Ditulis oleh Mujtahid
HUBUNGAN antar agama,
merupakan tema yang selalu menarik untuk dibicarakan mengingat agama
hampir selalu terkait (atau dikaitkan) dengan persoalan konflik dan
dialog, konfrontasi dan kerja sama, toleransi dan fanatisme, serta
perang dan perdamaian. Demikian pula, cita-cita untuk mewujudkan
kerukunan beragama hampir selalu menyinggung persoalan agama dan
perdamaian, karena kerukunan tidak mungkin diwujudkan dalam kondisi
perang yang disebabkan oleh sentimen apa pun, termasuk sentimen
keagamaan.
Agama sebagai sebuah fenomena sosial,
tentu tidak akan pernah final dibicarakan dan ditafsirkan; agama selalu
hidup dalam sejarah umat manusia dan mengikuti perkembangan zaman. Dari
waktu ke waktu agama mengalami penafsiran ulang yang kadang digunakan
kelompok-kelompok tertentu untuk membela kepentingannya.
Murad W Hofmann (2006), sebagai tokoh
yang sangat concern terhadap perdamaian agama, berusaha mempertemukan
antara agama, dalam hal ini misalnya, Islam dan Kristen, dengan membuka
jalan dialog, kerjasama dan alternatif lainnya. Selama ini, kedua agama
ini saling menyimpan kecurigaan yang kuat dan tak jarang hingga
meletuskan konflik dan konfrontasi yang destruktif bagi tumbuhnya
keharmonisan bagi antar pemeluk agama.
Tragedi 11 September 2001 yang lalu,
merupakan problem yang ujung-ujungnya sengketa antar agama. Sehingga
fenomena terorisme seringkali dikaitkan dengan agama. Gerakan ini muncul
di dunia yang telah kehilangan kepastian akibat kemajuan sains dan
teknologi sejak tahun 1950-an. Seiring dengan kendala kemiskinan,
penyakit, dan kondisi pekerjaan yang tidak manusiawi, ledakan penduduk,
penyebaran AIDS, polusi dan krisis energi yang merebak ke permukaan.
Semua momok ini membuat manusia ingin kembali bersandar pada
penjelasan-penjelasan apokaliptik (Gilles Kepel, The Revenge of God: The
Resurgence of Islam, Christianity, and Judaism in the Modern World,
1994).
Selain itu, kenyataan pularisme agama
dan budaya membuat umat beragama harus menegaskan kembali identitas
keagamaan di tengah-tengah umat beragama lain yang juga eksis.
Pluralisme keagamaan sudah menjadi kenyataan sejarah yang tidak mungkin
bisa dihindari, menafikan pluralisme sama artinya dengan menafikan
keberadaan manusia itu sendiri. Namun, pluralisme dan perbedaan
(eksoterik) agama sering menjadi sumber konflik dan ketegangan di antara
umat beragama. Bahkan umat beragama sebagian besar masih memandang
agama lain dalam konteks "superior" dan "inferior".
Jika agama dipandang "superior" dan
"inferior," maka hubungan-hubungan konfliktual tak bisa dihindarkan.
Sebagian besar konflik antar-agama maupun budaya saat ini merupakan
akibat penghinaan. Misalnya, banyak dari hal-hal yang terjadi di dunia
Islam saat ini, yang secara simplistik dianggap sebagai fundamentalisme,
merupakan penegasan terhadap identitas kultural yang selama ini
dianggap inferior. Demikian halnya dengan berbagai konflik yang terjadi
di Tanah Air, sebagian (atau mungkin seluruhnya) muncul sebagai akibat
penghinaan dan sikap tidak adil yang dipraktikkan sekelompok orang atas
kelompok lain yang justru jumlahnya lebih besar.
Oleh karena itu, menarik memperhatikan
tesis Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of the
World Order, 1996) yang mendefinisikan "peradaban" sebagai pengelompokan
terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan manusia dari
spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif
bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh
swa-identifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau
delapan peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam,
Hindu, Kristen Ortodoks, Amerika Latin, dan "mungkin" Afrika.
Teori Huntington berusaha menentang
skenario "akhir sejarah" pasca-perang dunia mengenai sebuah tatanan
internasional berdasarkan penerimaan universal atas model ekonomi
kapitalis, tanpa perubahan pada cakrawala sejarah manusia selanjutnya.
Arti penting tesis Huntington ini terletak pada faktor-faktor kultural
yang bisa dipertimbangkan sebagai perkembangan yang amat positif.
