota masyarakat, yang sebelum terbentuknya negara (state of nature),
manusia hidup dalam pertempuran semua lawan semua. Menurutnya, diwaktu
manusia hidup tanpa suatu kekuasaan umum untuk menjaga mereka semua
dalam keadaan takut, mereka dalam kondisi yang dinamakan perang, dan
dalam perang seperti itu setiap orang menentang
setiap orang. Dalam kondisi tersebut, radikalisme dan penipuan
merupakan cara yang utama dalam mempertahankan kehidupan.[14]
Agak berbeda memang antara Machiavelli dengan Thomas Hobbes
me-ngenai bagaimana melaksanakan, dan menjalankan fungsi kenegaraan.
Menurut Machiavelli, radikalisme menjadi sarana utama dalam melaksanakan
pemerintahan, sedang-kan menurut Thomas Hobbes negara harus mendasarkan pada hukum, sehingga sekilas Thomas Hobbes tampak meletakan hukum sebagai dasar dalam suatu negara, tetapi Thomas Hobbes
tetap berpikiran, bahwa demi tetap berdiri, dan tegaknya negara,
penegakan hukum positif perlu diberlakukan, meskipun dengan pemaksaan
agar para anggota masyarakat tetap patuh pada negara, dan karenanya hukuman mati menjadi sarana yang sangat penting dalam suatu negara.[15] Artinya, radikalisme bagi Thomas Hobbes masih tetap menjadi sarana utama dan berlindung dibalik proses penegakan hukum itu sendiri.
Di sinilah letak persoalannya, dimana pengangungan pemikiran Thomas Hobbes yang seolah meletakkan kerangka hukum sebagai segala-galanya, pada akhirnya harus terjebak pada cara-cara yang ditawarkan oleh Machiavelli dalam menegakkan hukum itu sendiri, yaitu radikalisme.
Johan Galtung.
adalah salah satu sarjana politik kontemporer yang memfokus-kan
kajiannya pada radikalisme dalam perspektif politik. Konseptualisasi
Johan Galtung tentang radikalisme kiranya mampu memberikan penjelasan
terhadap fenomena radikalisme yang ada, terutama keterkaitan antara
budaya suatu masyarakat dengan radikalisme yang dilakukan. Menariknya
dari konsep Johan Galtung akan radikalisme ini adalah dia mengkaitkan
persoalan radikalisme dengan hak seseorang, terutama dalam hal ini hak
untuk turut serta dalam politik, sehingga pengertian radikalisme menurut
Johan Galtung adalah “any avoidable impediment to self-realization”.[16] Dari pengertian tersebut terlihat esensi radikalisme menurut Johan Galtung
adalah terhalangnya seseorang untuk mengaktualisasikan potensi diri
(terutama menyangkut hak yang ada pada individu maupun kelompok-pen)
secara wajar. Karena radikalisme berkenaan dengan terhalangnya hak
seseorang. maka radikalisme menurut Johan Galtung bersifat temporal, dalam arti radikalisme tersebut dapat saja ditiadakan, sehingga radikalisme bukanlah sifat hakekat dari manusia.
Lebih lanjut, Johan Galtung mencoba
mengkonseptualisasikan jenis radikalisme ini ke dalam 3 bentuk, yaitu
radikalisme kultural, radikalisme struktural, dan radikalisme langsung.
Radikalisme kultural merupakan radikalisme yang melegitimasikan
terjadinya radikalisme struktural dan radikalisme langsung. Radikalisme
langsung (violence-as-action) sendiri dimaknai sebagai
radikalisme yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian-kejadian
atau perbuatan, sehingga mudah dilakukan identifikasi terhadap jenis
radikalisme ini, sedangkan radikalisme struktural (violence-as-structure)
diartikan sebagai radikalisme yang berbentuk eksploitasi sistematis
disertai mekanisme yang menghalangi terbentuknya kesadaran, serta
menghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi
dan penindasan.
Konstruksi radikalisme yang diajukan oleh Johan Galtung
ini pada dasarnya memberikan pemahaman, bahwa radikalisme dapat
dilakukan oleh siapa saja dan dalam kondisi apapun, apakah negara,
masyarakat, kelompok tertentu, atau bahkan individu dapat menjadi pelaku
radikalisme. Namun, negara tetap dilihat oleh Johan Galtung sebagai
pihak yang memiliki potensi besar untuk menghilangkan hak warga
negaranya guna merealisasikan diri dalam bidang politik.
Pemahaman
lebih jauh akan radikalisme dalam perspektif politik akan sampai pada
pemahaman, bahwa sesungguhnya pelaku radikalisme tidak hanya negara
terhadap warga negaranya, tetapi juga dapat dilakukan oleh masyarakat
terhadap regim yang berkuasa. Radikalisme jenis ini biasa dikenal dengan
radikalisme politik yaitu radikalisme masyarakat sipil yang dilakukan
berdasarkan isu-isu politik, terutama yang terkait dengan perjuangan
mendapatkan kekuasaan di dalam organisasi politik,[17]
atau juga ditujukan pada pemerintah, atau organisasi-organisasi politik
yang bisa berbentuk revolusi, perang gerilya, ataupun kudeta.[18]
Melalui pendekatan psikologi, Ted Robert Gurr
memahami radikalisme politik yang terjadi bermula dari psikologi
manusia yang mengalami kekecewaan. Kekecewaan ini muncul sebagai akibat
adanya ketidaksesuaian antara harapan akan barang atau kondisi hidup
yang mereka yakini sebagai hak ( value expectation ),
dengan barang atau kondisi yang mungkin mereka peroleh, atau kemampuan
sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang, dan kondisi
yang mereka inginkan tersebut ( value capability ). Kondisi
depresi inilah, yang menyebabkan munculnya kekecewaan pada manusia, dan
dalam perspektif politik kekecewaan ini muncul ketika mereka yang
memiliki kekuasaan (negara, kapital atau pemilik modal, birokrasi,
partai politik dll) tidak mampu mewujudkan segala macam ke-butuhan, atau
janji mereka terhadap kelompok tertentu yang masuk dalam lingkup
kekuasaannya.[19]
Radikalisme
yang dilakukan oleh masyarakat, terutama masyarakat sebagai kelas yang
dinilai tertindas serta dilandasi oleh rasa kecewa rakyatnya terhadap
negara meluas, dalam teori politik Marxian dan Sosialis dikenal dengan
istilah revolusi sosial, suatu bentuk
transformasi yang berlangsung cepat pada superstruktur yuridis dan
politis masyarakat, serta dinilai sebagai salah satu cara yang dianggap
sah dalam upaya memperjuangkan hak masyarakat tersebut.[20]
2. Radikalisme Dalam kehidupan Sosiologis
Sebagai
ilmu pengetahuan, secara formal sosiologi mencoba membatasi diri pada
manusia sebagai satuan sosial, termasuk bagaimana hubungannya dengan
masyarakat, proses sosial, dan ketentuan-ketentuan sosial, struktur
sosial, kelangsungan hidup dari kelompok sosial (apakah unsur-unsur
pengawasan sosial yang menjamin kelangsungan hidup kelompok/ masyarakat,
serta bagaimanakah individu paling efektif diawasi oleh masyarakat),
serta perubahan-perubahan sosial (social change) sebagai objek formalnya.[21]
Karena sifatnya yang nomografis,[22] pembicaraan radikalisme dalam perspektif sosiologi berbeda jika dibandingkan pem-bicaraan radikalisme dalam ilmu politik, yang hanya
bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan objek yang sedang diamati,
dan tidak bermaksud untuk menyusun suatu kerangka teori guna dijadikan
alat atau kerangka bertindak bagi keperluan dan kepentingan praktis
sebagaimana yang dipahami oleh ilmu politik . Oleh karena itu, dalam sosiologi fokus pertanyaannya berkisar pada : ”what it is about a society that increases or decreases the likelihood of violence”, dan radikalisme baru menjadi persoalan sosial (social problem) ketika ”violence must also arouse widespread subjective concern”. [23]
Mendasarkan
pada hal tersebut di atas, upaya pemahaman radikalisme dalam sosiologi
akan menampilkan banyak simpulan berbeda, hal ini dikarenakan
adanya perbedaan, teori, serta landasan akosiomatik yang digunakan
dalam proses pemahaman dan pendeskripsian radikalisme tersebut. Namun,
ada satu hal yang perlu digaris-bawahi, bahwa dalam perspektif sosiologi
radikalisme ataupun kejahatan pada umum-nya merupakan kondisi alamiah
dari masyarakat (crime is a natural part of society).[24]
Dikatakan demikian, karena realitas sosiologi memperlihatkan
radikalisme atau kejahatan pada umumnya, ditemukan pada hampir semua
lapisan dan bentuk masyara-kat, apakah masyarakat yang masih sederhana
ataupun yang sudah kompleks struktur sosialnya.
