“Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa”
Tulisan ini adalah tugas Kontemplatif dari Kuliah Umum bersama Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
Sebuah Pengantar
Keringat zaman semakin mengerutkan jidat kehidupan duniawi. Hal
tersebut diiringi dengan kemunculan berbagai fenomena gejala-gejala
kemanusiaan (baca: budaya) kian menjadi perbincangan ontologis di
berbagai dimensi ilmiah secara normatif. Seakan daya perenungan sufistik
mendesak untuk dimunculkan pada permukaan dinamika filosofis yang
dialektif—kemudian menjadi rangkaian perdebatan “holistic”.
Seandainya saja tali perdebatan dapat dikompromikan, mungkin akan
melahirkan tatanan nilai yang harmonis sesuai koridor pembenarannya,
karena nilai selalu bersilaturahmi pada pembenaran subyektif. Hal ini
kemudian mengemuka pada beberapa fase zaman yang saling berseberangan.
Beberapa pendapat membenarkan bahwa gejala kemanusiaan akan menemui
wacana perebutan kekuasaan, coup d’etat, sampai ia menemukan
ajalnya.[1] Motinggo Busye berkisah bahwa perebutan kekuasan ini
menampilkan dua kekuatan primer manusia (si baik dan si buruk, penj).
Jika ditelaah secara mikro, perebutan kekuasaan sudah menjadi hak
primer manusia dalam menyejarah sebagai individu yang sadar akan nilai
kemanusiaannya. Blaise Pascal menyebut bahwa perebutan kekuasaan
tersebut sebagai kejadian dua infinita.[2] Di samping itu, Studi islam
menjelaskan adanya fitrah pada diri manusia sebagai keseluruhan susunan
sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia
dan cenderung pada kebenaran.[3] Disamping itu, manusia juga memiliki
kehendak untuk menentukan nilainya, terkadang kehendak tersebut sering
terpengaruh pada hal yang negatif—banyak yang menyebutnya dengan godaan
iblis yang terkutuk. Menyambung pemahaman studi tersebut, seorang
novelis inggris, Dan Brown mengisahkan nilai-nilai kemanusiaan lewat
novelettenya Angel & Devils. Ia mencerna dari perebutan kekuasaan
dalam kekuatan setan dan kekuatan malaikat dalam diri setiap manusia.
Secara epistemologis, gejala ini merupakan kondisi historis dari manusia
sebagai subjek dari nilai tersebut. Sesuatu kerangka epik dalam
kehidupan manusia saat diramu menjadi butiran-butiran yang menyatu
dengan ruh primordialnya. Berbagai kisah perebutan kekuasaan ini sering
ditampilkan oleh zamannya sendiri dalam bingkai eksekusi dari bentuk
perlawanan batin yang bergelora.
Konsep Dasar Nilai Kemanusiaan
Essay ini menyajikan perebutan kekuasaan pada kendali jiwa manusia
yang menjadi kekuatan besar dalam dekadensi kehidupan kontemporer.
Insiden tersebut banyak membuka mata dunia akan ganasnya perebutan
kekuasaan yang individualistik menjadi serangan massif terhadap nilai
kemanusiaan yang represif-dekonstruktif. Perjalanan peradaban yang
panjang pun seolah telah ditakdirkan untuk menemui sorotan kegelisahan
global saat manusia hanya bernilai sebagai makhluk di antara dunia benar
dan dunia salah. Hal ini tentu mengerikan bagi persaudaraan universal (universal brotherhood)
bahkan bagi kelangsungan hidup manusia. Fenomena dekadensi kemanusiaan
menjadi catatan peradaban penting untuk mengetahui sejauh mana manusia
dapat bertahan dalam perdamaian. Cita-cita perdamaian dunia tentu milik
semua manusia—dengan sifatnya multidimensional, baik kehidupan beragama,
berbangsa, bernegara—yang mendambakan kebahagiaan tanpa harus mengumpat
pada ke perebutan kekuasaan yang akan berdampak penilaian benar dan
salah. Dalam hukum kekuasaan Yunani Kuno berlaku bahwa yang benar harus
memaksakan kehendaknya pada yang salah. Fenomena ini yang terjadi di
dunia hingga kini.
