Kebijakan Pemerintah Indonesia Selama beberapa periode
Pada periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah
yang berat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih
mengutamakan kepentingan politik. Doktrin ekonomi terpimpin telah
menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai
proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan, jika pada
periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju
inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan investasi
merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI)
dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang
rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka
kepada pemerintah, serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit
langsung kepada lembaga-lembaga negara dan pengusaha.
Mulanya pada tahun 1959, pemerintah telah melakukan kebijakan
pengetatan moneter sebagai upaya mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan
pengetatan moneter 1959 tersebut antara lain dilaksanakan dengan
mengeluarkan ketentuan pagu kredit bagi tiap-tiap bank secara individual
pada tanggal 8 April 1959. Selain itu, pemerintah dengan Undang-Undang
(UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering uang pada tanggal 25
Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000
menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959
membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp
25.000 yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang. Penanganan
laju inflasi ini terus berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan
pembatasan kredit perbankan secara kuantitatif dan kualitatif.
Dalam paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai
tukar rupiah sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD.
Penurunan nilai rupiah tersebut, tidak berlaku dalam perhitungan laba
maupun pendapatan yang dikenakan pajak dan tidak diperhitungkan dengan
pajak apapun. Pada periode ini ditetapkan pula kebijakan mengenai
pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan harga valuta rupiah.
Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan pungutan ekspor
sebesar 20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan untuk
membayar pungutan impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada jenis
barang impor- kepada pemerintah.
Pada paruh pertama periode 1960-an, pengeluaran anggaran pemerintah
semakin besar, terutama dalam pembiayaan proyek pemerintah yang menambah
dampak inflatoir dari pelaksanaan keuangan negara. Untuk mengatasi
perkembangan ini, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan
uang rupiah baru yang nilainya diciutkan. Nilai Rp 1.000 -uang lama-
diturunkan menjadi Rp 1 -uang baru. Berikutnya, untuk mempertahankan
cadangan devisa yang terus menurun pada periode ini, pemerintah
melakukan pengawasan terhadap sumber devisa yaitu lalu lintas
perdagangan serta penerimaan dan pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa
serta pengawasan modal untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri.
Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih
cenderung berpihak kepada blok timur. Kedekatan Indonesia dengan Cina
dan Rusia menyebabkan renggangnya hubungan Indonesia dengan
negara-negara blok barat.
Kemudian, dengan alasan semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal
17 Agustus 1965, pemerintah memutuskan untuk menarik diri dari
keanggotaan IMF, Bank Dunia, dan PBB. Dengan penarikan diri tersebut,
rencana-rencana pengembalian utang atas Outstanding Drawing -sesuai
dengan jadwal yang telah disepakati diganti dengan persetujuan
Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD 61,9 juta menjadi
USD 63,5 juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan dilunasi
dalam 10 kali angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari
1966. Keadaan ekonomi yang semakin tak menentu pada periode ekonomi
terpimpin mendorong pemerintah untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan
Bank Indonesia dan Statistik Moneter. Larangan penerbitan tersebut
dilakukan demi menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank
Sentral untuk mengatur jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi
masalah-masalah makroekonomi seperti inflasi, pengangguran dan
menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan dengan cara
pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang beredar dapat membantu
menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil, sekaligus
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya
meningkat. Tiga sektor yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1)
ekspor-impor; (2) tabungan dan investasi; serta (3) penerimaan dan
pengeluaran negar Inflasi tidak akan terjadi bila ketiga sektor tersebut
seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor
pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor
pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada
penerimaannya, sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila
bankbank mengucurkan kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor
swasta tersebut untuk kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun
non investasi. Untuk mengatasi inflasi, bank sentral
mengeluarkan kebijakan moneter dengan membatasi pemberian kredit atau
mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga cara: kebijakan diskonto,
operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.
Kebijakan Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek
politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan
dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya
pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti
Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging
Forces (Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh
wilayah Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah
menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh
wilayah Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965.
Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru
dengan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1
(baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan
uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang logam pemerintah
yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak saat
itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama
beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua
instansi swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru
dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan administrasi
keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah
lama, tidak berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya.
Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang
beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang
yang berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu tentu saja,
akan menyebabkan situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan
tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka
menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden
(Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk
menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi
Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat kondisi perekonomian sedemikian
berkembang sehingga perekonomian barter (perekonomian yang mensyaratkan double coincidence of want)
dirasakan tidak memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting
dalam perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai
alat tukar, alat pengukur nilai, ukuran pembayaran di masa depan, dan
penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam pengertian
perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat mengajukan
permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang berhubungan erat
dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata lain, naik
turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan penawaran.
Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah
jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain
kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan
kepadanya. Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga.
