JAKARTA, ARRAHMAHNEWS.COM
– Tumbuh dan berkembangnya kelompok radikal, khususnya yang dipengaruhi
oleh kelompok radikal Islam trans-nasional, di Indonesia saat ini bukan
fenomena yang muncul seketika tetapi merupakan suatu proses evolusi
sejalan dengan dialektika antara perkembangan dinamis dari lingkungan
strategis, baik pada tataran global, regional dan nasional dengan para
aktor (baik manusia maupun organisasi kelembagaan), termasuk negara,
Pemerintah, dan kelompok-kelompok kepentingan.
Sebagaimana kita ketahui bersama,
kelompok radikal yang memiliki tujuan politik menggantikan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Konstitusi bisa dirunut
mulai dari munculnya gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) pada tahun 1950 an, di bawah pimpinan Kartosuwiryo yang
kemudian terbukti gagal dan dapat ditumpas oleh TNI. Para pengikut
DI/TII dan simpatisannya berupaya melanjutkan usaha mereka mendirikan
Negara Islam Indonesia (NII) secara klandestin pada masa Orde Baru,
namun mereka tak mampu melakukan pergerakan yang cukup signifikan karena
kuatnya tekanan dari rezim tersebut, baik melalui operasi intelijen
maupun militer. Berbagai upaya melakukan aksi teror oleh para pendukung
DI/TII dengan mudah ditumpas oleh ABRI, seperti misalnya Peristiwa
Cicendo, Bandung (1981), pembajakan Pesawat Garuda DC-9, Woyla, di
Bangkok (1981).
Perubahan fundamental terjadi ketika
reformasi bergulir pada akhir 1998, yakni adanya situasi dan kondisi
transisional setelah jatuhnya rezim Orba, yang bisa dimanfaatkan oleh
para tokoh dan pendukung NII. Para tokoh pelarian NII seperti Abdullah
Sungkar (AS), Abu Jibril dan Abubakar Baasyir (ABB), yang sebelumnya
buron ke negeri jiran, mendapat kesempatan kembali ke tanah air dan
melakukan konsolidasi dan mobilisasi kekuatan melalui perekrutan,
pengorganisasian, kaderisasi, pendidikan ideologi, dan pelatihan.
Kondisi Pemerintah pasca-reformasi yang
masih lemah, terutama karena konflik politik di tingkat elite pada masa
Pemerintahan Presiden ke 4, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ditambah
dengan kondisi ekonomi yang belum pulih akibat krisis moneter yang
serius, menjadikan proses kembali (come back) mereka berlangsung sangat
cepat. Aksi teror pasca-reformasi terjadi pada malam Natal 2000 di
berbagai Gereja di Indonesia.
Organisasi Jamaah Islamiah (JI) dianggap
bertanggungjawab dalam aksi teror ini. [1] Sejak munculnya aksi teror
pada 2000 tersebut, hemat saya, gerakan radikal Islam di Indonesia tidak
lagi merupakan sebuah gerakan yang hanya berkarakter domestik, tetapi
telah mulai terkait dengan gerakan Islam radikal transnasional. Hal ini
bukan saja karena para pelaku aksi teror memiliki pengalaman di luar
negeri seperti Afghanistan, Pakistan, dan Filipina Selatan, tetapi juga
jejaring kelompok radikal Islam ini telah semakin luas dan ideologi yang
digunakan sebagai landasan juga terpengaruh dan bahkan merupakan bagian
dari ideologi transnasional, yang bercirikan Jihadi dan Takfiri.
Aksi-aksi terorisme yang dilakukan di
Indonesia terutama mulai dengan Bom Bali 1 pada 2002 sampai sekarang,
tidak hanya merupakan ekspressi perjuangan mendirikan NII, tetapi juga
bagian dari upaya membangun suatu imperium Islam transnasional, Pax
Islamica. Implikasi dari perubahan dari gerakan radikal Islam domestik
menjadi bagian dari gerakan radikal Islam transnasional ini sangat
penting untuk dicermati.
Pada tataran ideologis dan politis, jelas
perubahan ini membawa implikasi bahwa aksi terorisme yang terjadi dalam
satu setengah dasawarsa di negeri ini tidak bisa hanya dilihat sebagai
kelanjutan dari gerakan separatism DI/TII dan NII sebagaimana pada
dekade limapuluhan. Sebab ideologi transnasional Islam radikal tidak
lagi mengenal batas-batas geografis dan nasion (kebangsaan) lagi.