Cara-cara refresif-dekonstruktif ini yang kemudian menjadi perdebatan
sengit dalam ruh tulisan ini. Pembatasan kajian akan mengarah pada
kekerasan yang mengatasnamakan norma-norma, etika, fatwa, dan segala
perangkat yang menyangkut nilai lainnya. Tentu ruang lingkup yang jelas
adalah demokrasi dalam bingkai agama. Hal ini dikarenakan banyaknya
kasus perbedaan secara umum yang menjadi jurang pemisah bagi kehidupan
berbangsa dan beragama yang berujung pada tindakan-tindakan
nonkonsolidatif. Wabah ini akhirnya akan menimbulkan banyak kekisruhan
yang mengancam keharmonisan dan sikap bertenggang rasa antar umat
beragama bahkan antar golongan dalam suatu agama tertentu. Hal ini akan
menimbulkan beban psikis yang memilukan bagi para kelompok minoritas.
Kesetimpangan ini menjadi kelucuan dekadentif ketika sebuah kebenaran
hanya mampu dipaksakan oleh kelompok mayoritas. Kualitas kebenarannya
pun sangat subyektif, apalagi jika dengan tindakan-tindakan di luar
prinsip kemanusiaan (baca:kekerasan). Tindakan tersebut berdampak tidak
hanya pada psikologis, juga fisik. Bagaimana tidak? Saat manusia menemui
dirinya terancam secara fisik, di samping itu pula psikologisnya
terancam. Itu merupakan kedua pilar gejala normal yang ada pada diri
manusia ketika mendapat ancaman. Fenomena dekadensi moral sebenarnya
saat terjadinya ancaman kedua pilar tersebut, bukan hanya pada satu sisi
psikis yang banyak didengungkan oleh kaum bagai manusia titisan surga
yang belakangan ini banyak menjadi sorotan media, karena prinsip hidup
itu berimbang.
Perdebatan Teologis dalam Kerangka Kehidupan Bernegara
Rekayasa untuk menjadikan bangsa majemuk ini menjadi bangsa yang
ekslusif telah berulang kali kita saksikan, baiki itu dari media-media,
buku, sejarah, dan bahkan menyaksikan langsung kejadian tersebut.
Tentu ini bagian dari PR kita bersama sebagai warga Negara yang berdiri
pada Negara yang demokratis dan pluralis. Tidak semestinya suatu
kelompok memaksakan pandangannya kepada kelompok lain agar sama
pandangannya dengan kelompok mereka. Hal demikian sangat mustahil.
Karena setiap orang punya cara pandang, masing-masing, memiliki daya
nalar, kepercayaan, dan keyakinan masing-masing. Mengapa mesti
disamakan. Kejadian ini ramai kembali di berbagai media saat Lady Gaga
akan menyelenggarakan konser di negeri tercinta. Berbagai kelompok yang
kebanyakan dari ormas-ormas Islam menolak dengan keras kehadirannya yang
dianggap sebagai representasi dari setan dengan symbol-simbol yang
dibawanya dalam setiap pementasan, juga ada beberapa lirik lagunya yang
menghina salah satu agama (sebut saja Kristen). Hal demikian memang
benar adanya. Bagi pemerhati perilaku manusia seperti beberapa ormas
tersebut memang ini menjadi momok yang mengerikan bagi perkembangan
psikologis para penggemar Lady Gaga. Secara normatif pandangan saya
cukup bersilaturahmi dengan ormas-ormas tersebut, karena memang bangsa
ini harus dijaga jiwa raganya, jangan sampai terpengaruh oleh hal-hal
yang negatif. Sesuai dengan lirik lagu Indonesia Raya yaitu
“Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Raganya untuk Indonesia Raya…” bagaimana
pembangunan jiwa bangsa ini akan terus berkembang, jika selalu dihambat
dengan era-era moderisasi yang terlalu banyak negatifnya. Maka segala
bentuk apa pun yang menghalangi pembangunan jiwa dan raga bangsa
Indonesia itu harus dicegah dan ditolak. Dengan begitu, bangsa ini telah
menunjukkan kewibawaannya sebagai bangsa yang bermartabat di mata
dunia. Bangsa ini memiliki kepekaan terhadap segala hal yang berbau
“pengrusakan”, baik itu moral maupun budaya bangsa. Bangsa ini memiliki
sensor terhadap tindakan-tindakan nonetis yang dapat menelanjangi
nilai-nilai yang dibangun dari berbagai peradaban nenek moyang. Sensor
itu berbunyi nyaring saat bangsa ini mengalami serangan, dan tak lain
sensor itu adalah Negara dan pemerintah yang berwenang untuk memutuskan
kebijakan sensor akhir dari berbagai sensor-sensor yang banyak dilakukan
oleh ormas-ormas yang menganggap kelompoknya yang berhak atas
memberikan sensor dari hadirnya serangan-serangan tersebut. Tentu ini
menyalahi aturan perundang-undangan ketatanegaraan, bahwa segala hal
yang menyangkut eksekusi dari segala bentuk penilaian rakyat dan
masukan, pertimbangan, dan nasihat yang berwenang adalah Negara, dalam
hal ini adalah kepala Negara—sekaligus kepala pemerintahan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia—bukan ormas-ormas yang selalu membawa panji
kelompoknya sebagai lambang penolakan terhadap sesuatu yang bertentangan
dengan budaya bangsa. Negara kita Negara hukum, maka seyogyanya
jadikanlah hukum sebagai panglima yang mengatur semua tindakan-tindakan
yang melanggar hukum yang tidak sesuai dengan adat dan budaya bangsa.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, menuliskan tentang
fase-fase amar ma’ruf nahi munkarbahwa ketikan ada penguasa,
rakyat hanya boleh dalam 2 hal, yaitu; memberitahukan dan memberi
nasihat. Sedangkan untuk tindakan di luar itu—seperti peneguran, bahkan
pemukulan—diserahkan pada negara.[4] Namun, ada sebagian kecil golongan
yang tidak menerima hal itu, mereka menggunakan buku karangan “bossnya”.
