Untuk kesekian kalinya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta kepada
pemerintah agar membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila,
NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD '45. Permintaan ini sudah pernah
diutarakan sejak era pemerintahan sebelumnya. Tetapi, kenyataan
menunjukkan ormas radikal semacam FPI dan HTI masih bebas melenggang dan
memprovokasi massa hingga kini.
Diulanginya permintaan ini oleh PBNU
pada acara Kongres XVII Muslimat NU di Asrama Haji, Pondok Gede Jakarta
Timur, Kamis (24/11/2016), yang dihadiri juga oleh Presiden Jokowi,
mungkin cukup tepat. Situasi sosial politik nasional yang menghangat
akibat demo-demo dan perang kata di media itu tak lepas dari peran ormas
anti empat pilar itu. Pertanyaannya adalah, apakah pemerintah kali ini
akan memenuhi permintaan itu.
KH Said Aqil Siradj ketua PBNU yang
mengutarakan permintaan itu memang tidak menyebut satu demi satu ormas
yang dimaksud. Yang dipastikannya adalah ormas itu jelas bukan NU,
Muhammadyah, atau Wasliyah Sarekat Islam yang ada sejak sebelum
kemerdekaan. Pemerintah dinilai sudah tahu ormas yang menentang empat
pilar kebangsaan itu. (kompas.com, 24/11/2016)
Tetapi, kalau membaca
berita lama, ada dua ormas yang pernah diminta NU untuk dibubarkan yaitu
FPI dan HTI. Selama ini yang secara khusus disebut akibat aksinya yang
meresahkan masyarakat dan yang secara terbuka ingin mendirikan
kekhalifahan di Indonesia memang FPI dan Hizbut Thahir Indonesia (HTI).
Masyarakat luas sudah lama tahu dan merasakan sepak terjang mereka.
Muncul juga kesan FPI seolah dibiarkan melecehkan hukum secara terbuka.
Penyebutan kompeni kepada aparat kepolisian, seperti yang ditulis di
medsos saat Munarman dan Riziek dipanggil sebagi saksi kasus Ahmad Dhani
kemarin tapi tidak datang itu, hanyalah contoh kecil saja. Banyak
pelecehan lain, termasuk kepada dasar negara Pancasila juga proklamator
yang kini perkaranya dilimpahkan ke Polda Jabar itu.
Kasus-kasus yang
melibatkan FPI sudah cukup banyak. Wajar saja jika masyarakat sempat
menilai pastilah ada orang besar atau kelompok berpengaruh yang
melindungi FPI sehingga ormas ini aman-aman saja. Yang bisa menjawab
penilaian ini tentu saja aparat pemerintah sendiri, mengapa ada
pembiaran seperti itu. Demikian pula terhadap HTI yang secara terbuka
ingin mendirikan kekhalifahan di Indonesia dan menolak dasar negara
Pancasila.
Mendagri Tjahjo Kumolo Juni lalu sempat mengungkapkan ada
ormas besar yang anti-Pancasila yang segeta dibubarkan pemerintah.
Tjahjo tidak menyebut nama ormas itu, karena masih dirapatkan dengan
Polri dan Kejaksaan Agung. Untuk membubarkan sebuah ormas memang bukan
hanya urusan Kemendagri saja, harus ada pertimbangan secara hukum dari
Kejaksaan Agung, Polri, juga masukan dari BIN.
Tetapi, ternyata hingga
kini pernyataan pembubaran yang diutarakan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo
itu belum terwujud. Apakah ini menunjukkan tidak adanya satu pendapat di
antara Kemendagri, Polri, Kejaksaan Agung, dan BIN dalam persoalan ini,
tidak jelas benar. Hingga saat ini belum terdengar penjelasan lanjutan
terkait rencana pembubaran ormas anti-Pancasila itu.
Dan kini, dalam
demo-demo yang mengusung semboyan Bela Islam atas kasus dugaan penistaan
agama oleh cagub Basuki Tjahaja Purnama itu, terbukti ormas itu jadi
aktor utama. Tujuan merongrong pemerintahan Jokowi, tidak bisa
ditutup-tutupi lagi. Jadi, permintaan PBNU kepada pemerintah agar ormas
yang menentang empat pilar kebangsaan itu dibubarkan, sangat berdasar.