Dilihat dari pelakunya, radikalisme dibagi menjadi dua tipe atau bentuk. Pertama, radikalisme individual (Individual violence), yaitu radikalisme yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Kedua, radikalisme kelompok (group or collective violence), yaitu bentuk radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompok lainnya.[25] Khusus terhadap “group or collective violence” ini, para sosiolog membaginya lagi menjadi beberapa bentuk, yaitu pertama, Situational
group violence, is unplanned and spon-taneous, such as a brawl among
hokey player. Something in the immediate situation stimulates or
triggers a group to violent action. Kedua, Organized group violence is planned. It also is unauthorized or unofficial, dan ketiga, Institutionalized group violence, is carried out under the direction of legally constituted officials.[26]
Dengan tidak mengabaikan arti penting teori yang ada dan tersebar dalam sosiologi, dalam tulisan ini penulis ingin melihat radikalisme dalam perspektif sosiologi dengan menggunakan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan fungsionalisme (functionalist theory), dan pendekatan konflik (conflict theory).
Dibatasinya dua teori atau pendekatan ini dalam memahami radikalisme
dikarenakan kedua teori tersebut mempunyai asumsi dan proposisi yang
kontradiktif antara satu dengan lainnya.
Dalam perspektif fungsionalisme (functionalist theory), masyarakat dilihat sebagai bentuk keteraturan (order) yang terdiri dari berbagai elemen yang saling bersinergi antara satu dengan lainnya, guna menciptakan keseimbangan (equilibrium). Tesis ini muncul didasari pada asumsi, bahwa setiap struktur dalam sistem sosial fungsional
terhadap yang lainnya, sehingga konsep yang utama dalam teori
fungsionalis adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest,
dan keseimbangan (equilibrium)[27].
Emile
Durkheim adalah salah satu pemikir yang dapat digolongkan sebagai
fungsionalis, dan sumbangan pemikirannya terhadap radikalisme (violence)
adalah diintrodusirnya konsep anomi, suatu konsep sosiologi yang oleh
Emile Durkheim guna menjelaskan kondisi psikologi yang merasa asing (estranged) sebagai akibat tercabutnya atau hilangnya rasa kemanusian dalam ranah kehidupan (uprooted), dan ekonomi menurut Emile Durkheim adalah penyebab yang bisa menimbulkan kondisi anomi tersebut.[28]
Dengan
kaca mata anomi ini, kiranya radikalisme dipahami sebagai akibat adanya
perubahan sosial ekonomi yang tidak dibarengi dengan perubahan sistem
regulasi, sehingga masyarakat, atau individu merasa bingung menghadapi
kondisi perubahan tersebut.
Fungsionalis lain, misalnya Robert K. Merton, dalam memahami radikalisme me-ngajukan konsep ”Strain Theory”. Kemunculan konsep ini didasari oleh ide Durkheim tentang anomi tersebut di atas. Dalam
konstruksi teoretiknya, Robert K Merton melihat radikalisme yang
terjadi dalam masyarakat dengan menghubungkan dua kondisi utama, yaitu
nilai yang menjadi tujuan dari suatu masyarakat (cultural goal), dan ketersedian sarana (cultural means) guna mencapai tujuan tersebut.
Ketika
nilai yang hendak diperoleh dalam masyarakat tidak memiliki
ketersediaan sarana dalam proses pencapaian tujuan, maka berbentuk
penyimpangan dari keteraturan akan muncul, misalnya dalam hal ini
radikalisme, sehingga radikalisme merupakan bentuk respon yang alamiah
terhadap situasi yang ada.[29]
Perhatian lain dari Robert K. Merton sehubungan dengan berbagai
institusi sosial yang ada dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya
dengan fungsi institusi, adalah dikembangkannya istilah fungsi manifes (Manifest Functions) dan fungsi laten (Latent Functions).[30]
Fungsi manisfes mengacu pada fungsi yang memang dikehendaki sedangkan
fungsi laten adalah fungsi yang tidak dikehendaki dari penciptaan suatu
sistem atau institusi sosial dalam masyarakat.
Berbeda
dengan asumsi dan proposisi fungsionalisme, teori konflik terbangun
dalam rangka menantang secara langsung terhadap teori fungsionalisme
struktural dan Dahrendorf dinilai sebagai tokoh utama teori konflik ini.[31]
Pertentangan
antara teori fungsionalis dan konflik dalam melihat fenomena sosial
didasari pada perbedaan asumsi, dan proposisi yang melatar belakangi
teori tersebut. Masyarakat dalam teori konflik dilihat senantiasa berada
dalam perubahan, namun perubahan ini dikarenakan adanya perten-tangan
yang terus menerus diantara unsur yang ada dalam masyarakat itu sendiri,
dan pertentangan ini sesuatu yang inheren dalam masyarakat sebagai
akibat perbedaan-perbedaan alamiah. Teori konflik menyadari bahwa
kekuasaan dan ketakteraturan sosial (social inequality) merupakan salah satu karakteristik dari setiap masyarakat.[32] Kekuasaan di dalamnya terdapat konsep we-wenang dan posisi yang diasumsikan jika pendistribusian
kekuasaan, dan wewenang terjadi secara tidak merata, maka wewenang dan
posisi tersebut menjadi faktor utama terjadinya konflik sosial dalam
masyarakat. Konsep kekuasaan dan wewenang ini juga yang menciptakan dan
menempatkan masyarakat dalam posisi struktur atas dan masyarakat
struktur bawah.
Mendasarkan
pada pemahaman teori konflik tersebut di atas, maka radikalisme muncul
sebagai akibat adanya pendistribusian wewenang yang tidak merata. Tidak
meratanya pendistribusian wewenang ber-ujung pada adanya penumpukan
kekuasaan pada satu orang, atau kelompok
tertentu, dan dengan kewenangan yang ada, kelompok yang memiliki
kekuasaan yang besar tersebut akan cenderung mengguna-kannya untuk
mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Atau dengan kata lain,
radikalisme yang dilakukan sebagai upaya mempertahankan dominasi
kelompok atas kelompok lainnya.
3. Radikalisme Dalam Perspektif Budaya
Pembicaraan
radikalisme pada tataran budaya tidak kurang menariknya, jika
diban-dingkan dengan perspektif lain. Apalagi penelusuran radikalisme
dari perspektif budaya seakan membawa, dan menghantarkan
pada realitas ditemukannya berbagai budaya dalam masyarakat, dan etnis
tertentu yang dianggap akrab dengan radikalisme, sehingga sering dinilai
merupakan bagian dari sistem budaya mereka.
Dalam masyarakat Madura misalnya, dikenal istilah ”carok”, dan ”sirri”
pada masyarakat Bugis. Kedua istilah itu mengacu pada cara masyarakat
tersebut dalam menyelesaikan suatu perselisihan yang muncul yang dinilai
memperlihatkan nuansa radikalisme di dalamnya. Realitas inilah yang
menurut penulis merupakan penyebab, sehingga pembicaraan radikalisme
dalam perspektif budaya sering sampai pada simpulan bahwa masyarakat,
atau etnis tertentu memiliki budaya radikalisme (Violence Culture) dalam dinamika kehidupannya.
Sampainya
simpulan tersebut, pada tataran tertentu juga muncul sebagai bentuk
implikasi pemahaman budaya dilihat dari pendekatan etik, suatu
pendekatan yang melihat budaya dengan menggunakan ukuran atau indikator
budaya, atau nilai-nilai universal dari suatu budaya tanpa mau menyadari
bahwa masing-masing budaya sesungguhnya memiliki nilai yang unik, dan bersifat parsial.[33] Karena universalitas pendekatan etik inilah, maka dalam melihat fenomena budaya sering terperangkap pada adanya penilaian (adjusment)
tentang benar-salah, atau baik-jahatnya suatu perilaku sosial dari sisi
sipengamat atau sipeneliti, dan cara ini juga yang sering menjebak
peneliti dalam melihat fenemona radikalisme dalam pers-pektif budaya.[34]
Agak
berbeda tentunya jika fenomena radikalisme dalam perspektif budaya
dilihat dengan pendekatan emik maka simpulannya akan berbeda dengan
pen-dekatan pertama tadi, karena dengan pendekatan emik akan terlihat
radikalisme yang dilakukan oleh masyarakat atau etnik tertentu dalam
perspektif budaya memiliki makna simbolik bagi masyarakat tersebut. [35]
Carok
misalnya, pemahaman etik akan sampai pada simpulan bahwa masyarakat
atau etnik Madura memiliki budaya radikalisme, namun pendekatan emik
memperlihatkan bahwa carok dalam pengertian dan pemahaman aslinya
setidaknya mengandung lima unsur yang oleh etnis Madura sangat dijunjung
tinggi. Kelima unsur tersebut adalah pertama, tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki; kedua, pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri); ketiga, perasaan malu (malo); keempat, adanya dorongan, dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan kelima, perasaan bangga bagi pemenangnya.[36]
Meskipun kemudian carok sebagai suatu mekanisme dalam menyelesaikan
sengketa dalam maknanya yang asli mengusung nilai yang dijunjung tinggi
oleh etnis madura dikaburkan, dan bahkan menjadi ”tuna makna” oleh ”nyelep”, yaitu suatu cara menyerang musuh dari belakang atau samping ketika musuh sedang lengah.[37]
Sehubungan
dengan itu, upaya pemahaman radikalisme dalam perspektif budaya
sesungguhnya telah lama dilakukan, dan telah menjadi salah satu objek
dalam antropologi budaya. Pertanyaan fundamentalnya adalah apakah budaya merupakan penyebab dari radikalisme? Suatu
pertanyaan yang memang tidak mudah untuk menjawabnya, namun setidaknya
ada yang berpendapat bahwa jika dikaji secara kritis budaya itu sendiri
bukanlah sumber radikalisme, karena budaya yang
merupakan ciptaan tertinggi dari manusia pada dasarnya bertujuan
meningkatkan martabat kema-nusiaannya dimuka bumi.[38]
Pada
awalnya perhatian para antropolog terhadap radikalisme ini berkaitan
dengan sengketa yang berkepanjangan diantara kelompok, atau etnis
tertentu. Wright melihat rentetan tindakan
radikalisme yang menjadi ciri dari sengketa ini merupakan instrumental
dalam menuntut balas atau kompensasi akibat kerugian yang diderita, atau
juga guna menyanjung nama seseorang, atau keluarga dari kelompok yang
tersangkut dalam sengketa.[39] Sedangkan menurut Radcliffe Brown radikalisme merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dianut oleh kelompok bertingkai, dan dalam kaitannya dengan kelompok bertikai, radikalisme
dianggap sebagai kewajiban yang kemunculannya merupakan bentuk
manifestasi dari ”solidaritas kolektif”, suatu isitilah yang mengacu
pada pendapat Durkheim.[40] Hal yang hampir sama juga, pendapat Nadel yang melihat radikalisme sebagai bentuk kewajiban untuk membalas ketidakadilan.[41]
Bahkan, yang menariknya lagi menurut Radcliffe Brown, radikalisme yang
terjadi pada kelompok masyarakat yang bertikai dibenarkan oleh pendapat
umum, meskipun menurut Leopold Pospisil tidak
begitu jelas pendapat umum yang mana, apakah pendapat para pihak yang
bersengketa, atau pendapat umum diluar masyarakat yang bersengketa.