Jika pertentangan ini diniatkan terjadi, maka saya nyatakan bahwa
pemerintah tidak tegas dan lamban untuk bertindak yang lebih bijaksana.
Porsi pemerintah dalam kasus ini harus cepat tanggap, bukan hanya
berpidato, mengeluh atas kejadian yang telah terjadi. Mau sampai kapan
rakyat mendengarkan keluhan-keluhan pemerintah yang tidak bermutu?
Sedangkan banyak rakyat yang sudah menjadi korban. Jangan sampai nilai
kemanusiaan yang sudah jelas diatur dalam UU dan dalam norma-norma agama
diselewengkan bahkan dilecehkan oleh perdebatan2 apologis dari
golongan2 tertentu. Negara mesti berdiri di atas semua golongan. Jelas
tidak dibenarkan jika ada suatu kelompok yang menjadi ancaman bagi
orang, atau kelompok lain. Apalagi dengan menggunakan kekerasan, akibat
yang ditimbulkan tidak hanya dampak psikologis seperti yang
dikhawatirkan oleh ormas tertentu dari kehadiran Lady Gaga, namun juga
dampak psikis yang ditimbulkan merupakan dampak serius dalam
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ormas—untuk sementara
tidak dapat saya sebutkan terlebih dahulu—yang mengklaim bahwa
kelompoknnya berhak melakukan kekerasan mungkin tidak pernah menyadari
dan merasakan bagaimana rasannya ketika mendapati dirinya berlumuran
darah akibat pemukulan dan pengeroyokan seperti tragedi di hari
bersejarah, yaitu Hari Kelahiran Pancasila (2008). Ratusan orang
diserang dengan bermacam benda yang dihantamkan pada anggota tubuh
mereka oleh ormas—karena selalu merasa paling benar, maka saya
menyebutnya sebagai kelompok “manusia surga”—tersebut, bahkan mereka
menyerang dengan sangat tidak berperikemanusiaan dan tak pandang buluh,
wanita dan anak-anak menjadi korban aksi biadab tersebut. Selang sehari
dari kejadian itu, Presiden berpidato pada rakyat Indonesia dan mengeluh
mengapa peristiwa biadab itu mesti terjadi. Jika pemerintah terus
lamban menangani kasus tersebut, maka saya berpandangan bahwa pemerintah
telah gagal melindungi segenap warga negaranya, dan hal ini jelas
sekali bertentangan dengan UUD 1945. Jika pemerintah tidak bias menjamin
perlindungan bagi warganya, sama saja Negara ini tidak memiliki kepala
Negara bahkan mungkin tidak memiliki kepala pemerintahan, dalam hal ini
presiden. Bangsa ini akan mengalami degradasi jika kekerasan atas nama
agama dan perbedaan pandangan ini terus terjadi, bahkan akan terpecah
belah menjadi kepingan-kepingan kehinaan. Karena kekerasan itu akan
membawaq bencana bagi persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk dan
plural ini. Pakar Teologi Khatolik sekaligus Guru Besar Teologi Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara (STF-Driyarkara), Romo Franz Magnis
Suseno,SJ, mengatakan bahwa Indonesia hanya bisa bersatu kalau
kemajemukan itu diakui. Pada tahun 1945 para pendiri Republik ini,
khususnya tokoh-tokoh Islam memiliki kebesaran hati untuk menerima bahwa
Negara yang baru diproklamasikan kemerdekaannya ini dimiliki oleh
semua warganya (tidak hanya satu golongan saja,penj) tanpa
membedakan agama, suku, budaya, bahasa, dan antara mayoritas dan
minoritas.[5] Itulah hakikat Pancasila sebagai ruh bangsa Indonesia.[6]
Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai Perekat Nilai Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Bangsa ini terdiri atas lebih dari 17.000 pulau dan ratusan suku,
budaya, adat, dan bahasa yang berbeda, semua perbedaan tersebut mendapat
jaminan bersatu dalam falsafah bangsa, yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Bhineka Tunggal Ika sebagai kerangka dasar bangsa merupakan daya dan
energi bagi persatuan dan kesatuan bangsa yang pluralistik dengan
Pancasila sebagai pedoman yang mengantarkan bangsa ini berdaulat dan
bermartabat. Jika ada keyakinan ekslusif yang ingin memaksakan
pandanagnnya, maka mesti dihindarkan demi keutuhan dan perdamaian bangsa
sesuai dengan cita-cita bangsa. Dalam Pancasila, telah dipecahkan
masalah tentang apakah Indonesia berdasarkan Islam atau berdasarkan
nasionalisme. Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan empat
prinsip etika politik, dank arena itu mempunya ruang bagi semua.
