Islam dalam sejarahnya acapkali melahirkan peperangan dan
pertumpahan darah. di mulai dari peristiwa Qabil dan habil, perebutan kekuasaan
pada masa sahabat, tabi’in dan mungkin hingga sekarang (tragedy bom bali,
semanggi, dan hotel ritz calton), label peperangan, pertumpahan darah,
kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan seakan-akan masih terpatri kuat. Semua ini
terjadi adalah akibat dari ulah oknum umat Islam yang seenaknya dan semena-mena
dalam memahami ajaran yang ada. Akibatnya adalah stigma buruk yang dimunculkan
masyarakat lain terhadap Islam. Dari sekian banyak kasus yang melahirkan stigma
buruk terhadap Islam, hal ini tidak hanya disebabkan kesalah fahaman dalam
memahami ajaran agama, setidaknya terdapat dua faktor yang mempengaruhi
munculnya gerakan Radikalisme Islam di Indonesia.
Pertama, faktor internal. Dalam konteks ini, munculnya
reaksi kalangan Muslim, yang pada prakteknya tidak jarang menampakkan wajah
Islam yang “bengis”, intoleran disebabkan adanya pressing politik dari
pemerintah. Biasanya persoalan agama kalau sudah ditunggangi oleh kepentingan
politik dan kekeuasaan, agama tidak lagi menjadi sakral dan profane,
agama acapkali dijadikan alasan kebenaran untuk melampiaskan hawa nafsu. Selain
itu Islam sebagai sebuah tatanan nilai universal sering tidak mendapatkan ruang
cukup untuk berekspresi dalam bidang politik. Bahkan dalam tataran tertentu
termarjinalkan. Kondisi ini melahirkan ironi, sebab Muslim merupakan mayoritas
di negeri ini. Kekesalan ini akhirnya membuncah dan mendapatkan momennya pada
era reformasi. Seperti disebut di atas, reaksi ini tidak jarang bersifat radik.
Kedua, faktor eksternal. Hal ini terkait dengan proses
globalisasi. Proses globalisasi meniscayakan adanya interaksi sosial-budaya
dalam skala yang luas. Dalam konteks ini, Islam sebagai tatanan nilai
dihadapkan dengan tatanan nilai-nilai modern, yang pada titik tertentu bukan
saja tidak selaras dengan nilai-nilai yang diusung Islam, tapi juga
berseberangan secara diametral. Akhirnya, proses interaksi global ini menjadi
sebuah kontestasi kekuatan, di mana satu sama lain saling memengaruhi bahkan
“meniadakan”.[1]
Kondisi ini telah menyebabkan sebagian Muslim memberikan
reaksi yang kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan nilai Islam, seraya
memberikan “perlawanan” yang sifatnya anarkhis. Sikap sebagian Muslim seperti
ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Kemunculan gerakan
Radikal ini kemudian menimbulkan wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran
Islam garis keras di Indonesia. Dari pemaparan singkat ini penulis mencoba
membahas sedikit lebih dalam mengenai radikalisme Islam di Indonesia yang mana
akhir-akhir ini (pasca reformasi) geliat gerakan radikalisem mulai marak dan
bertebaran di wilayah Indoensia. Yang menjadi inti dari pembahasan adalah
faktor apa yang mendorong mereka sangat bersemangat dalam “membela Tuhan”, yang
kalau ditelisk lebih dalam sebenarnya gerakan mereka belum tentu benar menurut
prespectif masyarakat Islam mayoritas. Dan juga hal apa yang ingin menjadi
tujuan dari gerakan mereka.
A. Sejarah
Berkembangnya Radikalisme di Indonesia
Istilah radikalisme berasal dari bahasa latin radix,
yang artinya akar, pangkal dan bagian bawah, atau bisa juga secara menyeluruh, habis-habisan
dan amat keras untuk menuntut perubahan. sedangkan secara terminologi
Radikalisme adalah aliran atau faham yang radikal terhadap tatanan politik;
paham atau aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara
secara keras[2]. Perkembangan
Islam di Indonesia pasca di sebarkan oleh para wali ke depannya mengalami
kemunduran dalam hal hidup berdampingan dengan penuh kebersamaan
ditengah-tengah perbedaan. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari awal masuknya
Islam di Indonesia (Nusantara). Dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia,
proses penyebaran agama tersebut terbilang cukup lancar serta tidak menimbulkan
konfrontasi dengan para pemeluk agama sebelumnya.