Namun lebih lanjut menurut Leopold Pospisil setidaknya pendapat umum ini adalah pendapat para pihak yang bersengketa.[42]
Mendasarkan
pada perspektif antropologi tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa
radikalisme merupakan salah satu sistem sosial yang diciptakan oleh
suatu kelompok untuk mempertahankan kehidupannya dari ancaman kelompok
lain, serta sebagai salah satu sarana dalam menye-lesaikan sengketa yang
terjadi, baik berupa penuntutan balas atas radikalisme yang sudah
dilakukan, atau juga sebagai sarana dalam menuntut keadilan yang dinilai
telah di-langgar oleh kelompok lain.
4. Radikalisme Dalam Perspektif Ekonomi
Meskipun
bukan objek formalnya, wacana radikalisme juga tidak luput dari
perhatian bidang ekonomi, terutama pada upaya pemahaman sampai
sejauhmana pembangunan ekonomi, serta implikasi sistem ekonomi yang
digunakan dalam pembangunan menimbulkan dampak yang tidak dikehendaki
terhadap masyarakat itu sendiri.
Namun
sebelum lebih jauh melihat bagaimana hubungan tersebut dipahami, satu
hal yang perlu ditekankan di sini bahwa ekonomi dalam arti ekonomi
sendiri bersifat netral artinya sebagai salah satu bentuk kebutuhan
dasar manusia, maka keberadaan ekonomi (terutama modal dalam mem-bangun)
merupakan suatu keniscayaan, dalam arti bahwa cara produksi, kebutuhan
sandang, pangan, papan, serta kebutuhan modal secara langsung tidaklah
berpengaruh terhadap radikalisme. Akan tetapi, ketika persoalan ekonomi
lebih dalam dilihat sebagai keinginan dan nilai yang ada dalam
masyarakat, maka persoalannya menjadi lain. Karena pada perspektif ini,
bagaimana dasar filosofik pandangan masyarakat tertentu terhadap modal
menjadi sangat penting, dan signifikan untuk dilihat dalam kaitannya
dengan persoalan radikalisme. Demikianlah misalnya, ketika orang
berbicara modal dalam perspektif kapitalisme, maka pembicaraannya
menjadi bagaimana nilai, atau pandangan kapitalisme sebagai faham atau
aliran mengandung nilai-nilai, cara pandang, cara produksi (mode of production) dalam masyarakat. Pada tataran inilah, kiranya radikalisme dalam perspektif ekonomi akan dilihat, dan ditelusuri lebih jauh.
Dalam
kerangka berpikir seperti di atas, maka pertumbuhan ekonomi,
kebutuh-an, dan ekspansi modal pada masyarakat dinilai telah berpengaruh
dan merubah cara pandang terhadap keberadaan masyarakat atau negara.
Hal ini dimungkinkan, karena akumulasi modal tidak lagi mengarah pada
bagaimana upaya memenuhi kebutuhan banyak orang, tetapi sudah merupakan
upaya memenuhi hasrat dan keinginan pribadi atau kelompok tertentu akan
kebutuhan hidupnya, sehingga modal itu sendiri menjadi eksploitatif
sifatnya. Karena sifatnya yang eksploitatif, maka keberadaan dan
akumulasi modal yang besar dalam masyarakat, kiranya bisa menimbulkan
kerusakan, kekacauan, konflik dengan struktur lembaga yang, termasuk
lembaga dan pranata ekonomi yang sudah ada, dan terpelihara dalam
masyarakat. Bahkan, tidak jarang keberadaan dan akumulasi modal yang
terjadi dalam masyarakat dalam jumlah yang besar menimbulkan efek
psikologi terhadap masyarakat sendiri berupa prustasi massa sebagai
akibat tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, yang
dirasakan sebagai hak ditengah-tengah melimpahnya modal dan kekayaan
yang ada. Artinya, hasil yang diperoleh sebagai implikasi dari akumulasi
modal hanya dirasakan dan dinikmati oleh segelintir orang.
Pembangunan sering diidentikan dengan upaya ”state building dan akumulasi modal”.[43]
Pada tataran ini, maka dalam kaitannya dengan radikalisme yang muncul,
pembangunan itu sendiri menimbulkan perubahan-perubahan pada masyarakat
baik perubahan dilingkungan fisik (demokrafi, lingkungan alam dll),
maupun perubahan lingkungan sosial berupa hancurnya pranata dan lembaga
sosial, terjadinya konfigurasi pemilahan sosial yang berujung pada munculnya radikalisme kolektif.
Dari
apa yang tersebut di atas terlihat, bahwa ekonomi an sich bukanlah
menjadi penyebab munculnya radikalisme, tetapi dengan dipicu oleh faktor
lain, seperti militansi umat beragama, menjadikan berbagai perubahan
yang ditimbulkan sebagai akibat akumulasi modal memicu munculnya rasa
prustasi dari kelompok masyarakat tertentu, dan perilaku radikalisme
sebagai produk akhir dari prustasi tersebut dimaksudkan melakukan
koreksi atas sistem pembangunan yang dilakukan, termasuk koreksi atas
sistem kapitalisme yang tujuan utamanya melakukan akumulasi modal secara
terus menerus. [44]
5. Radikalisme Dalam Perspektif Agama
Pembicaraan
radikalisme dalam per-spektif agama kiranya lebih kompleks jika
dibandingkan dengan pembicaraan radikalisme dalam perspektif lainnya.
Hal ini dikarenakan, hampir semua orang sependapat bahwa tidak ada satu
ajaran agamapun yang kiranya memuat suatu perintah agar penganutnya
untuk melakukan radikalisme. Jika ada yang mengajarkan hal yang
demikian, maka keberadaan agama dinilai telah mengingkari dirinya yang
menghendaki kedamaian baik dunia maupun akhirat.
Namun demikian, pada tingkat praksisnya, dan ini ironis sifatnya, ternyata
ditemukan kondisi berbeda dimana agama sering terlibat, atau dilibatkan
dalam radikalisme yang dilakukan oleh umat sebagai penyandang dan
pemeluk agama tersebut. Bahkan, pelibatan agama pada radikalisme yang
terjadi dinilai oleh Gerald O. Barney menempati angka yang cukup tinggi,[45] serta dalam lintasan sejarah yang sudah cukup lama.[46] Realitas inilah kemudian yang memunculkan tudingan bahwa agama sebagai penyebab
utama yang menjadikan dunia porak poranda, dan kehidupan penuh dengan
anarkisme. Sampai ada yang mengatakan bahwa agama harus mati, karena
agama merupakan penyebab fundamental dari radikalisme yang melanda
dunia, termasuk semua persoalan sosial, ekonomi dan ekologi.[47]
Berbeda dengan bidang kehidupan lainnya, dalam
agama terdapat berbagai ajaran, simbolisme, cerita/amsal, konsep,
dogma, pencitraan, ritualitas serta idealitas sistem, dan struktur
pribadi maupun sosial yang dikehendakinya, yang menjadikan agama
menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia. Mulai dari dimensi alam
atas dan alam bawah sadar manusia, dimensi imanensi dan transendental,
dimensi psikis dan fisik manusia. Keseluruhan substansi agama tersebut
bersifat universal, sedangkan jika menyangkut bagaimana simbol, konsep,
ritualitas dan idealitas yang ada pada agama tersebut dipahami oleh
pemeluknya, maka agama menjadi bersifat partikular.[48]
Pada
sifatnya yang universal maka agama memperlihatkan dimensi Illahiyah,
sedangkan pada yang partikular bisa merupakan cerminan dan refleksi
budaya lokal dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Oleh
karena itu, tidaklah meng-herankan jika agama memiliki fungsi yang
sakral dan ditempatkan sebagai suprastruktur dalam keseluruhan tatanan
kehidupan masyarakat tersebut, dan menyentuh sisi eksistensialisme manusia itu sendiri.
