Negara Indonesia bukan negara Islam. Bukan pula negara yang anti agama.
Indonesia adalah negara berdasar Pancasila yang menghormati keberadaan
agama yang hidup dan berkembang di tengah masyarakatnya. Menghormati
kebebasan pemeluknya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajarannya
masing-masing. Karena negara ini didasarkan atas kesepakatan para
pendiri bangsa untuk menjadikan pancasila sebagai dasar negara, yang
menjadi falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kita selaku
warga bangsa sejatinya menjadikan rumah besar Indonesia ini sebagai
tempat bernaung bersama yang aman, damai dan rukun dalam segala
perbedaan suku, ras, agama, bahasa dan budaya. Dalam konteks menjalankan
tata kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, Semua mendasarkan diri pada
aturan ketatanegaraan yang dipayungi oleh Pancasila dan UUD 1945 berikut
semua pranata hukum positif yang menjadi aturan teknisnya. Tak boleh
ada tirani mayoritas atas minoritas, pun sebaliknya. Semua tunduk pada
konstitusi dan hukum negara kita. Namun demikian, saat ini kita
menyaksikan sebuah perkembangan yang memprihatinkan, yaitu berkembangnya
sebuah pertarungan dua kutub pemikiran dan gerakan yang membahayakan
eksistensi NKRI. Bayang-bayang faham radikalisme dan fundamentalisme
atas nama agama disatu sisi dan pemikiran liberalisme dan sekularisme
pada sisi yang lainnya. Kutub radikalisme, fundamentalisme, terorisme
muncul dengan konsep-konsep pemikiran bahwa negara ini dijalankan dengan
sistem thagut yang harus diganti dengan jalan syari'at Islam, sebagian
dari mereka menjalankan aktifitas teror dengan melakukan aksi peledakan
bom di tempat-tempat umum yang tak sedikit menimbulkan korban jiwa.
Mereka menganggap sah aksi menghilangkan jiwa diluar kelompoknya sebagai
bagian dari aktifitas jihad yang balasannya surga. Dalam tulisannya di
Siluetmimpi’s blog berjudul “Merajut Benang Kebersamaan Menuju Indonesia
Damai” Evi Baiturrohmah mengungkapkan secara lugas seputar Akar sejarah
munculnya pemikiran dan gerakan radikalisme di Indonesia yang tak bisa
dilepaskan dari fakta bahwa terorisme dan radikalisme berkaitan erat
dengan gerakan Islam garis keras sudah menjadi common sense di
masyarakat. Menurut Evi, terjadinya serangan pada 11 September 2001
terhadap gedung World Trade Center (WTC) di Washington DC, Amerika
Serikat yang disebut dilakukan oleh kelompok Al Qaeda, menjadi semacam
“pembenaran” akan munculnya paradigma bahwa Islam, khusnya golongan yang
dicap radikal dan fanatik, adalah aktor di balik berbagai kasus
terorisme. Semenjak serangan tersebut, Amerika mendeklarasikan diri
sekaligus mengajak warga dunia untuk ikut berperang melawan terorisme.
Tak pelak perisitiwa ini menjadi salah satu momen dimana masyarakat
dunia aware terhadap isu terorisme dan juga menjadi titik penting
pencintraan agama Islam di seluruh dunia. Teror 11/9 ini kemudian
menyebarkan perspektif baru terhadap masyarakat Barat khususnya, tentang
citra Islam sebagai agama yang lekat dengan kekerasan dan tindakan
terorisme. Berkembangnya isu terorisme yang diserukan oleh Amerika pasca
serangan 11/9 ini berdampak luar biasa terhadap konflik beragama di
belahan dunia manapun, termasuk di Indonesia. Kekerasan yang
mengatasnamakan agama menjadi salah satu konflik yang menyita perhatian
pemerintah maupun masyarakat awam di Indonesia. Ada beberapa sebab
mengapa radikalisme dan terorisme dapat tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Beberapa hal tersebut meliputi lemahnya pemahaman individu
dalam memaknai toleransi kebebasan beragama, ikatan komunal yang kurang
sensitif terhadap aktivitas anggota masyarakat non- mainstream sekaligus
lemahnya antisipasi oleh aparat keamanan/ kepolisian terhadap kekuatan-
kekuatan yang terhimpun di dalam masyarakat yang kaya akan perbedaan.
Salah satu penyebab maraknya tindakan teror dan radikal dalam konteks
kehidupan beragama di Indonesia adalah sikap dan respon sekelompok orang
yang merasa mempunyai legitimasi oleh Tuhan untuk memperbaiki tatanan
moral di masyarakat dan menghancurkan konsep keagaman yang tidak sama
dengan mereka. "Legitimasi" inilah yang kemudian membuat para aktivis
radikal menyebut bahwa mereka berjuang atas nama agama. Dalam perspektif
yang berbeda, konsep radikalisme agama di Indonesia juga dapat
dikatakan berakar pada semakin termarginalkannya nilai- nilai luhur dan
konsep toleransi yang ada di masyarakat. Radikalisme muncul sebagai
gerakan penolakan terhadap efek dari ekses budaya Barat/ modernisasi
yang tengah melanda masyarakat. Modernisasi dianggap menghasilkan produk
massa yang bukan hanya modern tetapi juga liberal dalam
menginterpretasi nilai dan pokok ajaran agama tertentu. Dari sinilah
munculnya gesekan keras dari mereka terhadap kelompok lain yang mereka
identifikiasi sebagai kekuatan paham liberalisme Islam dan sekularisme
yang berbasis dari perkembangan modernisme yang begitu massif. Mereka
kalangan radikal mnenganggap bahwa kelompok Islam liberal dan sekuler
ini sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap tatanan
kehidupan kebangsaan di Indonesia yang mereka anggap sebagai thagut,
boneka Amerika dan sejenisnya. Sementara dari persfektif yang lain,
Liberalisme Islam dan sekularisme yang ekstrim juga tidak berarti tidak
membahayakan bangunan kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan yang
terjadi di Indonesia. Kita mengidentifikasi bahwa jika Liberalisme Islam
dimaknai dengan ciri khas kaum liberal yang bertentangan dengan Islam
seperti ideologi relativisme, skeptisisme dan agnostisisme, hal itu akan
menimbulkan kegaduhan juga dalam konteks pemahaman keagamaan ummat
islam di Indonesia. Relativisme adalah keyakinan yang menganggap semua
kebenaran adalah relatif dan subyektif. Tidak ada kebenaran mutlak.
