Wajah negeri ini sering dirundung malu dengan ulah para Wakil Rakyat,
Pemuka Agama, para Aktivis Demonstrasi, dan para Cendekiawan yang
sering berdebat di layar televise maupun di ruang terbuka. Mereka
menyampaikan aspirasi, dakwah, dan bersidang sering menunjukkan sikap
yang tidak santun, misalnya ketika Sidang Paripurna DPR-RI, para anggota
Dewan mengemukakan pendapat dengan menyerang pendapat anggota
lainnya—mungkin berbeda fraksi yang bukan anggota koalisi—dengan
kalimat-kalimat yang tidak elegan. Para Pemuka Agama yang mengkritik
pemuka agama lain dengan bahasa yang mengundang emosi saat berdakwah.
Juga para Aktivis Demonstrasi yang menyampaikan orasi dengan nada yang
keras dan sering mengeluarkan bahasa-bahasa “rendahan” bahkan mengabsen
anggota kebun binatang. Para cendikiawan yang mengkritik ilmuwan, dan
lain sebagainya. Feniomena tersebut sering sekali kita jumpai di
tempat-tempat umum. Hal demikian yang kemudian mengundang reaksi
negative dari para kelompok-kelompok yang belum bias menerima pendapat
tersebut. Bahkan tidak jarang pula kita menyaksikan di layar televise
keributan sering terjadi karena perbedaan pendapat.
Pendapat dan Kritikan sebagai Referensi Keilmuan
Perbedaan pendapat adalah suatu hal yang wajar terjadi saat interaksi
terjadi, karena manusia memiliki corak pandangannya masing-masing. Maka
perbedaan tersebut mesti dijadikan sebagai kekayaan pemikiran dan
pandangan manusia dalam menyikapi suatu hal. Tidak selamanya perbedaan
pendapat harus diselesaikan di panggung emosional. Adakalanya kita
selesaikan itu di suasana damai penuh penghargaan dan penghormatan bagi
masing-masing pendapat. Manusia perlu menyadari bahwa perbedaan pendapat
itu adalah hal yang wajar terjadi, karena pendapat manusia bersifat
relative kebenarannya, maka mesti dianggap sebagai suatu kekayaan
referensi keilmuan. Hanya pendapat Tuhan yang mutlak kebenarannya, dan
itu pun selalu menjadi perdebatan jika dihadapkan pada manusia. Karena
manusia adalah makhluk berakal yang dapat menggunakan pikirannya untuk
mengarungi khazanah keilmuan, dan seringkali berbenturan dengan kualitas
keilmuan manusia lain.
Setiap mengemukakan pendapat dan mengkritik tentu mesti ada adab yang
harus dipatuhi agar sikap yang dikekukakan dapat diterima dengan ramah
oleh orang lain. Karena bahasa dalam berbicara mesti memiliki kekuatan
yang mendamaikan dan menenangkan, tidak malah menyulut emosi orang lain,
bahkan hingga terjadi hal yang jauh dari harapan. Berpendapat sejatinya
merupakan kegiatan manusia untuk mengungkapkan suatu sikap atas wacana
atau topik tertentu. Maka dalam kegiatan berpendapat mesti ada hal-hal
yang perlu diperhatikan, diantaranya; 1. Lihat terlebih dahulu lawan
bicara kita untuk menentukan pendapat yang sesuai dengan lawan bicara
kita—biasanya latar belakang lawan bicara sangat menentukan. 2. Pahami
topik pembicaraan yang dibahas, hal ini untuk kesesuaian pendapat yang
kita kemukakan. 3. Gunakan bahasa yang santun, lugas dan berterima, ini
menjadi factor penting untuk mengungkapkan pendapat. Pendapat seseorang
dapat dianggap pemicu perdamaian dan pertentangan bergantung pada
kesantunan atau adaba seseorang tersebut dalam berpendapat. Maka
upayakan keluar dari bahasa-bahasa yang menyulut emosi orang lain,
membanggakan diri sendiri, menghina orang lain, dan sebagainya. Begitu
juiga halnya dengan mengkritik. Kegiatan ini sebenarnya untuk memberikan
arahan saat ada penimpangan, namun memang tidak dapat disangkali bahwa
kegiatan mengkritik menjadi trend di dunia sosial. Berapa banyak
orang yang tersangkut Undang-undang ITE dan mendekam di penjara karena
mengkritik, karena kritikannya dianggap mencemarkan nama baik seseorang,
bahkan banyak pula orang yang masuk rumah sakit karena mengkritik dan
kejadian-kejadian sadis lainnya yang ditimbulkan dari kegiatan ini.
Pada dasarnya kritik adalah cara untuk memberikan pengarahan yang benar
saat orang lain telah menyimpang, kritik juga untuk digunakan sebagai
bahan evaluasi diri. Namun, di lapangan fakta berkata dari kegiatan
kritik, banyak orang yang menanggalkan persahabatan, hubungan kerja,
bahkan hingga hubungan kekeluargaan. Oleh karena itu, mesti menggunakan
adab mengkritik yang bias menjadi penyejuk bagi orang lain, karena
mengkritik itu sejatinya untuk membangun. Kritik yang membangun akan
lebih bermakna bagi siapa pun yang merasa dirinya telah menyimpang dari
jalan semestinya. Gunakan bahasa yang santun dalam mengkritik, dan
terutama tidak menyinggung perasaan orang lain. Agar orang lain mau
menerima kritik, ada baiknya kita mesti mematuhi rambu-rambunya terlebih
dahulu, antara lain; 1. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti untuk
menghindari kesalahpahaman. 2. Bersikap tenang dan santun, untuk
memberikan efek simpati dari lawan bicara. 3. Menghargai pendapat orang
lain dan memberikan kritikan secara sopan dan berwibawa. Ketiga hal
tersebut penting digunakan pada saat mengkritik orang lain. Karena
kegiatan mengkritik merupakan kegiatan yang sensitive.
Kesantunan Menjadi Pilar Persatuan
Adab dalam berpendapat dan memberikan kritik sebenarnya merupakan
kegiatan yang membangun demi persaudaraan dan persatuan umat. Kegiatan
ini juika diarahkan pada hal yang positif dapat juga memberikan khazanah
keilmuan yang mumpuni dan memberikan efek muhasabah diri untuk
menjadi pribadi yang lebih baik. Oleh karena itu, jadilah mayarakat yang
beradab ketika menggunakan hak pendapatnya dan menggunakan kritikan
terhadap orang lain. Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang dapat
menerima kritikan dari bangsa lain dan mencoba menyadari kesalahannya
untuk membuat perubahan kea rah yang lebih baik. Terahir yang
terpenting, sebagai umat Islam, hendaknya kita dapat belajar dari
berbagai kritikan dari Barat mengenai lambannya dan lemahnya umat Islam
saat ini. Gunakan prasangka positif dalam menanggapi segala hal yang
bersifat kritis dan jadikan sebagai sarana introspeksi diri. Perubahan
yang besar bermula dari tindakan untuk ikhlas berubah. Jalankan roda
kehidupan dengan eramah dan santun agar dapat diterima oleh semua
kalangan.
*Tulisan ini dimuat di Lembar Jumat Lazuardi Birru
0 komentar:
Posting Komentar