Oleh Jajang Jahroni
Orang yang percaya dengan sistem khilafah beranggapan bahwa Islam tidak hanya menjadi agama semata, namun juga sebagai sistem politik. Era kekuasaan Nabi selanjutnya diteruskan oleh para Sahabat yang melembagakan sebuah sistem politik yang disebut khilafah. Mimpi tentang ‘kejayaan Islam’ sebenarnya sah-sah saja sepanjang didasarkan pada realitas sejarah. Padahal kenyataannya, Islam —tepatnya sejarah Islam— tak mewariskan sistem politik dan kekuasaan yang tunggal.
Prof. James Piscatori pernah bercerita bahwa di London ada sebuah jalan yang disebut Jalan Khalifah. Entah mengapa jalan itu disebut demikian. Mungkin ada hubungannya dengan jaman kejayaan kolonialisme Inggris yang pernah menguasai dunia Islam. Di salah satu negeri yang ditaklukkannya, kata itu ditemukan, lalu dibawa pulang. Di dunia Islam, khalifah merupakan sebuah konsep politik. Namun di London tak ada orang yang perduli. Orang lalu lalang begitu saja tanpa memperdulikan apa itu khalifah. Bagi Piscatori ini merupakan sebuah ironi yang seringkali membuatnya tertawa. Ironi, karena di tengah-tengah masyarakat London yang tidak mengerti Islam dan bahasa Arab, ada sebuah jalan yang namanya diambil dari bahasa Arab dan Islam.
Sebagian besar umat Islam sejatinya memiliki sikap yang kurang lebih sama dengan orang-orang London. Apa itu khalifah atau khilafah. Mereka tak perduli. Pada 1924, khilafah Islam di Istambul dengan Sultan Abdul Hamid II sebagai penguasa, secara resmi dihapus oleh Mustafa Kamal Attaturk. Peristiwa ini secara simbolis menghapus sistem khilafah dari dunia Islam. Setahun kemudian, Ali Abdurraziq dari Mesir menerbitkan buku yang kontroversial al-Islam wa Ushul al-Hukm: Ba’ts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam. Abddurraziq menyatakan bahwa Islam sama sekali tidak mengenal sistem khalifah. Sistem khilafah diciptakan oleh orang perorang sepeninggal Nabi SAW sebagai ijtihad politik.
Baik Attaturk maupun Abdurraziq menyadari bahwa sistem khilafah, yang pernah menguasai dunia Islam selama 13 abad lamanya, tidak dapat mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme. Sistem ini harus digantikan dengan sekularisme yang bertumpu pada rasionalisme. Ini jelas bukan ironi, karena hal ini membuka mata hati dan pikiran umat Islam untuk tidak terbelenggu oleh sebuah konsep politik yang sudah karatan.
Tapi memang tak mudah menyadarkan masyarakat yang sudah terbius lama dengan adagium “Islam adalah agama sekaligus negara”. Tak pelak lagi kedua tokoh ini pun mendapat kritik keras dari kalangan Islam yang menganggap bahwa sistem khalifah merupakan bagian inheren dari agama. Di sinilah letak persoalannya. Sebagian orang percaya bahwa politik merupakan bagian dari agama. Karena itu ia harus diatur sesuai dengan ajaran agama. Sementara sebagian lagi percaya bahwa politik merupakan urusan duniawi dan tidak ada hubungannya dengan agama.
Orang yang percaya dengan sistem khilafah beranggapan bahwa Nabi SAW, di samping seorang rasul, juga menjadi kepala negara. Ia adalah penguasa tertinggi keagamaan dan politik. Madinah adalah negara Islam pertama di muka bumi ini, di mana di dalamnya Islam mencapai bentuknya yang paling sempurna. Islam tidak hanya menjadi agama semata, namun juga sebagai sistem politik. Era kekuasaan Nabi selanjutnya diteruskan oleh para Sahabat yang melembagakan sebuah sistem politik yang disebut khilafah. Khilafah tak lain adalah bentuk kekuasaan yang diidealkan untuk meneruskan bentuk kekuasaan yang diwariskan oleh Nabi.
Sementara itu sebagian orang menganggap bahwa ketika Nabi membangun masyarakat muslim di Madinah, ia tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan tertentu. Demikian pula ia tak pernah berpesan bahwa orang-orang sepeninggalnya harus meneruskan tradisi kekuasaan yang telah ia bangun. Kalaupun orang-orang sepeninggalnya mengembangkan satu bentuk kekuasaan yang disebut khilafah (orang-orangnya disebut al-khulafa al-rasyidun), itu adalah keputusan politik yang dibuat untuk merespon keadaan pada waktu itu.