Pada saat keinginan masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat,
hal tersebut akan cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga
barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus membelanjakan
setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan
menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi
aktivitas di lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan
aktivitas ekonomi semakin berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang
akan secara lambat laun akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang
yang secara terus-menerus turun akan menyebabkan inflasi. Salah satu
kebijakan yang digunakan untuk mengatasi inflasi dalam perekonomian
suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah
untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata
uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965
yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan
perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain
dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi
seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering yang dilakukan
oleh Pemerintah yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai nominal
serta membekukan simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka
panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang dibekukan tersebut
harus disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan mengalami
kesulitan likuiditas.
Di bidang politik, Pemerintah menerapkan GBHN baru yang dinamai
Manipol (Manifesto Politik) USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian
Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh unsur sumber
daya dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu perjuangan
untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan bersatu
padu membangun kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang
politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang secara
ekonomis tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan
proyek mercusuar. Di samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai
pengeluaran baru seperti biaya konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan
Irian Barat dari Belanda dan kenaikan gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi, pembangunan sektor riil masih juga belum
menunjukkan adanya perkembangan sehingga pasokan barang, terutama pangan
tetap mengalami kekurangan. Dampak dari berbagai kondisi tersebut
menimbulkan pembengkakan defisit APBN yang semakin kronis yang disertai
pula oleh defisit cadangan devisa. Sama seperti pada periode sebelumnya,
defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang Muka dari bank Indonesia
yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan uang. Oleh karena itu
uang beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi. Tahun
1965/1965 kenaikan inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan
inflasi tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Arah
kebijakan moneter ditujukan untuk menekan inflasi tersebut.
Kebijakan Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan
cenderung semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan
larangan impor berbagai jenis barang.
Terjadinya keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an
mengakibatkan kemorosotan penerimaan devisa terutama dari ekspor karet
yang menjadi komoditas utama pada waktu itu. Munculnya berbagai jenis
karet sintetis juga memberikan tekanan/ persaingan terhadap hasil ekspor
karet Indonesia. Di samping itu, naiknya impor beras juga sangat
membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai tekanan
tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan
devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya
peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen Verordening Tahun
1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang
dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana
devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak
dengan cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara
menetapkan penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk
mencegah pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap
lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.
Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan
yang dimaksudkan untuk meringankan beban APBN, memperbaiki posisi
neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi paket itu terdiri atas
devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan devisa serta
ketentuan-ketentuan perdagangan internasional.
Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari
Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu
meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan
Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga
mengakibatkan naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu itu merupakan bagian
paling besar dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya impor beras
sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut, mengakibatkan anjloknya
cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian diatasi antara lain
dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan kurs tambahan
bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap
penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan
nilai tukar sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob.
Sementara itu, kepada importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih
tinggi lagi sesuai golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I,
Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan
tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali, terakhir pada tanggal 11
Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi eksportir maupun
importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen) dari kurs
tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,-
tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan
penerapan multiple exchange rate system.
Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966
Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki
posisi neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah
adalah melalui pinjaman dana dari luar negeri. Seiring dengan adanya
perubahan politik luar negeri, utang luar negeri pemerintah sebagian
besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur, seperti dari RRC
dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk
membiayai pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga
dipergunakan untuk membiayai proyek yang tidak produktif, seperti untuk
konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964. Jumlah utang luar negeri
Pemerintah tersebut telah menambah berat beban Pemerintah bila diukur
dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi keuangan negara atau
tersedianya devisa yang berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah mendapat dua pinjaman luar negeri
yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9 juta untuk perluasan Pabrik Semen
Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat Lockheed Electra.
Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah menjanjikan pemberian
pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu pendirian pabrik
Urea di Palembang dan pembangunan proyek listrik Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi
pada tahun 1961 dan 1962 yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada
tahun 1963 telah diperoleh utang baru dari RRC.
Kebijakan fiscal dan kebijakan moneter
jika kita berbicara tentang perekonomian Indonesia, yang akan
terpikir di benak kita adalah tentang kondisi dan keadaan ekonomi di
Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat diukur dengan
menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk
Domestik Bruto (PDB). pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan
kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah.
pemerintah mempunyai berbagai kebijakan untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian Indonesia.
yang pertama adalah kebijakan fiskal. kebijakan fiskal merupakan
kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN).
kebijakan fiskal mempunyai berbagai bentuk. salah satu bentuk
kebijakan fiskal yang sedang marak adalah BLT. banyak orang melihat BLT
hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. sebenarnya di balik itu
ada tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat. dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, daya
beli masyarakat juga meningkat. dengan demikian permintaan dari
masyarakat juga meningkat. meningkatnya permintaan dari masyarakat akan
mendorong produksi yang pada akhirnya akan memperbaiki kondisi
perekonomian Indonesia.