Penempatan
agama sebagai struktur tertinggi dari keseluruhan tatanan, dan sistem
sosial kehidupan manusia, dalam perspektif fungsionalisme menjadikan fungsi
agama sebagai superstruktur ideologis yang mem-pengaruhi subsistem
lainnya. Sedangkan bagi mereka yang mengkonstruksikan agama dengan latar
dialektika materialisme misalnya, memiliki pandangan yang berlawanan
dengan fungsionalisme dimana fungsi agama yang tetap diletakkan sebagai
superstruktur ideologis akan tetapi sangat ditentukan oleh infrastruktur
material dan struktur sosial.
Dari kedudukannya inilah, agama dinilai memiliki fungsi manifes (manifest functions)
yaitu fungsi yang disadari betul oleh para partisipan sebagai
manifestasi objektif dari suatu sistem sosial, misalnya meningkatkan
kehesivitas umat (Ukuwah islamiyah), atau memiliki fungsi laten (latent functions)[49] yaitu fungsi yang tidak dikehendaki secara sadar dari sistem sosial tersebut dalam memunculkan radikalisme, atau menurut Azyumardi Azra agama merupakan lahan empuk untuk menjadi crying banner dalam melakukan tindakan anarkis (radikalisme-Penulis),[50] yang juga sama-sama didasari pada pembacaan dan konstruksi tekstualitas yang ada dalam agama itu sendiri.
Karena substansi yang ada pada agama itu juga, sehingga agama dengan sangat mudah terseret atau diseret dalam kancah radikalisme
dengan menggunakan berbagai bahasa ilmu pengetahuan yang ada, misalnya
bahasa ideologi, politik, sosial budaya ataupun ekonomi. Anehnya, pada
sisi ini sikap dan perilaku umat beragama sering menampakkan diri pada
sifat yang ambiguitas dalam memahami teks-teks agama, sehingga berbagai
bentuk kegiatan yang merugikan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan
yang fitri selalu didasari pada teks agama, padahal tindakan itu
dilihat dari sisi ajaran agama yang sama tidak pernah dibenarkan sama
sekali.
Sebagai
contoh dalam perspektif ideologi, dimana agama dikehendaki atau tidak
dikehendaki, selalu berhadapan dengan kemungkinan menjadi ideologis, dan
sebaliknya setiap ideologi yang ingin memantapkan diri cenderung
menempuh jalan untuk memberikan warna keagamaan kepada dirinya.[51]
Dalam konteks idiologi juga, agama menumbuhkan kenyakinan pada
pemeluknya bahwa apa yang telah dilakukannya adalah kebenaran yang
munculnya dari pesan-pesan agama tersebut. Sikap inilah yang kemudian
memunculkan kekhawatiran, ketakutan dan bahkan tuduhan terhadap agama
tertentu yang akan mengancam keberadaan agama, ideologi lain, atau
mengancam peradaban manusia dimuka bumi ini.
Samuel
Huntington, adalah salah seorang yang mengkhawatirkan hal tersebut.
Menurutnya, setelah runtuhnya ideologi Marxis dan negera-negara komunis,
maka segera terlihat suatu kecenderungan yang kuat untuk memperlihatkan
kembali peranan agama sebagai salah satu faktor yang turut menentukan
rasa identitas suatu bangsa, dan lingkaran budaya yang dipegang oleh
beberapa bangsa. Kekuasaan ekonomi menurut
Huntington masih tetap menentukan aliansi-aliansi regional dimasa depan
sesuai dengan dinamika kapitalisme. Namun, lebih lanjut Huntington
berpendapat, kekuatan ekonomi tersebut memerlukan dimensi agama guna
mempererat aliansi yang dibangun tersebut. Dalam kondisi seperti ini,
maka menurut Huntington akan muncul blok yang kuat yang berakar pada
Konfusianisme, Agama Shinto, Islam dan ini dinilai olehnya akan
mengancam peradaban yang selama ini telah terbangun (Peradaban Barat-Pen). [52]
Demikian juga dalam relasinya dengan politik,[53] agama dengan mudah terseret dalam kancah radikalisme dengan dipolitisasinya agama sebagai sumber radikalisme terbuka, yang sebenarnya lebih didasari oleh melemahnya sistem dan institusi politik yang ada.[54] Masih dalam perspektif politik, agama juga sering dijadikan legitimasi radikalisme yang dilakukan oleh penguasa dengan maksud mempertahankan hegemoni kekuasaan.[55]
Dalam perspektif budaya, agama terkait dengan persoalan identitas
suatu kelompok, bahkan dalam batas-batas tertentu agama sering identik
dengan etnis atau kelompok masyarakat tertentu, sehingga radikalisme
yang sektetarian dan etnik bisa menyeret agama ke dalam kancah
radikalisme tersebut.[56]
Masih dalam kaitannya dengan identitas serta etnisitas, peran agama
bisa menjadi krusial karena agama sering digunakan sebagai sarana
mengembalikan kesadaran kelompok tertentu yang merasa teralienasi
terhadap kelompok, penguasa, bangsa atau sistem yang selama ini
melingkari kehidupannya.[57]
Tetapi, jika dalam realitasnya mereka yang melakukan perlawanan
(radikalisme-pen) sebagai bentuk kesadaran akan terjadinya alienasi
memiliki kesamaan pada tataran agama yang dianut, maka yang muncul
kepermukaan sebagai ”major force” adalah etnisitas.[58]
Bahkan,
dalam perspektif budaya pemeluk yang religius sekalipun tidak banyak
bedanya dalam tingkah laku yang mendasarkan pada budayanya sendiri (yang
menampakkan radikalisme, pen.). Misalnya, gereja-gereja di Rwanda
sebelum dan sesudah tahun 1994 menyampaikan khotbah mengenai perdamaian
dan rekonsiliasi, dan bahkan mengelola berbagai program untuk
mempromosikan tujuan tersebut. Namun, para pendeta dan biarawati, serta
jamaahnya biasa berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan genosida.[59]
Secara
holistik agama tidak membawa ajaran radikalisme oleh banyak ka-langan
disadari betul kebenarannya, hal ini tentunya jika dikaitkan dengan
eksistensi diturunkannya agama bagi manusia. Ber-bagai moralitas yang
sifatnya transenden dari agama sejatinya berimplikasi ke dalam imanensi
kehidupan manusia. Hadirnya moralitas yang sifatnya transendental ini
sejatinya diaktulisasikan ke dalam dimensi kemanusiaannya secara utuh
sebagai makhluk rasional, dan spiritual. Sehingga kedamaian, ketenangan,
dan kesejahteraan dapat terwujud secara kukuh dalam ke-hidupan ini.
Namun demikian, kiranya tidak bisa juga dipungkiri bahwa dalam agama,
secara tekstual ditemukan teks-teks yang bisa memberikan nuansa
radikalisme.
Tekstualitas
tersebut bisa muncul dalam bentuk ajaran, simbolisme, cerita/ amsal,
konsep, dogma, pencitraan, ritualitas serta idealitas sistem dan
struktur pribadi maupun sosial yang dikehendaki oleh agama. Semua
substansi tersebut dalam bentuknya yang ”sacra” tentunya bersifat netral, dan ketika semua substansi tersebut ingin dimanifestasikan dalam dunia ”profan”,
dan bermakna, maka intervensi manusia dalam bentuk penafsiran
diperlukan. Persoalan penafsiran atas teks-teks keagamaan inilah, yang
menurut penulis dinilai menimbulkan justifikasi radikalisme atas nama
agama. Mulai dari radikalisme domistik (domestic violence) yang sulit untuk dideteksi, sampai radikalisme pada ranah publik (public violence).
Sebagai
contoh pada radikalisme domestik, dalam al-qur’an terdapat teks-teks
yang kiranya bisa ditafsirkan memberikan justifikasi pada radikalisme
itu sendiri, misalnya kata ”idlrih hunna” dalam surat An-Nisa ayat 3 oleh departemen agama diterjemahkan dengan ”pukullah mereka”.[60] Pengertian ini menurut Nassaruddin Umar tidak salah, tetapi kata tersebut tidak mesti diartikan demikian.[61] Dengan menunjuk pada kamus bahasa Arab ”Lis±a al-’Arab”
Nassaruddin memberikan pengertian bahwa kata tersebut (dlaraba) sebagai
”gauli atau setubuhilah” dan terjemahan ini lebih sesuai dengan fungsi
dan tujuan perkawinan untuk menciptakan ketenteraman dan kasih sayang.[62]
Demikian juga menyangkut pelarangan seorang perempuan/wanita untuk
menjadi pemimpin, yang sudah dinilai sebagai bentuk radikalisme politik,
merupakan persoalan bagaimana penafsiran atas teks-teks tersebut
dilakukan.