Ideologi jihadi (berperang) dan takfiri
(mengkafirkan) yang digunakan juga memiliki perbedaan dengan ideologi
Islam politik ala DI/TII. Bagi penganut ideologi takfiri, maka kendati
sesama Muslim pun apabila tidak mengikuti kelompok tersebut, dianggap
telah keluar dari Islam. Ajaran ideologi jihadi dan takfiri ini,
misalnya, sangat kentara dalam buku-buku ABB yang disebarluaskan di
kalangan kelompok tersebut dan juga dapat diakses oleh publik, seperti
Tadzkirah (Nasehat/ Peringatan).[2]
Demikian pula jika dilihat dari segi
jangkauan gerakan Islam radikal transnasional seperti Al-Qaeda dan ISIS
(Islamic State in Iraq and Shams, Negara Islam di Irak dan Syam), mereka
tidak hanya memperjuangkan cita-cita suatu nasion sebagaimana
pengertian negara-bangsa (nation state). Perubahan nama dari ISIS
menjadi “Islamic State” (IS) atau “Negara Islam” yg dilakukan oleh Abu
Bakar al Baghdadi, menunjukkan perubahan dari tujuan perjuangan yang
terbatas pada geografi dua negara menuju sebuah imperium atau
Kekhalifahan Islam.
Gagasan Kekhalifahan Islam jelas memiliki
klaim territorial yang lebih luas ketimbang hanya Negara Islam
Indonesia ala DI/TII atau NII. Namun demikian bukan hal yang tidak
mungkin jika kelompok-kelompok NII dan tokoh-tokoh mereka melakukan
transformasi ideologi dan menjadi bagian dari gerakan Kekahlifahan atau
Imperium Islam tersebut.
Pada aspek strategi dan taktik, pengaruh
jangkauan global dari gerakan radikal Islam transnasional memiliki
perbedaan besar dengan kelompok seperti NII, terutama dalam pemanfaatan
teknologi, khususnya teknologi informasi untuk keperluan rekruitmen dan
kampanye atau propaganda serta komunikasi antara jejaring mereka.
Gerakan-gerakan transnasional, terutama
yang menjadi bagian dari ISIS memiliki kemampuan sangat canggih dalam
memanfaatkan teknologi siber (cyber technology). Pertumbuhan pengikut
ISIS ditengarai sangat cepat di negara-negara maju seperti AS dan UE
karena penggunaan dunia maya sebagai alat rekrutmen. Di Indonesia
sendiri faktanya adalah berkembangnya media sosial yang bernarasi
ideologi radikal, sementara itu, narasi kontra radikalisasi di dunia
maya tidak sebanding dan kurang intensif dilakukan, sehingga yang
terjadi saat ini adalah ketimpangan yang cukup besar antara yang
pro-radikal dan kontra-radikal.[3]
Artinya saat ini pengaruh perkembangan
globalisasi, terutama pada aspek teknologi informasi, benar-benar
membuat ideologi radikal begitu mudahnya masuk ke masyarakat Indonesia.
Perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi jelas
memiliki dampak besar terhadap hubungan antarmanusia. Komunikasi global
telah menciptakan suatu kondisi yang oleh Marshall McLuhan dikatakan
desa global (global village), yang membuat batas-batas riil maupun
artifisial antarnegara menjadi kabur (blurred).[4]
Dalam istilah Kenichi Ohmae (1990), saat
ini telah tercipta sebuah dunia tanpa batas (the borderless world), yang
dampak-dampaknya belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat
manusia.[5] Dengan beberapa implikasi tersebut, maka perlu
dipertimbangkan berbagai hal ini. Pertama dampak strategis dalam jangka
panjang dari akselerasi gerakan Islam radikal transnasional di dalam
batang tubuh bangsa dan negara Indonesia. Dalam hal ini kita harus
mewaspadai akselerasi pengaruh ISIS melalui jejaring tokoh-tokohnya
seperti ABB, Aman Abdurrahman (AA), alm. Santoso atau Abu Wardah (AW) di
Poso, dan sebagainya.
Telah diketahui bahwa melalui jejaring
tersebut, sejak tahun 2014, pengaruh ISIS sudah masuk dan berkembang di
Indonesia dengan bukti jumlah pendukung ISIS, baik dalam bentuk orang
per-orang maupun organisasi, yg cenderung bertambah pula. Pada 2015, ada
15 organisasi yang secara terang-terangan mendukung kelompok ISIS.[6]
Jika tidak dibendung secara sistematis,
maka bukan tidak mungkin keberadaan kelompok ini akan semakin kuat
melalui akselerasi kampanye, rekrutmen, dan penetrasi ideologis pada
generasi muda Indonesia yang berusia 15-22 juga membesar. Pengalaman di
negara-negara seperti AS, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara
menunjukkan bahwa generasi muda merupakan komponen terbesara relawan
yang digunakan oleh ISIS dalam melancarkan aksi-aksi kekerasan di
berbagai belahan dunia. Kedua, perlu diperhatikan pula pengaruh gerakan
Islam radikal transnasional pada lingkungan strategis regional.