Bukti bahwa Nabi tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan politik tertentu dapat dilihat dalam proses pengangkatan keempat khalifah, yang semuanya terkesan ad hoc serta tidak ada model yang secara konsisten diikuti dari waktu ke waktu. Abu Bakar diangkat secara aklamasi; Umar diangkat melalui wasiat; Utsman diangkat melalui tim formatur yang diprakarsai Umar; dan Ali diangkat melalui aklamasi. Dalam sebuah diskusi, Abdullahi Ahmad An-Naim, intelektual asal Sudan, dengan nada emosi bertanya kepada para hadirin agar menunjukkan mana yang disebut sistem khilafah: aklamasi, wasiat, atau formatur. Sama sekali tidak ada. Ini menunjukkan bahwa urusan politik dalam Islam adalah urusan dunia.
Setelah periode Sahabat, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kekuasaan. Bani Umayyah dan Bani Abbas mengembangkan sistem dinasti, di mana kekuasaan diwariskan menurut garis keluarga. Tradisi yang dikembangkan oleh generasi Sahabat sama sekali ditinggalkan. Hal ini menunjukkan tidak ada bukti sedikitpun dalam sejarah Islam di mana sistem “khilafah”—kalau bisa disebut demikian—dibangun secara konsisten dan konsekuen.
Sejarah menunjukkan bahwa dalam Islam bentuk-bentuk kekuasaan berubah dari masa ke masa. Generasi Sahabat mengembangkan cara-cara yang berbeda dengan generasi Tabi’in, dan seterusnya. Bentuk-bentuk kekuasaan berubah sesuai dengan kondisi dan situasi. Tidak ada satu bentuk kekuasaan lebih ‘islami’ dari bentuk lainnya dalam pengertian bahwa bentuk kekuasaan tertentu berasal dan sesuai dengan Islam sementara lainnya tidak. Ini disebabkan kenyataan bahwa sejak awal Islam tak memperkenalkan satu bentuk kekuasaan pun. Islam hanya menekankan pentingnya moral dalam kekuasaan.
Anehnya periode dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, yang berhasil membangun peradaban Islam sebagai peradaban dunia, seringkali dirujuk oleh para pendukung sistem khilafah sebagai puncak dari sistem khilafah Islam. Pada jaman dinasti Islam, kekuasaan sudah banyak berubah dan terkadang menjadi despotisme yang jelas-jelas bertentangan dengan moral agama. Para khalifah naik ke panggung kekuasaan dengan cara-cara yang tidak terpuji dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Puncak dari despotisme adalah ketika khalifah mengklaim diri mereka sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi.
Inilah ironi ketika sekelompok orang menganggap konsep khilafah, yang tidak jelas dan telah bercampur baur dengan despotisme, sebagai bagian yang paling inheren dari agama dan konsep tersebut dipercaya sebagai konsep kekuasaan yang diperkenalkan Nabi pada para Sahabatnya. Tugas umat—menurut mereka— adalah mengembalikan kekuatan umat yang tercerai berai ini ke dalam sistem khilafah.
Pandangan seperti ini jelas tak bisa diterima karena menyelewengkan realitas sejarah. Konsep khilafah muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan umat Islam dalam menghadapi persaingan dunia saat ini. Dalam ketidakmampuannya, sebagian umat melakukan refleksi. Namun refleksi ini tidak dibarengi dengan kritisisme yang tinggi. Sejarah dilihat dengan penuh kekaguman. Dalam keadaan seperti itu orang tidak dapat membedakan mana kenyataan dan mana mimpi. Muncullah sikap romantisme yang memandang masa lalu dengan penuh perasaan yang menggelora.
Khilafah adalah semacam romantisme karena memimpikan Islam bangkit kembali sebagai peradaban dunia. Mimpi tentang ‘kejayaan Islam’ sebenarnya sah-sah saja sepanjang didasarkan pada realitas sejarah. Sejarah mengajarkan bahwa kejayaan Islam pada masa lalu tidak disebabkan oleh satu sistem politik tertentu saja, sebab kenyataannya Islam —tepatnya sejarah Islam— tak mewariskan sistem politik dan kekuasaan yang tunggal.
Pelajaran paling penting yang diberikan Abdurraziq dalam bukunya di atas adalah bahwa urusan politik dan kekuasaan adalah urusan dunia, dan urusan dunia diserahkan sepenuhnya pada manusia. Agama hanya menjadi moral yang mengontrol jalannya kekuasaan. Dalam kata-katanya, “Islam adalah risalah bukan sistem kekuasaan, Islam adalah agama bukan hukum.” []
0 komentar:
Posting Komentar