Mencontoh
pada persoalan tersebut di atas, maka persoalan yang utama dalam
melihat bagaimana radikalisme yang dilakukan mendasarkan pada agama
adalah persoalan bagaimana menafsirkan teks-teks agama, apakah ada makna
objektif dari teks itu sendiri, apalagi pada teks-teks agama dimana
bahasa Tuhan yang termuat dalam kitab suci merupakan makna sacra yang
dicoba diterapkan dalam dunia profan manusia. Oleh karena itu dalam
memahami teks-teks agama tidaklah cukup dengan melakukan interpretasi secara
tekstual saja tetapi diperlukan juga interpretasi kontekstual. Karena
dalam interpretasi tekstual pendekatan yang digunakan lebih bersifat
formalistik-legalstik, yaitu suatu pendekatan yang mengacu pada
teks-teks yang dipahami dalam dimensi transendental semata, sehingga
bisa lepas dari konteks kesejarahan, baik dalam konteks kedahuluan,
kekinian maupun keakan-datangan. Interpretasi tekstual yang bersifat
formalistik-legalistik ini oleh Muhammad Arkoun disebut sebagai
pendekatan monolitik, sedangkan interpretasi kontekstual adalah suatu
metode interpretasi yang melihat agama dalam dimensi kehidupan yang
lebih luas, baik dalam konteks kesejarahan maupun pesan zaman dijadikan
pilar utama dalam melakukan interpretasi teks agama.[63]
C. Refleksi Dan Solusi: Sebuah Tawaran Etika, Nilai Dan Norma Kehidupan
Memberikan
solusi bagi permasalahan historis-sosiologis tidaklah mudah,
terlebih-lebih jika permasalahan yang ada itu ditopang oleh emosi
keagamaan. Namun demikian, dalam melihat fenomena historis-sosiologis
mengenai muncul dan berkembangnya gerakan radikalisme ini ada beberapa
catatan yang mungkin terjadi solusi alternatif.
Etika adalah bidang yang mencoba mempelajari secara formal dan sistematis tentang moralitas dengan tujuan mencari orientasi dalam kehidupan. Dalam
melihat dan menilai ajaran moralitas, etika meng-gunakan metode kritis,
yang mengamati realitas moral secara kritis. Etika memang tidak
memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai,
norma-norma dan panangan-pandangan moral secara kritis. Etika tidak
membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar
pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertang-gungjawabkan. Etika
berusa menjernihkan permasalahan moral tersebut.
Dari penelusuran secara kritis, setidaknya ada enam nilai etik ketika suatu paham dianut oleh sekelompok orang yaitu: Pertama; diakuinya atau diterimanya perbedaan, kedua; ditolaknya absolutisme, ketiga; diterimanya relativisme, keempat; mengakui kesetaraan sebagai suatu konsep kehidupan, kelima; mengakui yang lain (the others) serta keenam;
terbukanya ruang dialog dan komunikasi. Keenam sikap etik yang muncul
bersamaan dengan diakuinya pluralisme ini merupakan substansi dari
pluralisme itu sendiri, sehingga berbagai permasalahan yang muncul baik
dalam bentuk ketakutan dan berbagai penyimpangan akan makna pluralisme
itu sendiri sesungguhnya menurut penulis lebih dikarenakan tidak atau
belum dipahaminya empat emplikasi etik yang muncul dari pluralisme itu
sendiri.
1. Mengakui Perbedaan
Premis dan substansi dasar dari pluralisme adalah diakuinya keanekaragaman, heteregonitas atau
kemajemukan sebagai fakta sosial. Keanekaragaman ini secara substansial
isinya adalah perbedaan, dan perbedaan inilah yang merupakan kondisi obyektif dari pluralisme tersebut. Sehingga syarat pertama dan merupakan syarat obyektif dari kehidupan yang plurali adalah menerima dan mengakui perbedaan sebagai dasar dalam memahami realitas sosial.
Adanya
masyarakat yang hidup diperkotaan dan pedesaan, berbagai macam Agama,
ideologi, suku bangsa dan etnis, hukum sekuler dan hukum agama adalah
merupakan fakta sosial yang keberadaannya tidak terbantahkan. Perbedaan
inilah yang menjadikan pluralisme sebagai suatu paham memperoleh akar
yang kuat dalam khasanah pemikiran dan ilmu pengetahuan karena
ontologinya berpijak pada fakta dan realitas sosial yang sesungguhnya,
tidak didasari pada rekaan atau konstruksi sosial.
Oleh karena itu sikap inklusif (terbuka) merupakan sikap yang penting dalam melihat dan menyikapi perbedaan bukan sikap eksklusif (tertutup). Dengan sikap inklusif, keberadaan yang lain dijadikan moral patient atau moral recipient, sedangkan jika dalam memahami perbedaan yang ada digunakan sikap eksklusif maka moral patient
hanya terbatas pada diri atau kelompok sendiri. Hanya orang yang
sesuku, seiman, sealiran, segender pantas diperlakukan sebagai moral patient, artinya pantas dihormati hak-hak serta kepentingan-kepentingannya.
2. Menolak Logosentrisme yang Absolutisme
Sebagai
suatu kata absolutisme sama dengan pluralisme, merupakan bentukan dari
kata: “absolut dan isme”. Kata absolut mengacu pada arti mutlak[64]
dan isme pada pengetian paham atau aliran, sehingga secara etimologi
kata absolutisme membentuk arti aliran atau paham yang memutlakan
sesuatu. Pada mulanya istilah absolutisme itu muncul dalam ranah
teologi, kemudian konsepsi absolutisme ini digunakan dalam bidang yang
lainnya, misalnya dalam epistemologi, aksiologi, maupun dalam bidang
politik (sistem pemerintahan).
Absolutisme
sebagai suatu aliran atau paham mengandung makna adanya pengakuan yang
satu atau tunggal (bukan tuhan), baik yang menyangkut akan kebenaran
(truth claim), pemikiran, pemahaman, penafsiran dan lain sebagainya.
Karena sifanya tunggal, maka absolutisme itu bersifat
“sentris”, artinya terpusat pada kediriannya sendiri serta menafikan
pada kedirian yang lainnya. Kebenaran misalnya diklaim atau diyakini
hanya kebenaran dirinya, kelompoknya, klasnya sendiri saja yang ada,
sedangkan pada yang lain kebenaran tidak ada, baik kebenaran dalam
sikap, norma, pemahaman, pemikiran maupun
penafsiran dan lain sebagainya. Kebenaran pada yang lain dinafikan
keberadaannya, tidak diakui dan bersifat final. Oleh karena itu
kebenaran yang lain harus lebur atau ikut pada kebenaran yang ada pada dirinya.
3. Menerima Logosentrisme yang Relativisme
Berhadapan
secara diametris dengan absolutisme adalah relativisme yang justru
mengakui keberadaan lainnya disamping kediriannya sendiri. Terhadap
kedirian, sikap relativisme ini meneguhkan bahwa bahwa apa yang kita
pahami sebagai suatu kebenaran misalnya, adalah relatif pada kedirian
orang lain, artinya dalam konteks pluralisme, kebenaran juga akan
dipahami oleh orang lain sebagaimana mungkin berbeda dengan cara kita
memahaminya atau kebenaran juga ditemukan pada orang lain.
Dalam
kehidupan yang pluralis setiap masalah dan cara bagaimana memahami
masalah tersebut diyakini merupakan kontruksi sosial suatu masyarakat
yang di dalamnya melibatkan banyak kondisi social yang berbeda, mulai dari nilai, budaya, agama,
politik, adat istiadat dan dan kesadaran yang secara intensional
terarah pada realitas tersebut. Pemahaman akan realitas sebagai
konstruksi social inilah yang memberikan hasil yang juga berbada an-tara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya[65].
Relativisme
bukan hanya sekedar mengakui adanya kedirian lain selain kedirian diri
sendiri, tanpa mau berusaha memahami bahkan menerima kedirian lainnya. Sebab
kalau hal ini terjadi, maka relativisme juga pada akhirnya terjebak
pada absolutisme. Agar tidak terjebak pada absolutisme, kiranya
relativisme selalu dikaitkan dengan yang lainnya.
4. Mengakui Kesetaraan
Seperti
dikatakan diatas, bahwa perbedaan merupakan fakta sosial sehingga
bersifat obyektif. Pengakuan dan penerimaan akan perbedaan dalam semua
hal merupakan syarat utama dalam pluralisme. Karena perbedaan merupakan
persoalan mendasar dan hakiki dari sesuatu, maka perbedaan tersebut
bukan untuk dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan,
mono dan ika. Sebab ketika upaya penyatuan perbedaan dilakukan, maka
pada hakekatnya pluralisme tidak lagi menjadi suatu paham atau ideologi,
karena yang ada hanya monoisme atau homogenitas dan menghilangkan
perbedaan itu sendiri yang sifatnya hakiki dan asali.