Setelah Islam makin kokoh menancapkan pengaruhnya di
Indonesia, Islam pun mulai meningkatkan perannya. Dari yang semula memerankan
diri sebagai basis pengembangan sistem kemasyarakatan, lambat-laun mulai
meningkatkan perannya ke areal politik melalui upaya untuk mendirikan kerajaan
Islam. Antara lain, kerajaan Pasai, Kerajaan Demak, Mataram, dan Pajang. Namun,
semua itu mengalami keruntuhan karena adanya berbagai faktor, baik yang
disebabkan oleh konflik internal di antara para anggota keluarga kerajaan,
maupun faktor eksternal seperti serbuan dari para koloni seperti Portugis dan Belanda.
Namun demikian, posisi Islam tetap tak terpengaruh oleh berbagai dinamika
sejarah tersebut, melainkan tetap kukuh dan makin menyatu dengan kehidupan
masyarakat. Singkat kata, Islam di Indonesia hampir selalu memperlihatkan
wajahnya yang ramah dan santun. Gejolak dan dinamika yang sifatnya radikal
nyaris tidak tampak.
Namun seiring perjalanan waktu, Dalam konteks ke Indonesiaan
dakwah dan perkembangan Islam mengalami kemunduran dan penuh dengan penodaan.
Gejala kekerasan melalui gerakan radikalisme mulai bermunculan. Terlebih
setelah Kehadiran orang-orang Arab muda dari Hadramaut Yaman ke Indonesia yang
membawa ideologi baru ke tanah air telah mengubah konstelasi umat Islam di
Indonesia. Ideologi baru yang lebih keras dan tidak mengenal toleransi itu banyak
dipengaruhi oleh mazhab pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi yang
saat ini menjadi ideologi resmi pemerintah Arab Saudi. Padahal sebelumnya
hampir semua para pendatang Arab yang datang ke Asia Tenggara adalah penganut
mazhab Syafi’i yang penuh dengan teloransi. Kelak, ideologi ini melahirkan
tokoh semisal Ustadz Abu Bakar Baasyir, Ja’far Umar Talib dan Habib Rizieq
Shihab yang dituduh sebagai penganut Islam garis keras.
Kemudian dalam catatan sejarah radikalisem Islam semakin
menggeliat pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, Sejak Kartosuwirjo
memimpin operasi 1950-an di bawah bendera Darul Islam (DI). sebuah gerakan
politik dengan mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam
sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan
ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan
radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau
melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang
merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan
berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan Islam.
Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa
kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok
radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan dan lebih vokal, ditambah
lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya
gerakan ini lebih visible.
Setelah DI, muncul Komando Jihad (Komji) pada 1976 kemudian
meledakkan tempat ibadah. Pada 1977, Front Pembebasan Muslim Indonesia
melakukan hal sama. Dan tindakan teror oleh Pola Perjuangan Revolusioner Islam,
1978. tidak lama kemudian, setelah pasca reformasi muncul lagi gerakan yang
beraroma radikal yang dipimpin oleh Azhari dan Nurdin M. Top dan
gerakan-gerakan radikal lainnya yang bertebar di beberapa wilayah Indonesia,
seperti Poso, Ambon dll. Semangat yang dimunculkan pun juga tidak luput dari
persoalan politik. Persoalan politik memang sering kali menimbulkan
gejala-gejala tindakan yang radikal.
Dalam konteks Internasional, realitas politik standar ganda
Amerika Serikat (AS) dan sekutunya merupakan pemicu berkembangnya Radikalisme
Islam. Perkembangan ini semakin menguat setelah terjadinya tragedi WTC pada 11
September 2001. mengenai tragedi ini AS dan sekutunya disamping telah menuduh
orang-orang Islam sebagai pelakunya juga telah mnyamakan berbagai gerakan Islam
militan dengan gerakan teroris. Selain itu, AS dan aliansinya bukan hanya
menghukum tertuduh pemboman WTC tanpa bukti, yakni jaringan Al Qaeda serta
rezim Taliban Afganistan yang menjadi pelindungnya, tetapi juga melakukan
operasi penumpasan terorisme yang melebar ke banyak geraka Islam lain di
beberapa Negara, termasuk Indonesia.