Semakin jelas bahwa terjadi kerjasama
antara jejaring teorisme internasional dengan kelompok separatis di
sebuah negara yang dapat mengancam keamanan regional, selain keamanan
nasional. Kasus penculikan lalu atas ABK Kapal yang dilakukan oleh MILF
(Moro Islamic Liberation Army) beberapa waktu lalu, tidak tertutup
kemungkinan memiliki keterkaitan kerjasama dengan gerakan radikal Islam
transnasional di Indonesia.
Selain itu modus penculikan itu bisa
ditiru oleh kelompok separatis di Indonesia yang mungkin mengatasnamakan
suatu kelompok agama tertentu. Perubahan ini yang harus dicermati tidak
hanya oleh aparat saja, namun juga oleh masyarakat sipil, baik itu di
wilayah perkotaan atau khususnya di perbatasan, mengingat sangat
banyaknya titik – titik perbatasan NKRI dengan negara lain.[7]
Artinya pada ancaman radikal, perubahan
tidak hanya terjadi pada pola/modus/ dan taktik saja, namun demikian
juga pada aktor-aktornya. Ketiga, implikasi terhadap kebijakan nasional
terkait dengan penanggulangan terhadap radikalisme dan aksi terorisme
khususnya terkait denganpendekatan deradikalisasi. Penggunaan pendekatan
yang bertumpu pada apsek-aspek ipoleksosbudhankam (ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan hankam) masih sangat relevan terhadap
radikalisme yang bersifat transnasional, dengan memperhatikan dinamika
lingkungan strategis yang selalu berubah.
Faktor pengalaman (sejarah) lokal dapat
digunakan sebagai aspek penting bagi Indonesia dalam rangka menghadapi
segala bentuk gerakan radikal beserta kelompok dan simpatisannya.
Pendekatan konvensional yang bersifat top down dimana peran negara
sangat dominan, dengan menggunakan pendekatan hard power, harus
dibarengi dan disinergikan dengan pendekatan soft power. (Bersambung ke
bagian II)
Catatan:
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Bom_malam_Natal_2000, diakses pada 3 Agustus 2016 .
[2] Buku ini terdiri atas dua jilid dan menjadi rujukan para pengikut kelompok radikal Islam di negeri ini. Lihat https://www.arrahmah.com/read/2013/01/07/25958-tadzkiroh-ustadz-baasyir-kepada-penguasa-peringatan-pencerahan-dan-perlawanan.html, diakses pada 3 Agustus 2016.
[3] Harian Kompas (edisi cetak).“Radikalisme Masih Tumbuh Subur di Dunia Maya,” 2 Mei 2016.
[4] Marshall
McLuhan. The Global Village: Transformations in World Life and Media in
the 21st Century. New York: Oxford University Press, 1989.
[5] Kenichi Ohmae. The Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked World. New York: Harper Business, 1990.
[6]
Kelimabelas organisasi tersebut adalah Majelis Mujahidin Indonesia
Timur, Mujahidin Indonesia Barat, Ring Banten, Jamaah Ansharut Tauhid,
Jamaat al-Tawhid wal-Jihad, Pendukung dan Pembela Daulah Islam, Jemaah
Ansauri Daulah, Ma’had Ansyarullah, Laskar Dinulla, Gerakan Tauhid
Lamongan, Halawi Makmun Grup, Ansharul Khilafah Jawa Timur, IS Aceh,
Ikhwan Muahid Indonesi fil Jazirah al-Muluk, dan Khilafatul Muslimin.
[7]
Disampaikan oleh Kepala BIN Sutiyoso kepada beberapa media merespon
terhadap penculikan ABK Indonesia oleh MILF (Filipina). Kepala BIN dalam
suatu kesempatan juga menyatakan bahwa kelompok separatismen bisa
berubah menjadi kelompok terorisme. Lihat http://nasional.kompas.com/read/2015/06/30/12483331/Sutiyoso.Soroti.Gerakan.Terorisme.dan.Separatisme.Lewat.Dunia.Maya, diakses pada 3 Agustus 2016.
Sumber; FB Muhammad A S Hikam.
0 komentar:
Posting Komentar