Oleh
karena itu kesetaraan sebagai suatu konsep yang memandang sama atas
perbedaan menjadi syarat dalam pluralisme. Fakta bahwa adanya masyarakat
tradisional dan moderen, agama yang berbeda (Islam, Kristen, Katolik,
Hindu dan Budha dll), hukum sekuler/agama, hukum negera dan hukum lokal,
dilihat pada kedudukannya yang sederajat, bukan dilihat dalam
perspektif mayoritas dan minoritas, maju atau terbelakang, superior atau inferior, tetapi kesemuanya tersebut dipandang sejajar dan sederejat.
Dalam
konteks hak dan kewajiban, masing-masing memiliki hak dan ke-wajiban.
Oleh karena itu dalam pluralisme pengakuan dan penghargaan pada satu
fakta sosial tidak serta merta mengabaikan fakta sosial lainnya. Bahkan
menghormati hak yang lain merupakan suatu keharusan, karena yang lain,
yang kecil juga memiliki “hak hidup” yang wajib dihormati. Ke-anekaan
budaya yang masing-masing duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini
merupakan konsientisasi berikut yang disodorkan oleh pluralisme. Pada
tingkat praktis, pluralisme juga menunjuk kemungkinan "penyesuaian” atau
"dialog” dalam pengalaman individual maupun kelompok, sehingga akan
tercipta sikap toleransi antar sesama.[66]
5. Terbukanya Ruang Dialog dan Komunikasi
Pluralisme berbagai bidang kehidupan yang
didalamnya meletakkan perbedaan sebagai dasar atau fundamen utamanya
tidaklah menjadikan penyeragaman, penyatuan berbagai perbedaan tersebut
sebagai penyelesaian guna menghilangkan perbedaan yang sudah muncul
sejak awal, karena tindakan pe-nyeragaman pada dasarnya mengingkari
perbedaan itu sendiri, bahkan upaya menghilangkan perbedaan adalah
sia-sia. Pemikiran seperti ini muncul dikarenakan adanya pemahaman yang
keliru mengenai perbedaan itu sendiri, perbedaan identik dengan konflik
dan konflik identik dengan berbagai bentuk kekerasan. Pada hal antara konflik dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda.[67]
Dibalik
perbedaan yang ada sesungguhnya komunikasi adalah salah satu etika yang
inheren didalamnya, komunikasi dilakukan guna mengetahui berbagai
perbedaan yang ada. Tidak hanya mengetahui berbagai perbedaan yang ada,
dialog dan komunikasi pada dasarnya merupakan salah satu wahana dalam
meningkatkan manusia dan kema-nusiaannya[68].
Sebab jika perbedaan tersebut tidak ada, artinya seluruhnya adalah sama, maka komunikasi
menjadi tidak ada tempat dalam ranah kehidupan, karena masing-masing
pihak sudah mengetahui akan kesamaan tujuan, visi kehidupan, sifat,
karakter, ciri dan lain sebagainya. Artinya dalam konsep kesamaan
tersebut tidak adanya perbedaan antara “saya” dengan “dia”, bahkan dapat
dikatakan “saya” adalah “dia” dan “dia” adalah “saya”, maka pada posisi
seperti ini komunikasi tidak menjadi penting. Hal ini dikarenakan apa
yang menjadi persoalan ”dia” sesungguh-nya kita sudah mengetahuinya.
Jika
berbagai perbedaan yang ada tidak dibarengi dengan dialog atau
komunikasi, maka jebakan absolutisme akan terbuka lebar. Misalnya hal
ini terjadi ketika Marx melihat persoalan kapitalisme yang dinilainya
sebagai suatu konsepsi masyarakat yang berbeda dengan konsepsi
masyarakat sosialis. Marx menyadari betul adanya perbedaan tersebut,
serta berbagai implikasi dari sistem kapitalisme dalam kehidupan
masyarakat yang menurutnya telah memarjinalkan dan memisahkan masyarakat
menjadi masyarakat berjouis pada posisinya yang kuat dan masyarakat
proletar yang semakin tereksploitasi dan mengalami proses marjinalisasi
dalam kehidupannya.
Hanya
persoalannya ternyata Marx dalam melihat persoalan ini terjebak pada
absolutisme akan kebenaran pemahaman-nya sendiri, sehingga dengan
paradigma kerjanya Marx merasa yakin bahwa perbedaan yang dihasilkan
oleh kapitalisme menuju pada persamaan sebagaimana yang dikonsepsikan
dalam masyarakat sosialis, bisa diselesaikan melalui pemberontakan atau
kekerasan.
Catatan Akhir:
*
Makalah disampaikan pada Lokakarya Dalam rangka memperingati HUT
Bhayangkara ke 65, “ Kemitraan Polti Dengan Masyarakat Dalam Menangani
Radikalisme, Polda Kalbar Pontianak, 28 Juni 2011.
**
Penulis adalah dosen fakultas Hukum Untan, menyelesaikan studi Doktor
dalam bidang Ilmu Hukum Pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang.
[1] Lihat harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995, hlm.124.
[2]
Dalam perspektif Barat Fundamentalisme berarti paham orang-orang kaku
ekstrim serta tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam
mempertahankan ideologinya. Sementara dalam perspektif Islam,
fundamentalisme berarti tadjid berdasarkan pesan moral Al-Qur’an dan
as-Sunnah. Lihat Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hlm.22.
[3] H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan Machnun Husein, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm.52.
[4]
Dalam mempelajari suatu objek ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi
dua yaitu objek materil dan objek formal. Objek material mengacu pada
pokok bahasan “yang digeluti oleh Ilmu pengetahuan” tersebut, sedangkan
objek formal mengacu pada sudut pembahasan suatu bidang ilmu. Misalnya
fisika, kedokteran, sejarah, agama, sastra, seni rupa dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, dalam tataran praktisnya ilmu pengetahuan
hanya bisa dibedakan dari sudut formalnya saja sedangkan sudut
materialnya bisa sama. Lebih lanjut lihat C. Verhaak Dan R. Haryono
Iman, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet Ke-4, September 1997. Hal. 1.
[5] Jika ditelusuri kebelakang maka pembagian ilmu pengetahuan secara formal dan material seperti yang diuraikan tersebut di atas merupakan
warisan abad pertengahan barat (abat XIX) yang membedakan ilmu-ilmu
sosial dan humaniora ke dalam disiplin yang ketat dan kaku. Namun
semenjak tahun 1945, terutama di Eropa dan Amerika Serikat, pembedaan
secara ketat dan kaku tersebut mulai ditinggalkan. Hal ini terjadi
seiring dengan adanya berbagai perubahan masyarakat secara mondial.
Ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang tersekat-sekat secara ketat itu
semakin kurang mampu menjelaskan berbagai gejala yang ada. Muncullah
kajian-kajian yang bukan sekedar melibatkan berbagai lintas disiplin
ilmu atau multi disipliner, tetapi juga lintas disiplin atau
interdisipliner. Sebagai contoh misalnya: Kajian Wilayah (Area Studies), Kajian Pembangunan (Development Studies), Kajian Perempuan (Women Studies), Kajian Media (Media Studies), Kajian Kebudayaan (Cultural Studies), Kajian Ham (Human Right Studies).
Atau dengan kata lain pada paroh kedua abad XIX hingga sekitar 1945
terjadi divergensi ilmu-ilmu social dan humaniora kini terjadi
konvergensi. Lihat Immanuel Willerstein (Oscar-Penerjemah), Lintas Batas Ilmu Sosial, Penerbit Lkis Yogyakarta, 1997.
[6] Beberapa definisi mengenai politik memperlihatkan objek utamanya adalah negara. Demikian misalnya Wilbur White sebagaimana yang dikutip oleh F. Isjwara mengatakan bahwa political science is the study of formation, form and processes of the states and government. Lebih jauh lihat Wilbur White dalam F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Penerbit Dwintara Bandung, 1987, Hal 9. Demikian juga hal yang sama seperti dikatakan oleh Johan Kaspar Bluntschli bahwa Political
Sciences is “ The sciences which is concerned with the state, which
endeavours to understand and emprehend the state in its conditions, in
its essential nature, in various forms or manifestation its development”.
Kemudian karena ilmu politik itu sendiri mengalami perkembangan yang
pesat dan upaya melihat persoalan politik berkembangan dengan
menggunakan berbagai sudut pandang, maka ilmu politik dewasa ini memiliki berbagai bidang studinya yaitu antara lain. Perbandingan
Ilmu Politik, Pembangunan Politik, Analisis Politik, Sosiologi Politik,
Manejemen Politik, Etika Politik, Psikologi Politik, Politik Ekonomi
dan Komunikasi Politik. Lebih jauh Lihat Johan Kaspar Bluntschli dalam Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Hal 19.
[7] Gafna Raiza Wahyudi dkk (Penerjemah), Antonio Gramsci: Catatan-Catatan Politik, Penerbit Pustaka Promethean, Surabaya, 2001. Hal 29.