Sebagai penutup, dalam kerangka kehidupan, manusia tampak sebagai
makhluk paradoksal dan senantiasa berbaur dengan nilai-nilai yang
terkadang mengikatnya, dan apakah nilai itu benar atau salah, manusia
hanya bisa berikhtiar dan mengejawantahkan nilai-nilai tersebut sesuai
dengan naluri ilahiahnya seperti dibahas di muka tulisan ini. Selama
manusia hidup di dunia ini, manusia tidak akan pernah mencapai
kesempurnaan yang didambakannya, ia mati dalam selalu keadaan “belum
selesai.”[7] Dalam perbutan kekuasaan tersebut hendaknya manusia dapat
memelihara status quosebagai pengejawantahan nilai-nilai
kemanusiaanya yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Manusia yang dapat
memelihara itu dapat dikatakan sebagai ujud manusia total atau insan
kamil[8]. Ketika semuanya berjalan harmonis akan menciptakan semuah
keserasian yang indah. Tentu setiap nilai mesti mengandung kebenaran,
dan Allah, Tuhan Yang Mahakuasa lah yang akan menilai suatu kebenaran
tersebut.
Catatan Kaki
[1] Motinggo Busye, Sanu Infinita Kembar, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), hal. IX
[2] Mackie, John Leslie. The Miracle of Theism: Arguments for and against the Existence of God. (Oxford: Oxford University Press, 1982).
[3] Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI.
[4] Dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali sebenarnya ada 4
fase untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, fase pertama ialah
mengenali sesuatu tersebut, dan yang terakhir adalah memukul (fii
dorobi) dalam bahasa arab juga berarti menimbang bahkan sampai mnghukum,
kemudian Imam Al-Ghazali menjelaskan siapa yang menjalankan itu?,
ketika ada penguasa, rakyat tidak boleh melakukan kecuali dua saja dari
fase-fase itu, yaitu memberitahukan dan member nasihat, tentang mahakam
itu hak penguasa untuk menjalankannya. Bahkan dalam kitab lain, dari
Syeikh Abdul Qodir Zailany menuliskan pula dalam kitabnya, bahwa amar
ma’ruf nahi munkar pun dapat diharamkan jika menimbulkan kekerasan.
[5] Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dengan
berbeda-beda bahasa, agama, warna kulit, budaya, suku, adat, karena
semua itu dianugerakhan agar manusia dapat saling mengenal dan saling
bersilaturahmi, menghargai satu sama lain, menghormati perbedaan
tersebut.
[6] Franz Magnis-Suseno, SJ, Pluralisme dan Reaktualisasi Pancasila,
(dalam kumpulan tulisan Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa
karya Jimmy Oentoro, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal.26.
[7] Louis Leahy, Essay Filsafat untuk Masa Kini; Telaah masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal.3.
[8] Dalam NDP HMI, yang dimaksud dengan
insane kamil atau manusia total adalah manusia yang setiap kegiatan
mental dan psikisnya merupakan suatu keseluruhan (tidak sebagian saja
atau dalam setiap perebutan kekuasaan antara dua kekuatan ruh manusia
menghilangkan atau mengalahkan satu-samalain, karena Islam mengajarkan
keseimbangan dalam hidup, penj)
Oleh : Johan Aristya Lesmana
0 komentar:
Posting Komentar