Akhirnya pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Tiga alasan yang dijadikan dasar pembubaran terkesan subjektif dan
berpotensi menimbulkan efek berantai untuk memberangus ormas-ormas yang
tidak sejalan dengan pemerintah. Dari kaca mata lawannya, bukankah ormas
Front Pembela Islam (FPI), juga memenuhi ketiga alasan tersebut? Hanya
tiga hari setelah mendapat perintah dari Presiden Joko Widodo, Menteri
Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal TNI (Purn)
Wiranto membuat keputusan untuk membubarkan HTI. Menurut Wiranto,
pembubaran HTI dilakukan setelah mencermati berbagai pertimbangan serta
menyerap aspirasi masyarakat. Sejumlah pihak, terutama PB Nahdlatul
Ulama (NU) merspon positif keberanian Jokowi membubar HTI yang
dianggapnya bagian dari komitmen menjaga pancasila dan NKRI. Meski
demikian pembubaran HTI masih membutuhkan proses lebih lanjut. Mengacu
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyrakat,
pembubaran ormas harus dengan putusan pengadilan. Artinya akan ada
proses peradilan di mana ormas yang dibubarkan diberi kesempatan untuk
membela diri. Bukan tidak mungkin bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa
sebagai wakil pemerintah dalam persidangan tersebut, dimentahkan oleh
HTI dengan data dan fakta lain. Tanpa bermaksud mendahului putusan
pengadilan, mengingat pembubaran HTI merupakan policy pemerintah,
rasanya tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak. Namun, tanpa
mengurangi apresiasi atas sikap tegas pemerintah di tengah penguatan
politik identitas di tengah masyarakat, kita berharap alasan-alasan yang
dikemukakan sebagai dasar pembubaran HTI, tidak dijadikan alat pembenar
untuk menyasar kelompok lain. Sebab FPI pun memenuhi tiga syarat yang
dijadikan alas pembubaran HTI sehingga sangat mungkin dimasukkan daftar
tunggu untuk dibubarkan. Terlebih selama ini FPI sudah masuk redlist
dengan tuduhan mengkampanyekan intoleransi yang bertentangan falsafah
dan semangat Pancasila. Mari kita lihat “kedekatan” FPI dengan
alasan-alasan yang dijadikan dasar pembubaran HTI. Pernyataan resmi
pemerintah terkait pembubaran HTI. Pernyataan resmi pemerintah terkait
pembubaran HTI.
Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak
melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses
pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Alasan ini sangat subjektif
karena frasa “peran positif dalam proses pembangunan” tentu dapat
dimaknai berbeda tergantung kepentingannya. Melalui frasa ini,
pemerintah tengah menyampaikan pesan berbahaya karena ormas yang tidak
mengambil “peran positif dalam proses pembangunan” dianggap sebagai
musuh negara. Dengan bahasa lain, Wiranto menekankan agar seluruh ormas
mendukung dan berpartisipasi positif dalam menyukseskan program
pembangunan pemerintah. Ormas yang tidak berperan aktif, apalagi menolak
proses pembangunan layak dibubarkan. Jika pembangunan yang dimaksud di
sini adalah agenda kerja pemerintah, maka FPI pun tidak dalam gerbong
yang “melaksanakan peran positif”. Oleh sebagian orang, FPI justru
ditempatkan dalam gerbong yang bertolak-belakangan dengan kebijakan
pemerintah, mengusung intolerasi, selalu membuat gaduh dan kerap
meresahkan masyarakat dengan aksi-aksi sweeping-nya. Kedua, kegiatan
yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan,
azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Klausul ini justru sangat
tepat disematkan kepada FPI. Sebab sudah lama FPI dilabeli sebagai ormas
yang bertentangan dengan Pancasila. FPI selalu di depan dalam
kasus-kasus yang dianggap intoleransi seperti pengusir warga Ahmadiyah,
demo menolak pembangunan rumah ibadah agama non Islam, merazia warung
makan di bulan Ramadhan, termasuk menolak pemimpin non Muslim di
Jakarta. Satu-satunya yang membedakan HTI dengan FPI adalah terkait isu
khilafah atau imamah. FPI jarang sekali mengusung tema tersebut,
sementara HTI menjadikannya sebagai nafas perjuangan. Anehnya, soal
khilafah atau imamah ini tidak dimasukkan sebagai dasar alasan
pembubaran HTI. Frasa “bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945”
sangat normatif sehingga bisa melebar kemana-mana. Apakah ormas yang
mengkampanyekan liberalisasi ekonomi tidak termasuk “bertentangan dengan
tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945”? Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI
dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam
keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Silahkan hitung, ormas mana yang paling sering mendapat penolakan dari
masyarakat, HTI atau FPI? Isu HTI dan penolakannya, baru terjadi
belakangan ini, sementara untuk FPI sudah sejak beberapa tahun lalu.
Ingat insiden di Palangka Raya? Ingat bentrokan di Solo? Banyumas,
Padang, Samarinda dan Tulangagung adalah contoh daerah-daerah yang juga
menolak kehadiran FPI. Jika mengacu pada alasan ketiga, timbul
pertanyaan mengapa HTI yang baru-baru ini saja mendapat penolakan dari
(sebagian) masyarakat langsung dibubarkan, sementara FPI yang sudah
sering mendapat penolakan sejak tahun 2010, belum tidak dibubarkan?
Apakah pembubaran HTI hanya sebentuk test case, test the water sebelum
membubarkan ormas yang lebih besar seperti FPI? Sekali lagi kita
berharap hal itu tidak akan terjadi. Jangan sampai kebijakan pembubaran
HTI menjadi lonceng kematian yang mengancam kebebasan berserikat,
khususnya bagi ormas-ormas yang tidak sejalan dengan kebijakan
pemerintah. Jangan sampai ada keinginan untuk memposisikan pemerintah
sebagai negara (state). Sebab jika itu terjadi, ketika perbedaan
pandangan politik dengan pemerintah akan dianggap sebagai musuh negara
sehingga dicari-cari alasan untuk dibubarkan, kita tengah berjalan
mundur, kembali ke rezim otoritarian yang meniadakan kebenaran di luar
tembok istana.
0 komentar:
Posting Komentar