Home »
» Peranan Agama dalam Membangun Perdamaian yang Berkesinambungan
Jakarta, (ICMI Media) - Dua hari lalu saya mendapat kehormatan untuk menjadi pembicara dalam sebuah diskusi tingkat tinggi (high level discussion) di PBB New York. Acara yang disponsori oleh kantor Presiden SMU PBB (UN General Assembly)
ini mengangkat tema: The role of religion in building sustainable peace
(peranan agama dalam membangun perdamaian yang berkesinambungan).
Hadir sebagai pembicara, selain wakil negara-negara anggota PBB, juga
beberapa pejabat tinggi negara. Menlu Kazakastan, Presiden GA PBB yang
juga mantan presiden Finland itu.
Dalam presentasi saya kembali menekankan bahwa pembahasan tingkat tinggi
tentang peranan agama dalam membangun perdamaian adalah sesuatu yang
harus dihargai. Karena dimasukkannya agama sebagai pembahasan di kancah
internasional mengindikasikan jika agama memanh kembali diakui sebagai
aktor penting dalam kehidupan publik manusia, termasuk dalam hubungan
global saat ini.
Dengan kata lain agama bukan sekedar menyentuh kehidupan privat, yang
juga dibatasi pada masalah-masalah ritual ubudiyah dan spiritualitas.
Agama seringkali dipersepsikan sebagai ajaran seremonial yang
bersentuhan dengan ubudiyah individual.
Membangun narasi agama yang benar
Jika agama memang diharapkan memainkan peranan penting dalam membangun
perdamaian yang berkesinambungan maka hal pertama yang harus dirubah
adalah narasi agama itu sendiri. Selama ini narasi yang berkembang
seolah agama itu menjadi sumber kekerasan, terorisme dan berbagai aksi
pengrusakan dalam kehidupan dan peradaban.
Dengan harapan agama memainkan peranan perdamaian baiknya narasi seperti
di atas dirubah menjadi agama sebagai sumber perdamaian, keadilan,
kemakmuran, persaudaraan dan kerjasam, serta kemakmuran dan peradaban.
Hanya dengan narasi tentang agama yang benar akan tumbuh prilaku manusia
beragama secara benar pula. Jika agama dipahami sebagai ajaran yang
yang mengajarkan kemarahan (anger) atau ajaran yang mengajarkan kebencian (hate) maka pemeluknya akan dengan mudah berprilaku demikian atas nama agama itu.
Oleh karenanya perubahan narasi beragama menjadi esensial dalam merubah
karakter manusia, terlebih lagi atas nama agama yang dianutnya. Secara
esensi Islam adalah agama perdamaian, keadilan, kemajuan, kehidupan dan
peradaban. Narasi agama seperti inilah yang perlu dibangun di saat umat
ini rentang mengalami cobaan. Bahwa beragama Islam bukan sekedar gelar.
Tapi sebuah kekuatan yang bersumber dari dalam (internal strength) yang membawa kepada kekuatan luar (external strength). Kekuatan itulah yang terefleksi dalam kehidupannya, baik pada tataran privat maupun kolektifnya.
Kerjasama antar komunitas agama
Salah satu flatform yan kuat dalam upaya menjadikan agama sebagai basis
pembangunan perdamaian yang berkesinambungan adalah melalui kerjasama
antar komunitas agama (interreligious cooperation). Sebab
memang hilangnya kerjasama antar pemeluk agama rentang menjadi faktor
kecurigaan dan bahkan tumbuhnya kemarahan atas nama agama.
Dilemanya kemudian adalah bahwa upaya membangun kerjasama antar pemeluk
agama ini bukanlah hal mudah. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.
Satu di antaranya urgensi membangun kepercayaan (trust) antar pemeluk agama itu sendiri. Kerjasama tidak mungkin akan efektif jika dibangun di atas kecurigaan (suspicion).
Untuk terbangunnya kepercayaan ini ada minimal dua hal yang juga perlu dibenahi:
Pertama, isu generalisasi. Selama ini seringkali jika segelintir dari
kalangan pemeluk agama tertentu malakukan kekerasan, ambillah misalnya
terorisme, seolah keseluruhan anggota umat ini adalah teroris. Itulah
yang kemudian berdampak kepada kebijakan imigrasi, di mana mereka yang
beragama tertentu dan berlatar belakang etnik tertentu harus melalui
proses yang berbeda dari orang lain. Semua itu karena ada kecenderungan
melakukan generalisasi. Padahal senua komunitas agama itu bersifat
majemuk (ragam). Umat Islam misalnya tidak bersifat monolithic, bahkan
ragam seragan manusia itu sendiri.
Kedua, isu dominasi. Ada penggalan kalimat yang sering kita dengarkan,
sebagai misal: tidak semua Muslim itu adalah teroris. Tapi semua teroris
adalah Muslim. Penggalan kalimat ini keliru dan juga misleading. Keliru
kareba kenyataannya berbagai tindakan teror juga banyak dilakukan oleh
komunitas lain, tentu dengan ragam faktornya. Misleading karena seolah
umat Islam itu perlu dicurigai dan dijaga karen mereka rentang untuk
melakukan tindakan terorisme.
Kedua hal di atas telah menjadi tantangam tersendiri dalam upaya
membangun kepercayaan. Sangat tidak rasional bahwa di satu sisi Islam
dituduh sebagai ajaran kekerasan. Tapi di sisi lain mengharapkan
pemeluknya untuk membasmi kekerasan.
Oleh karenanya membangun "trust" menjadi prasyarat bagi
terbangunnya kerjasama antara pemeluk agama. Tapi trust hanya akan bisa
terbangun jika tuduhan-tuduhan kepada umat ini ditinjau ulang dan
ditempatkan pada porsi yang sesungguhnya. Artinya kita tidak mengingkari
adanya "masalah" itu. Tapi generalisasi dan tuduhan dominasi hanya
menjadikan manusia lupa sejarah. Atau pura-pura lupa sejarah?
Karena sesungguhnya, sebagaimana saya sering sampaikan, di tangan semua
komunitas ada darah yang perlu dibersihkan. Jangan sampai ada kalangan
yang merasa suci sendiri. Merasa sempurna? Where the hell you gonna get perfectness in the world?
Bersambung!
Oleh: Imam Shamsi Ali, Wakil Ketua Majelis Dialog Antar Peradaban, Kebudayaan dan Keyakinan ICMI
0 komentar:
Posting Komentar