Ini persoalan prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penerimaan atas dasar negara Pancasila,UUD '45, NKRI, dan Bhineka
Tunggal Ika, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Harus diakui ada upaya
sistematis untuk membelokkan sejarah dengan menyebut bahwa Pancasila dan
UUD '45 saat ini tidak sesuai lagi dengan rumusan awal, yaitu Piagam
Jakarta. Bahkan ada upaya merendahkan martabat Soekarno sebagai pencetus
Pancasila.
Tindakan dan aksi yang nyata-nyata merusak kebhinekaan juga
bisa terlihat. Meski aksi kekerasaan yang memakai alasan penerapan hukum
syari itu relatif jauh berkurang tetapi pemaksaan kehendak dalam kasus
Basuki Tjahaja Purnama ini jelas menunjukkan tidak adanya penghargaan
atas kebhinekaan dan hukum yang berlaku.
Kini setelah nyata-nyata ada
pembangkangan dari FPI dan kelompoknya, seperti yang disuarakan Riziek
yang menyatakan akan tetap menggelar shalat Jumat di jalan protokol ibu
kota, pada aksi demo 212 nanti, apakah masih ada keraguan. Ini sudah
jelas menunjukkan FPI dan kelompoknya telah mengabaikan dan melecehkan
wibawa pemerintah.
Kegiatan demo 212 dengan model seperti itu, tentu
wajib dibubarkan karena mengganggu hak warga negara lain, berpotensi
mudharat lebih besar, dan patut diduga punya agenda khusus. Apakah jika
massa sudah menguasai jalan protokol ibu kota terlebih masuk area ring
satu, mengepung Istana, gedung DPR/MPR, bisa disebut keadaan yang biasa
dan mudah diatasi aparat keamanan.
Walaupun aparat sudah menyatakan siap
berjihad untuk melawan setiap tindakan pendemo yang inkonstitusional,
berupaya makar, saya khawatir justru tindakan keras itu yang mereka
harapkan sehingga mereka bisa menggelorakan seruan jihadnya. Jika ini
yang terjadi, ibaratnya para pendemo itu memang disiapkan sebagai martir
untuk melawan petugas dengan tujuan akhir kerusuhan yang
berkesenimbungan.
Inilah pentingnya mempertimbangkan permintaan PBNU
agar ormas yang menentang empat pilar kebangsaan yang bersikap dan
bertindak radikal semacam itu segera dibubarkan. Jika pemerintah masih
juga ragu, bisa dipastikan keberadaan mereka seperti duri dalam daging
NKRI, yang merongrong NKRI secara terus menerus.
Bola kini sepenuhnya
berada di tangan Presiden Jokowi untuk menolak atau menenuhi permintaan
PBNU itu. Tetapi, mengingat komitmen presiden pada peneguhan dan
penegakan empat pilar kebangsaan itu, yaitu dasar negara Pancasila, UUD
'45, NKRI, dan Bhineka Tungal Ika, rasanya presiden pastilah sepakat
dengan permintaan itu.
Ketegasan presiden dalam persoalan ini menjadi
penting. Masyarakat yang sebelumnya meragukan komitmen dan keberanian
pemerintah untuk membubarkan ormas semacam itu, bisa berubah sikap dan
memberikan dukungan penuh. Demikian pula organisasi semacam NU atau
Muhammdyah tentu akan memberikan dukungan penuh.
Ketegasan dan
keberanian pemerintah untuk membubarkan organisasi radikal yang
menentang empat pilar kebangsaan itu, juga akan menunjukkan bahwa
pemerintah satu kata dalam persoalan ini. Dengan begitu, kasak-kusuk
bahwa ormas semacam itu tetap bisa eksis selama ini karena adanya
perlindungan dari oknum pejabat pemerintah atau institusi negara, bisa
terbantahkan.
Kita tunggu saja, apakah ada kejutan dari pemerintah
terkait persoalan ini. Seyogyanya, kasus ini jangan lagi mengendap
seperti pernyatan Mendagri Tjahjo Kumolo Juni lalu, yang menyatakan ada
ormas anti-Pancasila segera dibubarkan, tetapi tak ada realisasinya
hingga kini.
Salam, damai.
0 komentar:
Posting Komentar