Realitas politik domestik maupun Internasional yang demikian
itu dirasa telah menyudutkan Islam, di mana hal ini telah mendorong kalangan
Islam Fundamentalis untuk bereaksi keras dengan menampilkan diri sebagai
gerakan radikal, yang diantaranya menampilkan simbol-simbol anti-AS dan
sekutunya. Kondisi ini telah menyebabkan sebagian Muslim memberikan reaksi yang
kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan nilai Islam, seraya memberikan
“perlawanan” yang sifatnya anarkhis. Sikap sebagian Muslim seperti ini kemudian
diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Kemunculan gerakan Radikal ini
kemudian menimbulkan wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran Islam
garis keras di Indonesia[3].
Pada dasarnya, Istilah Radikalisme sebenarnya bukan
merupakan konsep yang asing. Secara umum ada tiga kecenderungan yang
menjadi indikasi radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap
kondisi yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk
evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat
berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan,
melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain.
Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau
pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan
tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai
dengan arti kata ‘radic’, sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah
keadaan secara mendasar. Ketiga adalah kuatnya keyakinan kaum radikalis akan
kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama
dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan
sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering dikombinasikan
dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan nilai-nilai ideal seperti
‘kerakyatan’ atau kemanusiaan . Akan tetapi kuatnya keyakinan tersebut dapat
mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan kaum radikalis.
Radikalisme keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa muncul
dalam agama apa saja. Radikalisme sangat berkaitan erat dengan fundamentalisme,
yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama.
Fundamentalisme adalah semacam Ideologi yang menjadikan agama sebagai pegangan
hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya fundamentalisme akan diiringi
oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada agama tadi
dihalangi oleh situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat.[4]
Mohammed Arkoun (1999) melihat fundamentalisme Islam sebagai
dua tarikan berseberangan, yakni, masalah ideologisasi dan politis. Dan, Islam
selalu akan berada di tengahnya. Manusia tidak selalu paham sungguh akan
perkara itu. Bahwa fundamentalisme secara serampangan dipahami bagian substansi
ajaran Islam. Sementara fenomena politik dan ideologi terabaikan. Memahami
Islam merupakan aktivitas kesadaran yang meliputi konteks sejarah, sosial dan
politik. Demikian juga dengan memahami perkembangan fundamentalisme Islam.
Tarikan politik dan sosial telah menciptakan bangunan ideologis dalam pikiran
manusia. Nyata, Islam tidak pernah menawarkan kekerasan atau radikalisme.
Persoalan radikalisme selama ini hanyalah permaianan kekuasaan yang mengental
dalam fanatisme akut. Dalam sejarahnya, radikalisme lahir dari persilangan
sosial dan politik. Radikalisme Islam Indonesia merupakan realitas tarikan
berseberangan itu.
Dalam konstelasi politik Indonesia, masalah radikalisme
Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan
tetapi gerakan-gerakan ini terkadang berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola
yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa
keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan
berdirinya negara Islam Indonesia:, disamping yang memperjuangkan berdirinya
“kekhalifahan Islam’, pola organisasinya pun beragam, mulai dari gerakan moral
ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut tahrir Indonesia sampai
kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, FPI dan FPISurakarta.
Ketika kita melihat gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia,
kita akan banyak menemukan beberapa karakter yang sama baik cara, metode dan
model yang sering mereka lakukan. Baik itu gerakan yang baru ataupun yang lama.
Dapat dikatakan bahwa sebagian besar gerakan-gerakan yang diciptakan untuk
merespon aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan kehidupan sosial politik
yang bisa mendatangkan konsekuensi religiusitas tertentu. Hal ini bisa terjadi,
menurut Amin Rais (1984), karena Islam dari sejak kelahirannya bersifat
Revolusioner seperti bisa dilihat melalui sejarahnya.
Revolusi adalah suatu pemberontakan yang dilakukan oleh
orang-orang dari suatu daerah atau negara terhadap keadaan yang ada, untuk
menciptakan peraturan dan tatanan yang diinginkan. Dengan kata lain, revolusi
menyiratkan pemberontakan terhadap keadaan yang menguasai, bertujuan menegakkan
keadaan yang lain. Karena itu ada dua penyebab revolusi : (1) ketidak
puasan dan kemarahan terhadap keadaan yang ada, (2). Keinginan akan keadaan
yang didambakan. Mengenali revolusi artinya mengenali faktor-faktor penyebab
ketidakpuasan dan ideal cita-cita rakyat. Gerakan radikalisme yang muncul di
Indonesia sebagian besar adalah berangkat dari ketidak puasan dan adanya
keinginan untuk menjadikan atau menerapkan syariat Islam di Indonesia, bagi
mereka, terjadinya ketidak adilan, banyaknya korupsi, krisis yang berkepanjagan
dan ketidak harmonisan antara kaya dan miskin adalah akibat dari tidak
diterapkannya syariat Islam.