Hingga kini, hubungan dan konflik
antarnegara sudah terbiasa dijelaskan menurut analisis ekonomi.
Lembaga-lembaga politik tumbuh di luar struktur kekuatan ekonomi, dan
budaya adalah ekonomi, dalam arti, di Barat, sistem pasar menentukan
kerangka nilai-nilai umum yang dalam teori seharusnya secara independen
dimunculkan oleh budaya sendiri.
Namun, Huntington seolah melihat
peradaban sebagai blok monolitik. Padahal, dalam kenyataan tidak
demikian. Sebagian peradaban, misalnya peradaban Islam, terutama
ditentukan oleh wahyu keagamaan; yang lain, seperti Konfusius,
ditentukan oleh hubungan antara agama yang mengilhami mereka dan
kekuasaan politik yang kurang jelas. Dalam peradaban Barat, versi
Katolik atau Protestan dari agama Kristen membentuk bagian dari lanskap
budaya mereka, meski masyarakat negara-negara Barat amat terbagi
berdasar kepercayaan keagamaannya. Dalam setiap peradaban, ada beberapa
tren pemikiran yang mengikuti garis-garis pengakuan, dan yang lain
mengikuti garis-garis penempatan-subjek perdebatan yang kini hidup di
negara-negara seperti Turki dan Italia.
Oleh karena itu, alih-alih dilihat
sebagai sebab hubungan konfliktual, perbedaan di antara budaya-budaya
dan agama-agama seharusnya bisa menjadi sumber pengalaman untuk saling
melengkapi. Budaya-budaya dan agama-agama yang berbeda memiliki
instrumen-instrumen intelektual, simbolik, dan eksistensial yang memberi
pandangan spesifik tentang realitas personal, historis, dan kosmik,
tetapi ia tidak harus menjadi pandangan yang dipaksakan. Tentu saja,
saling memperkaya hanya mungkin dilakukan jika kelompok-kelompok yang
berbeda mengorganisasi sifat mereka yang terbatas melalui dialog yang
konstruktif.
Dialog bukan berarti pengkhianatan; ia
berarti pengakuan terhadap sudut pandang lain dan pengalaman lain dalam
kejujuran dan koherensi mereka. Ia juga mengimplikasikan integrasi
berbagai anasir berharga dari tradisi-tradisi lain, tanpa takut
kehilangan identitas. Dalam mencari masa depan manusia yang lebih masuk
akal, orang-orang Barat bisa belajar dari budaya-budaya lain mengenai
perasaan untuk komunitas, yang bisa menjadi penyeimbang individualisme
Barat, atau praktik-praktik ekologis dalam keselarasan bersama alam,
yang bisa menyeimbangkan filsafat dominasi Barat.
Satu jaminan perdamaian di antara
berbagai budaya dan peradaban adalah perdamaian antar-agama. Seluruh
agama besar dunia menyeru pada perdamaian, kasih sayang, keselarasan,
simpati, keadilan, kedermawanan, kepedulian, dan kelembutan. Agama-agama
seharusnya tidak hanya mengajarkan nirkekerasan dalam komunitas mereka
sendiri, tetapi juga mempraktikkan sebuah dialog yang penuh pengertian
dan kesantuan dengan agama-agama lain, serta membela kebebasan
beragama-legislasi yang menghormati kebebasan hati nurani dari setiap
manusia, dan memungkinkan praktik setiap agama dalam teritori historis
agama-agama lain. Dan agama-agama seharusnya bisa menyetujui serangkaian
kriteria etik universal untuk memberikan basis bagi perdamaian di
dunia, dengan membuka pintu selebar-lebarnya untuk kesepakatan
antarbudaya dan politik berdasarkan nirkekerasan dan saling menghormati.
Perjuangan untuk perdamaian, hari demi
hari dimenangkan dalam keragaman situasi lokal. Keragaman budaya yang
demikian menakutkan Huntington adalah kenyataan hidup di banyak sekolah,
lingkungan, dan tempat kerja, dan semuanya bisa dipertimbangkan sebagai
persoalan atau sesuatu yang harus dinikmati. Bagi kita, kemenangan
kecil dari sebuah dialog, penghormatan, dan kasih sayang untuk "orang
lain" adalah benih-benih dari demokrasi multibudaya baru. Memang itu
semua masih permulaan, tetapi ia merupakan jalan yang sangat penting
menuju perdamaian universal.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
0 komentar:
Posting Komentar