[8]Meriam
Budiardjo mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau
kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang
lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan’, lebih lanjut
lihat Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Gramedia Jakarta, 1977, hal 35. Bandingkan juga pendapat Max Weber yang
mengatakan bahwa “kekuasaan sebagai suatu kesempatan dari seseorang atau
sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya
sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan
perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu” lihat
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, UI Press Jakarta 1970, hal. 163. Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh Mac Iver, bahwa kekuasaan adalah “ the capacity to control the behavioral of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means” lihat Mac Iver, The Web Government, Mac Millan Co, New York, 1965. Hal. 87.
[9] Henk Schulte Nordholt, Geneologi Radikalisme,
Dalam Jurnal Demokrasi Dan Ham, Aksi Radikalisme Dan Kekuasaan Vol. 2
Nol 1, Februari-Mei 2002, Penerbit The Habibie Centre, Jakarta 2002, Hal
81. Sedangkan menurut JRP French & Bertram Reven dalam bukunya The Basic of Social Power mengatakan bahwa perbutan kekuasaan dengan menggunakan radikalisme diklasifikasinya sebagai ”coercive power”
yang selalu diluar konstitusional yang lazim disebut coup d’etat. Lihat
JRP French & Bertram Reven dalam Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 1999. Hal 19.
[10]
Menurut Rosabeth Moss Kanter: “Kekuasaan adalah kata kotor Amerika yang
terakhir. Lebih mudah untuk berbicara mengenai uang-dan lebih mudah
untuk berbicara seks-daripada berbicara tentang kekuasaan”. Lihat
Rosabeth Moss Kanter, “Power Failure In Management Circuits”, Harvard Business Review 57, July-Agustust, 1979. Hal 65.
[11] Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Hal. 8.
[12] J.H. Rappar, Filsafat Politik: Plato Aristoteles Agustinus Machiavelli, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Edisi I Cet-2, Tahun 2003. Hal. 432.
[13] Charles F. Andrain (Luqman Hakim-Penerjemah), Politik dan Perubahan Sosial, Penerbit PT. Tiara Wacana Yogyakarta, Cet 1 1992. Hal. 128.
[14] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992. Ha.l 111.
[15] Franz Magnis Suseno, Op Cit. Hal. 10-11.
[16] Johan Galtung, The True World: A Transnational Perspectives, The Free Press, New York, 1980. Hal. 67
[17] James Rule, Theories of Civil Violence, Berkeley University Press, 1988, Hal. 170-171
[18]
Ted Robert Gurr, adalah salah satu sarjana mencoba memformulasikan
makna radikalisme yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya terhadap
regim yang berkuasa sebagai: “all collective attacks within a
political community against the political regime, its actors-including
competing political groups as well as incumbents-or its policies. The
concept represent a set of event, a common poperty of which is the
actual or threatened use of violence…the concept subsumes
revolution…geurilla war, coups d’etat and riots”. Lihat Ted Robert Gurr, Why Men Rebel, Princeton, NJ; Princeton University Press, 1950, Hal..2-4.
[19] Ted Robert Gurr, Ibid.
[20]
Mengenai bagaimana revolusi sosial dalam masyarakat sosialis digunakan
sebagai sarana penghapusan dari tindakan sang penguasa lebih jauh lihat
C. Writht Mills (Imam Muttaqien-Penerjemah), Kaum Marxis: Ide-Ide Dasar dan Sejarah Perkembangannya, Penerbit Pustaka Pelajar Cet I, Yogyakarta 2003.
[21] Margaret Silson Vine, Sociological Theory, An Introduction, Dalam Astrid S. Susanto. Op Cit. Hal. 6.
[22] Lihat Satjipto Rahardjo, “Sosiologi Pengadilan: Penadilan dalam Masyarakat”,
Makalah Disampaikan Pada Penataran Sosiologi Hokum Yang Diselenggarakan
Oleh Universitas Muria Kudus, Tanggal 24-25 Nopember 1995.
[23] James M. Henslin, Social Problems, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, Second Edition 1990. Hal 154-155
[24] Paul B. Horton, etc. The Sociology of Social Problem, Prentice Hall, Engglewood Cliefs, New Jersey 1991, Hal 208. Bahkan menurut Korn & McCorkle kejahatan bukan hanya normal tetapi tidak bisa dielakkan (crime is not only normal but inevitable),
sebagai konsekwensi dari kompleksitas sosial dan kebebesan individual,
sehingga menurutnya kejahatan merupakan harga yang harus dibayar dari
sebuah kebebasan (crime is an inevitable consequence of social complexity and individual freedom. It is one of the price paid for freedom). Lebih jauh lihat Richard R. Korn & Llyod W. McCorkle, dalam J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologik, Penerbit Alumni Bandung, 1981. Hal 10.
[25] James M. Henslin, Op Cit. Hal. 154
[26] James M. Henslin, Ibid, Hal. 155
[27] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Alimandan-Penyadur), Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet ke-4, 2003. Hal 21
[28] James M. Henslin, Op Cit. Hal. 163.
[29] “ in the face of anomie and blocked goals, violence becomes a natural response to many situasion”, lihat James M. Henslin, Op Cit. Hal 163
[30] Robert K. Merton, On Theoritical Sociology, The Pree Pres, New York, 1967. Hal 114-115.
[31] George Ritzer, Op Cit. Hal. 25
[32] James M. Henslin, Op Cit. Hal. 211
[33]
Ethik sebagai suatu konsep merupakan istilah antropologi yang untuk
pertama kalinya dikembangkan oleh Pike, terutama dalam antropologi
bahasa yaitu phonetics atau studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang
digunakan atau ditemukan pada semua bahasa atau universal pada semua
budaya. Kemudian oleh Pike istilah ethik tersebut digunakan untuk
menjelaskan point of view dalam mempelajari perilaku dalam kajian
budaya. Lihat Tri Dayakisni Dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, Penerbit UMM Press Malang, 2004, hal 21. lihat juga Lexy J. Moleong, Op Cit. Hal. 55.
[34]
Sebagai contoh ketika konflik etnis antara orang dayak dengan orang
Madura yang terjadi di Kalimantan Barat pada penghujung tahun 2000
memperlihat stereotif yang demikian, bahkan radikalisme antar etnis
tersebut dipahami sebagai bentuk bangkitnya “Budaya Ngayau” pada
masyarakat dayak yang berhadapan dengan “Budaya Carok” pada etnik
Madura. Lebih jauh bagaimana stereotif yang keliru ini lihat John Bamba, ”Mengayau Atau Perang? Fenomenologi Radikalisme Antar Etnis di Kalimantan Barat”,
Makalah untuk Seminar Dalam Rangka Kampanye Melawan Diskriminasi Ras,
Etnis, Agama, Jender, Xenophobia dan Bentuk-Bentuk Intoleransi Lainnya
"Hindari Radikalisme. Hentikan Diskriminasi. Kita Semua Manusia" di
Pontianak 18 September 2001 kerjasama Komnas HAM-Insitut Dayakologi
[35]
Sama halnya dengan konsep ethik, emics sebagai suatu konsep merupakan
istilah antropologi bahasa yaitu Phonemics suatu studi yang mempelajari
suara-suara yang unik pada suatu bahasa tertentu, lebih lanjut lihat Tri Dayakisni Dan Salis Yuniardi, Op Cit. Hal 21. Hal yang sama lihat juga Lexy J. Moleong, Op Cit. Hal. 55.
[36] A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Radikalisme dan Harga Diri Orang Madura, Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2002. Hal 184-185.
[37] A Latief Bustami, “Tinjauan Buku Carok, Konflik Radikalisme dan Harga Diri Orang Madura”, Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, 2000. Hal 67.
[38] Michael Banton, Ethnic and Racial Consciousness, 2nd Edition, London & New York: Longman, 1997. Hal. 1
[39] T.O. Ihromi (Penyunting), Antropologi …..., Op Cit. Hal 75.
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Ibid
[43] Mohtar Mas’oed et.al (Editor), Radikalisme Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Penerbit P3PK UGM Cet Kedua, 2001. Hal. 18
[44] Sebagai contoh sejak
diberlakukannya UU PMA, PMDN dan UU Pokok Kehutanan, secara signifikan
jumlah modal asing yang masuk ke Indonesia bertambah terus, pengaruh
positifnya jelas terlihat dengan meningkatnya GDP (Gross Domistic
Product) dari 3,7 % menjadi 12 % pada tahun 1966-1973. Namun demikian
para ahli menilai disamping
pengaruh positiv dalam ekonomi negara secara makro, justru pada saat
yang sama telah terjadi kerusakan tatanan kehidupan sosial yang luar
biasa, kerusakan hutan adalah salah satunya dari kerusakan tersebut. Lihat Ann Booth et.al (Editor), Ekonomi Orde Baru, LP3ES Jakarta 1986, Hal 5.