B. Faktor-Faktor
Penyebab dan Indikasi Radikalisme
Banyaknya gerakan-gerakan radikalisme keagamaan yang
akhir-akhir ini muncul ini karena adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab.
Antara lain :
1. Variabel
Norma dan Ajaran. Ajaran yang ada mempengaruhi tingkah laku dan tindakan
seorang muslim yang berasal dari Qur’an dan Hadis. (mungkin juga Ijma). Ajaran
ini diinterpretasikan dan diinternalisasi. Karan ajaran yang ada sangat umum,
hal ini memungkinkan munculnya beberapa interpretasi. Hal ini juga dimungkinkan
karena setiap anggota masyarakat muslim mengalami sosialisasi primer yang
berbeda, disamping pengalaman, pendidikan dan tingkatan ekonomi mereka juga
tidak sama. Dari hasil interpretasi ini memunuclkan apa yang diidealkan
berkaitan dengan kehidupan masyarakt Islam.
2. Variabel
sikap atau pemahaman mengenai tiga isu penerapan syariat Islam, bentuk negara
Islam Indonesia dan Khalifah Islamiyah. Sikap ini adalah kelanjutan dari
penafsiran terhadap ajaran agama Islam. Diasumsikan bahwa ada beberapa sikap
umum yang muncul setelah masyarakat menafsirkan ajaran Islam. Sikap ini
tersimbolkan dalam penerapan pemahaman Muslim terhadap ajaran agama mereka.
Dalam hal ini ada tiga golongan : sekuler atau nisbi, substansialis dan
skriptualis.
3. Variabel
sikap yang muncul ketika variabel kedua dihadapkan dengan kondisi sosial nyata
dalam masyarakat. Hal ini termasuk di dalamnya adalah faktor-faktor
domestik dan Internasional. Hegomoni politik oleh negara atau represi yang
dilakukan oleh kelompok apapun terhadap umat Islam akan melahirkan respon
yang berbeda dari berbagai kelompok yang ada. Kalnagan nisbi sama sekali tidak
merspon karena mereka benar-benar indifferent. Hanya kelompok
skriptualis yangdiasumsikan akan memperlihatkan sikap radikal. Kelompok
substansialis meskipun punya kepedulian terhadap Islam dan juga umatnya dalam
berbagai bidang, akan memperlihatkan sikap moderat. Misalnya mereka akan
kelihatan luwes baik mengenai negara Islam atau Khilafah Islamiyah maupun
mengenai (formalisasi) penerapan syriat Islam.[5]
Secara umum ada tiga kecenderungan yang menjadi indikasi
radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi
yang sedang berlangsung, biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk
evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat
berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak. Kedua, radikalisme tidak
berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan
tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam
radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum
radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari
tatanan yang ada. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata ‘radic’, sikap
radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar.
Ketiga adalah kuatnya keyakinan kaum
radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada
saat yang sama dibarengi dengan panafian kebenaran sistem lain yang akan
diganti dalam gerakan sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi
sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan
nilai-nilai ideal seperti ‘kerakyatan’ atau kemanusiaan . Akan tetapi kuatnya
keyakinan tersebut dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional di kalangan kaum
radikalis. Radikalisme Islam Indonesia lahir dari hasil persilangan Mesir dan
Pakistan. Nama-nama seperti Hassan al-Banna, Sayyid Qutb dan al-Maududi
terbukti sangat memengaruhi pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di Mesir dan
Pakistan. Pemikiran mereka membangun cara memahami Islam ala garis keras.
Setiap Islam disuarakan, nama mereka semakin melekat dalam ingatan. Bahkan,
sampai tahun 1970-1980-an ikut menyemangati perkembangan komunitas usroh di
banyak kampus atau organisasi Islam.. Istilah radikalisme Islam kian menguat
tak hanya pada matra tekstualitas agama. Persentuhan dengan dunia kini,
menuntut adanya perluasan gerakan. Mulai dari sosio ekonomi, pendidikan hingga
ranah politik.
0 komentar:
Posting Komentar