Harus saya akui jumlah anggota islam
radikal semakin banyak. Hal tersebut ditunjukan dari ‘Aksi Bela Islam’
yang berjilid dengan menggunakan angka-angka cantik pada Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Hal itu
menjadi tamparan keras bagi penggerak Islam nusantara. Nampaknya
keyakinan terhadap Islam nusantara yang damai tergerus dengan perjuangan
Islam yang transnasional.
Uniknya, kelompok Islam radikal menjual
sejumlah nama ustad import sebagai pesaing para Kiai dan Ustad asal
Indonesia. Salah satu kasusnya, adanya kedatangan Ustad Zakir Naik yang
datang ke Indonesia. Padahal secara keilmuan, lebih mumpuni Ustad
Nadirsyah Hosen.
Adanya gerakan radikal ini, membuat
barisan Nahdatul Ulama (NU) geram. Apalagi di sejumlah daerah sempat
terdengar Banser NU membubarkan pengajian kelompok radikal. Bahkan, saat
ini sejumlah Gerakan Pemuda (GP) Ansor melakukan gerakan demo kepada
pemerintah daerah untuk menghalau dan pembubaran gerakan radikal.
Keadaan tersebut seperti dua mata pisau
yang berbeda. Di sisi lain, Islam radikal ini merusak tatanan kedamaian
keagamaan yang ada di Indonesia. Namun, di sisi lain ketika dilakukan
pembubaran oleh kalangan NU yang sebagai pendukung dari pemerintah telah
mencederai demokrasi Indonesia.
Hak untuk berkelompok sudah tertuang dalam
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pada pasal 28 telah dilanggar. Lebih
jauh berbicara pembubaran organisasi masyarakat (ormas), harus dilakukan
kepada ormas yang berbadan hukum.
Siapa yang memiliki hak dan legalitas
badan hukum? Tentu saja hal ini ada ditangan Kementerian Hukum dan HAM.
Sedangkan syarat untuk mendapatkan badan hukum terdaftar di Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri).
Lalu, siapa saja ormas Islam radikal?
Sebut saja, Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbu Tahrir Indonesia (HTI)
adalah ormas yang sangat dengan radikalisme. Apakah ormas tersebut
berbadan hukum?
Jawabannya, tidak!
FPI dan HTI tidak terdaftar di
Kemenkumham, sementara di Kemendagri hanya FPI yang terdaftar. Jelas,
dalam hal ini HTI adalah ormas yang ilegal di Indonesia. Dia bukan lagi
dianggap ormas. Harusnya, anggap saja HTI sebagai komunitas islam
lainnya. Sama seperti komunitas hijab yang di beberapa daerah.
Jika mereka harus dibubarkan, hal yang
sangat dilematis memang. Lalu, kenapa dua ormas tersebut bisa semakin
besar di Indonesia? Tentu saja, dua ormas ini mendapatkan pendanaan yang
sangat masif dari berbegai kelompok.
Saya pernah melihat, beberapa majalah HTI
di Dinas Pendidikan Jawa Barat. Di dalamnya, ternyata ada iklan dari
dinas tersebut. Oke, dalam hal ini ada beberapa pemerintah yang memang
sengaja menjadi orang yang tetap menghidupkan mereka.
Lalu, kapan kedua ormas tersebut didirikan?
Khususnya FPI bukan lagi organisasi yang
baru di Indonesia. Tercatat, pada 17 Agustus 1998 FPI yang dipimpin oleh
Rizieq Shihab berdiri dengan status pembentukan organ paramiliter
Pengamatan (Pam) Swakarsa. Tidak aneh jika ormas tersebut memiliki
hubungan dengan militer. Bahkan, FPI dinilai memiliki kedekatan dengan
orang-orang Soeharto, terurama Prabowo. Dan saat ini, keduanya kembali
dekat seakan bernostalgia pada masa-masa tersebut. Walaupun pada 1998,
FPI sempat merapat kepada kepada Wiranto.
Kedekatan masa lalu yang sempat dengan
Wiranto tersebut dianggap sebagai celah menjatuhkan Basuki Tjahja
Purnama dalam kasus penistaan agama. Akan tetapi, kenangan masa lalu
hanya angin lalu. Wiranto masih patuh pada aturan hukum yang Indonesia
buat.
Kembali ke topik pembahasan terkait
pembentukan ormas radikal. HTI ini bermula didirikan pada 1953 di
Palestina. Lalu, masuk di Indonesia pada 1980-an ke lembaga kampus di
Indonesia. Hal ini juga ditandai dengan berhijabnya sejumlah perempuan
yang bukan dari kalangan pesantren. Kenapa HTI aman pada saat itu?
Mudah saja jawabannya. HTI tidak
mengganggu kepemimpinan Soeharto saat itu. Jawabannya, sangat sederhana.
Saya sempat berdiskusi dengan teman, bagaimana jika pemerintah
Indonesia melakukan pembubaran HTI kembali ke zaman Soeharto. Di mana
orang-orang yang menentang dibunuh dan dimusnahkan dengan mudah.
Memang saya akui hal tersebut menjadi opsi
yang sangat baik. Akan tetapi, hal tersebut sama saja membuka sejumlah
luka lama yang saat ini sudah mulai mengering. Bagi ini, posisi
pemerintah cukup dilematis.
Saya sempat membaca sebuah tulisan dari
Nadirsyah Hosen. Di mana kita harus mengajak dan membuka ruang-ruang
diskusi dengan sejumlah ormas radikal dengan perlahan. Kita harus jadi
orang yang sangat yang sangat bersahaja untuk berhadapan dengan para
kelompok Islam radikal tersebut.
Harus saya akui, proses tersebut ditempuh
cukup lama. Namun, saya percaya dengan pepatah sunda yang berbunyi,
”Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok”. Artinya, usaha yang
dilakukan secara perlahan pasti akan membuahkan hasil.
Saya sempat menemui seorang mantan FPI di
Bandung yang kini menjadi penggiat lintas Iman. Di mana dia mengakui
perbuatan radikalnya memang bersalah. Proses penyadaran ini harus
dilakukan dengan hati yang ikhlas dengan membawa pesan damai. Sama
halnya ketika Nabi Muhammad yang sering berbuat baik pada nenek buta
yang membencinya.
Siapa saja yang mengemban tugas tersebut?
Semua orang yang masih menganut Islam Nusantara. Terutama pada para anak
muda, para mahasiswa. Khusu untuk kaum muda NU dikalangan mahasiswa,
jangan sampai terlena dengan perebutan ruang-ruang politik kampus. Lalu,
meninggalkan khitoh sebagai penjaga dan pelestari dari Islam nusantara.
Lebih jauh, terutama pada tetua negeri ini
yang hadir dan dibesarkan oleh ormas besar Islam. Sebaikan, bisa
menjadi penenang masyarakat. Tidak lagi hadir sebagai politiki kacangan
yang membawa agama di dalamnya. Jangan sampai menjadi kompor meleduk di
tengah umat yang terlihat galau. Di ombang-ambing oleh Islam
transnasional dan Islam nusantara.
0 komentar:
Posting Komentar