[45] Gerald O. Barney mencatat tidak kurang 48 kasus radikalisme yang ada dibelahan dunia ini yang melibatkan agama di dalamnya. Lebih lanjut lihat Gerald O. Barney, et. al, Global 2000 Revisited: What Shall We Do?: The Critical Issues of the 21th Century, Virginia: Millennium Institute, 1993. Hal.. 81
[46]
Sebagai contoh perang salib yang kemunculannya berawal dari ekspansi
Islam yang dilakukan oleh Alp Arselan pada tahun 464 H (1071 M) dimana
tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit berhasil
mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, yang
terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Proneis dan
Armenia. Peristiwa ini kemudian mendorong Paus Urtanus II berseru kepada
umat Kristen di Eropah untuk supaya melakukan perang suci yang kemudian
dikenal dengan “perang salib” yang terjadi dalam tiga periode. Khusus
mengenai perang salib ini, lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Di Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta Cet- Ke-5, 1985. Hal. 77. Lihat juga M. Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruh Islam Di Eropah, Penerbit Bina Usaha Yogyakarta, 1987. Hal. 12-14. Lihat Juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Cet Ke-14 2003. Hal. 76-79.
[48]
Konsep universalitas dari substansi dan nilai agama dan partikularitas
simbol agama ini penulis rujuk pada pemikiran Zumri Bestado Syamsuar
dalam melihat paradoks pikiran keagamaan. Dia mengatakan, bahwa
substansi dan nilai suatu agama tidak hanya berlaku pada satu pemeluk
agama saja tetapi berlaku pada dan lintas semua pemeluk agama, semua
komunitas, semua masyarakat dan semua segmen negara dan bahkan lintas
budaya. Sedangkan simbol-simbol agama jelas
bersifat partikular, yakni ia hanya diakses dan didukung serta
dimanifestasikan oleh masing-masing pemeluk agama saja, tidak bersifat
lintas diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia ataupun
negara kecuali sebatas sifatnya yang partikular saja dan tidak lebih.
Penulis melihat partikularitas terhadap simbol agama ini terjadi lebih
dikarenakan bagaimana kelompok umat beragama, suku memaknai symbol
tersebut yang dalam tataran praksisnya tidak dapat dihindari masuknya
berbagai elemen lain selain agama, terutama elemen budaya. lebih lanjut
Lihat Zumri Bestado Sjamsuar, ”Paradoks Pikiran Keagamaan: Kritik Terhadap Pereduksian Simbol Agama”, Dalam Suara Almamater Publikasi Ilmiah Universitas Tanjungpura, No. 6 Tahun XIV, Tahun 1999. Hal. 26-34.
[49] Robert K. Merton, Op Cit. Hal 114-115.
[50] Lihat Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantanga., Cetakan I, PT Remaja Rosda Karya Bandung, 1999. Hal. 11.
[51] lihat Ignas Kleiden, ”Kekuasaan: Ideologi dan Peran Agama-Agama Di Masa Depan” Dalam Martin L. Sinaga. MTH, (Editor) Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, Penerbit PT. Grasindo Jakarta 2000, Hal. 23.
[52] Salah satu karya yang cukup terkenal dalam melihat persoalan ini adalah karya Samuel Huntington tentang “Clash of Civilizations”.
Bagi Huntington konflik (baca:radikalisme) pada era ini tidak lagi
bernuansa persaingan politik Timur-Barat, tetapi lebih disebabkan
perbedaan-perbedaan dan rivalitas ideologis, terutama dalam hal ini, ia
melihat Islam memiliki potensi untuk berbenturan langsung dengan Barat.
Bagaimana pandangan, penilaian sampai pada tesis Huntington tentang
Islam sebagai suatu ideologi yang membahayakan bagi peradaban dunia.
Lihat M. Natsir Tamara Dan Elza Taher Peldi Taher (editor), Agama Dan Dialog Antar Peradaban, Penerbit Paramadina Jakarta, 1996, Hal 3-33, lihat juga Saiful Mulani, Jajat Burhanudin Dkk, Benturan Peradaban, Sikap dan Prilaku Islam Indonesia Terhadap Amerika,
Penerbit Nalar, 2005. Tidak urung tesis Samuel Huntington ini mendapat
reaksi keras dari dunia Islam. Indonesia misalnya dari suatu penelitian
yang dilakukan oleh Freedom Institute dan Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPLM) Universitas Islam Negeri Jakarta pernah mengadakan
suatu penelitian yang memperlihatkan hasil bahwa ada korelasi positif
antara tesis Huntington dengan rasa kekecewaan masyarakat terhadap
Amerika dengan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk demonstrasi anti
Amerika yang pada dasarnya adalah demonstrasi
atas penolakan tesis Samuel Huntington tersebut. Lihat Harian Kompas,
Sabtu, 17 Desember 2006.
[53] Dalam perspektif politik, agama merupakan suatu sistem politik (a political system). Demikian Islam misalnya oleh Dr. V. Fitzgerald bukan hanya semata-mata agama (religion),
namun juga merupakan sebuah sistem politik. Meskipun pada dekade-dekade
terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai
kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun
seluruh pemikiran Islam dibangun di atas fondasi bahwa kedua sisi itu
saling bergandingan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Lihat Dr. V. Fitzgerald, ”The Mohammaden Law” dalam M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Penerbit Gema Insani Jakarta, 2001. Hal 5.
[54]
Dalam kaitannya dengan persoalan global, Baverley Crawford berpendapat
bahwa politisasi agama dalam kancah kererasan yang sifatnya terbuka
terjadi dikarenakan melemahnya institusi politik sebagai akibat berbagai
tekanan, terutama liberalisasi dan integrasi global. Lebih jauh lihat Beverly Crawford, “Politik Identitas: Sebuah Pendekatan Kelembagaan”, dalam Jurnal Gerbang, Nomor 10, Vol. IV, Juni –Agustus 2001. Hal. 103
[55]
Dalam perspektif hegemoni kekuasaan, umar kayam seorang Guru Besar
Sastra dan Sosiologi dari UGM berpendapat bahwa perang salib sebagai
salah satu perang terbesar yang mengatasnamakan agama, dinilainya
merupakan bentuk perang hegemoni kekuasaan atas ekonomi, Lihat Eny
Effendi (Editor), Islam dan Dialog Budaya. Diterbitkan Atas Kerjasama Puspa Swara Dengan Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Jakarta, Cet-1, 1994. Hal. 166.
[57] Masalah ini lihat, Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, Boulder, San Fransisco, & Oxford: Westview Press, 1991. Hal 130.
[58]Lihat juga Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998. Hal. 126.
[59] Simon Fisher et. al., Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Terjemahan, Cetakan I, The British Council Indonesia, Jakarta, 2001. Hal. 43.
[60]
Qur’an surat an-nissa ayat 3 berbunyi: ”kaum laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagaian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena
mereka(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (garis bawah-pen). Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka jangalah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar
(terjemahan departemen agama)
[61] Jurnal Demokrasi Dan Ham, ”Radikalisme Dan Kekuasaan”, Vol.2. No.1. Februari-Mei 2002. Hal. 58-59.
[62] Mendasarkan
pada pengertian arti kata yang terdapat dalam kamus tersebut,
Nassaruddin Umar menterjemahkan surat an-nissa ayat 3 tersebut menjadi:
”perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan menentang, berkomunikasilah
dengan mereka dengan baik-baik, kemudian tinggalkanlahdi tempat tidur
sendirian (tanpa menganiyanya), kemudian gaulilah mereka (jika mereka
bersedia). Jika mereka tidak lagi menentangmu, janganlah mencari-cari
alasan untuk menyalalahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Agung” Ibid . Hal. 59
[63] Sumanto Al-Qurtuby, KH. MA. Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, Penerbit Cermin, Yogyakarta, 1999. Hal. 133.
[64] John M. Echols Dan Hasan Shadily, Op Cit Hal 3-4.
[65] Terhadap bagaimana konstruksi sosial terhadap realitas tersebut terbangun lihat peter L. Berger And Thomas Luchmann, The Social Construction Of Reality: A Treatise In The Sociology Of Knowledge, Penguin University Book. 1981.
[66]Postmodernisme
sangat menggarisbawahi sekat-sekat yang ditimbulkan oleh
“incommensurability” pun sama sekali tidak menganjurkan "benturan
peradaban" yang diakibatkan adanya perbedaan. Sebaliknya yang dianjurkan
ialah "toleransi" dalam bentuk norma "non-cruelty" antar manusia dan
dengan demikian juga antar peradaban. Lebih jauh lihat Richard Rorty, Contingency: Irony and Solidarity, Cambridge: Cambridge University Press, 1989. Hal 189 – 198
[67] Untuk hal ini lihat pada BAB V tentang konflik antar sistem hukum
[68] Di samping melihat adanya potensi konflik dalam pluralisme budaya (multikulturalisme budaya), Supardi Suparlan juga dilihat didalam
multikulturalisme terdapat sebuah ideology yang bisa dijadikan wahana
untuk meningkatkan manusia dan kemanusiaannya melalui dialog antar
budaya. Lebih lanjut lihat Supardi Suparlan, Keynote Address Yang
Disajikan Dalam Sesi Pleno I Pada Simposum Internasional Jurnal
Antropologi Indonesia Ke-3: “Membangun Kembali Indonesia Yang Bhenika Tunggal Ika, Menuju Masyarakat Multikulturalisme”, Yang Diadakan Di Univesitas Udayana, Denpasar Bali, Tanggal 16-19 Juli 2002.
0 komentar:
Posting Komentar