contoh lain dari kebijakan fiskal adalah proyek-proyek yang diadakan
oleh pemerintah. katakanlah pemerintah mengadakan proyek membangun jalan
raya. dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain
untuk menyelesaikannya. dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai
tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ
bertambah. dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi efek yang
sama dengan BLT tadi.
kebijakan fiskal juga dapat berupa kostumisasi APBN oleh pemerintah.
misalnya dengan deficit financing. defcit financing adalah anggaran
dengan menetapkan pengeluaran > penerimaan. deficit financing dapat
dilakukan dengan berbagai cara. dahulu pemerintahan Bung Karno pernah
menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank
Indonesia. yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper
inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. untuk
menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat. sayangnya,
rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada
pemerintah. akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar
negeri.
tidak hanya Indonesia, tetapi Amerika Serikat juga pernah menerapkan
deficit financing dengan mengadakan suatu proyek. proyek tersebut adalah
normalisasi sungan Mississipi dengan nama Tenesse Valley Project.
proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi banjir. proyek ini adalah
contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. dengan adanya proyek
ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan
masyarakat juga naik. pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan
ekonomi agar menjadi bergairah.
mari kita mengingat sedikit kejadian pada akhir tahun 1997 saat
terjadi krisis moneter di Indonesia. pada saat itu nasabah
berduyun-duyun mengambil uang di bank (fenomena bank rush) karena takut
bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk mengembalikan tabungan
mereka. untuk mengatasi masalah ini bank-bank umum diberi pinjaman dari
Bank Indonesia yang disebut Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI).
pada saat itu memang seluruh tabungan dijamin oleh pemerintah, maka
dari itu pemerintah juga harus mengambil tindakan saat terjadi fenomena
tadi.
seharusnya saat suatu perusahaan (termasuk bank umum) kekurangan
modal pemilik harus menambah modalnya pada perusahaan tersebut. ini
berlaku pada umum dan pemerintah. jika pemerintah kekurangan dana,
pemerintah bisa menambah dana dengan menjual saham yang dimiliki
pemerintah. perlu diingat, ada beberapa perusahaan yang sahamnya
dimiliki pemerintah.
kebijakan yang kedua adalah kebijakan moneter. kebijakan moneter
adalah kebijakan dengan sasaran mempengaruhi jumlah uang yang beredar.
jumlah uang yang beredar dapat dipengaruhi oleh Bank Indonesia. selain
dengan langsung menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar,
mengatur jumlah uang yang beredar juga bisa menggunakan BI Rate. BI rate
adalah instrumen dari pemerintah untuk acuan seberapa besar bunga
simpanan jangka pendek, misalnya Surat Berharga Indonesia. biasanya
bank-bank umum akan menaikkan atau menurunkan suku bunganya seiring
dengan naik atau turunnya BI Rate. maka dari itu, saat BI Rate
diturunkan, suku bunga kredit juga turun, sehingga biaya investasi ikut
turun. dari sini, diharapkan investasi meningkat.
kebijakan moneter juga mengatur tentang giro wajib minimum, yaitu
jumlah simpanan bank umum di Bank Indonesia yang merupakan sebagian dari
titipan pihak ketiga. saat ini giro wajib minimum sebesar 8 % dari
titipan pihak ketiga.
kebijakan moneter juga berpengaruh dalam perdagangan internasional
dengan mengendalikan tarif ekspor impor. jika tarif impor naik, dorongan
untuk impor berkurang. jika tarif impor turun, dorongan untuk ipmpor
bertambah dan harga barang-barang impor menjadi lebih murah.
sedikit tambahan, sekitar 95 % kapas yang digunakan sebagai produksi
di Indonesia adalah hasil impor. dalam kasus ini industri katun sebagai
hasil olahan kapas dalam negeri akan turun jika tarif impor naik.
satu lagi kebijakan yang dimiliki pemerintah Indonesia adalah
kebijakan sektoral. kebijakan ini menitikberatkan pada satu dari
sembilan sektor perekonomian di Indonesia. misalnya, di sektor pertanian
pemerintah memberikan subsidi pupuk. subsidi ini diberikan agar harga
pupuk murah. dengan demikian pupuk akan terdorong untuk dipakai. contoh
lainnya adalah kebijakan di sektor industri. di sektor ini pemerintah
membuat kebijakan kawasan ekonomi khusus. kawasan ekonomi khusus adalah
kawasan yang khusus digunakan untuk pendirian industri. misalnya,
kawasan industri Cilacap. kawasan ini mempunyai hak khusus, misalnya di
Batam impor bahan mentah tidak terkena pajak, sehingga hal ini akan
mendorong produksi di sana.
0 komentar:
Posting Komentar