Skeptisisme adalah pandangan yang meragukan terhadap kebenaran. Setiap
kebenaran agama, diragukan kevalidanya. Dan agnostisisme mengingkari
adanya kebenaran. Ideologi yang terakhir ini, sangat radikal karena
menggiring kepada ateisme. Sebab kebenaran Tuhan juga diingkari. Ketiga
ideologi ini menjadi metodologi memahami agama di kalangan Islam
Liberal. Ilmu tafsir, hadits, fikih, akidah dan lain-lain dianalisis
dengan tiga metodologi ini. Produk dari metodologi ini adalah paham
pluralisme agama, inklusifisme, dan hermenutika. Islam Liberal dalam
persfektif seperti itu dapat dimaknai juga sebagai ghulluw (ekstrim)
liberal. Yang dalam kehidupan keagamaan di Indonesia tidak mencerminkan
Islam mainstream. NU dan Muhammadiyah mungkin bisa dikategorikan sebagai
Islam moderat, tapi bukan dimaknai Islam moderat dalam persfektif Islam
Liberal. Ada memang sebagian kalangan muda di lingkungan kedua Ormas
Islam terbesar di Indonesia itu yang cenderung menunjukan ekstrim Islam
Liberal dalam pemikirannya yang cukup meresahkan para orang tuanya di
kalangan kiai dan ulamanya. Tapi harus diakui mereka memiliki basis
kultural dan intelektual yang memadai dari pemahaman terhadap teks dan
nash literatur tradisional (kitab kuning) maupun sumber-sumber literatur
barat. Disinilah kita menangkap bahwa Indonesia berada dalam
bayang-bayang dua kutub ekstrim. Yaitu kutub ekstrim kanan (Islam
radikal) dan ekstrim kiri (Islam liberal). Ekspresi pemikiran dan
gerakan dari mereka yang berlebihan dan muncul ke ranah publik secara
massif niscaya akan menimbulkan gesekan horizontal dan menjadi ancaman
bagi eksistensi NKRI, Pancasila dan Indonesia. Untuk itulah, kita
memerlukan sebuah kesadaran komunal dari bangsa ini termasuk dari
kekuatan-kekuatan Islam mainstream untuk meluruskan paham-paham ekstrim
tersebut. Salah satu solusi yang tepat bagi kita adalah kembali kepada
Khittah Indonesia 1945 sebagaimana kalangan alim ulama canangkan di
Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Cirebon kemarin. Pancasila
dan UUD'1945 akan menjadi energi rekat bagi semua kekuatan bangsa ini.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Prof. Bernard Adeney yang mengungkapkan
bahwa Indonesia, "sudah memiliki definisi yang cukup hebat tentang
masyarakat baik atau civil atau "madani", yaitu Pancasila. Menurutnya,
pancasila muncul sebagai hasil dari musyawarah mufakat yang menyatakan
semacam visi untuk civil society. Menurut Prof. Bernard Adeney, visi ini
dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : Pertama, Pancasila dimengerti
sebagai persetujuan [mufakat], tentang apa yang menjadi landasan bangsa
negara yang paling mendasar. "Yang paling dasar" dapat diterjemahkan
sebagai yang paling minimal. Pancasila merupakan visi bangsa negara yang
dapat disetujui oleh semua unsur masyarakat Indonesia, walaupun bukan
visi paling sempurna kelompok-kelompok tertentu. Kedua, Pancasila
diciptakan sebagai aturan main, yaitu sila-sila yang mangatur proses
membangun bangsa negara yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa struktur
negara, hukum da kebijaksanaan pemerintah adalah seyogianya sesuai
dengan Pancasila. Proses membangun negara yang jelas bertentangan dengan
Pancasila seharusnya ditolak. Ketiga, Pancasila juga dimengerti sebagai
tujuan ideal bangsa negara Indonesia. Indonesia bertekad menjadi bangsa
negara yang "pancasilais" walaupun tujuan ideal itu belum terwujud"
Kekuatan apapun, paham pemikiran apapun yang sekiranya akan mengancam
eksistensi NKRI, mengancam Pancasila sebagai visi kebersamaan kita
sebagai sebuah bangsa, maka hal itu harus di luruskan oleh semua elemen
kekuatan bangsa ini. Termasuk Islam Radikal dan Islam Liberal. Dan kita
nikmati kehidupan kita sebagai seorang Muslim, Kristen, Hindu, Budha,
Konghucu, dan juga kita sebagai warga bangsa Indonesia secara aman dan
damai. Saya muslim, dan saya Indonesia.
Senin, 29 Mei 2017
Home »
» Indonesia di antara Bayang-Bayang Radikalisme dan Liberisme
0 komentar:
Posting Komentar