AL-MUNQIDZ MINAT-TATHARRUF: MENOLAK EKSTREMISME DAN RADIKALISME DAN PERAN PONDOK PESANTREN
Oleh: MUHAMMAD AS HIKAM
(Ponpes Salafiyah Kholidiyah
Plumpang, Tuban, Jawa Timur)
Plumpang, Tuban, Jawa Timur)
I. Ekstremisme, Radikalisme, dan Terorisme Mengatasnamakan Islam
Dalam perjalanan sejarah Islam,radikalisme[1]dan penggunaan kekerasan
untuk kepentingan politik golongan, dapat dirunutakarnya semenjak masa
sesudah wafatnya Rasulullah saw, terutama denganmunculnya apa yg dikenal
sebagai kelompok (firqah) Khawarij.[2] Kelompokinilah yg dianggap
bertanggungjawab terhadap kasus-kasus pembunuhan politikterhadap
Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib serta beberapa tindak
penyerangan thd kelompok danpemimpin Islam lainnya. Untuk keperluan
pengabsahan aksinya, kaum Khawarijmengembangkan pemikiran dan gagasan
teologis yang ekstrem yang pada intinyamenganggap semua pihak, individu
maupun kelompok, yang tidak mengikuti gagasandan pemikiran serta aksi
mereka sebagai kelompok yang berada di luar Islam(kafir)[3] dankarenanya
harus diperangi. Tak pelak lagi, kaum Khawarij lantas menjadikelompok
radikal dan Takfiri (menganggap pihak lain sebagai kafir) pertama dalam
sejarah Islam dan menjadi target setiap penguasaIslam sehingga
pengaruhnya sebagai kekuatan dan paham ideologis pun
mengalamimarginalisasi (peminggiran).
Kendati marginal sebagai kelompokdan ajaran, ideologi radikal Takfiri
tidak lantas lenyap, tetapi mengalamievolusi, transformasi, dan dinamika
sesuai perkembangan sejarah dan masyarakatIslam di mana mereka berada.
Ideologi-ideologi ekstrim dan radikal, berikut berbagai aksi
kekerasansenantiasa muncul dalam perjalanan sejarah Islam sampai saat
ini. Ironisnya, tak jarang kelompokekstrim tersebut mendapat legitimasi
publik dan ummat yang cukup luas sehingga,sampai tingkat tertentu,
seakan-akan menjadi representasi dari ummat Islam.Dalam konteks sejarah
Indonesia, misalnya, gerakan kaum Paderi yg dipimpin ImamBonjol di
Sumatera Barat, telah terlanjur dianggap sebagai aksi
kepahlawananmenghadapi kolonialisme Belanda, padahal menurut sebagian
sejarawan apa yangdisebut dengan Perang Paderi tsb asal muasalnya adalah
gerakan radikal agama yg diwarnai kekerasanyang dilakukan oleh para
Ulama dan pendukung puritanisme Islam terhadapkelompok Adat, yang
kendati beragama Islam tetapi dikategorikan sebagai kafir.[4]
Radikalismedan kekerasan di dalam ummat Islam di berbagai negara di
dunia yang lain,bukanlah sesuatu yang asing atau insidentil belaka,
tetapi memiliki akarkesejarahan dan terkait dengan perubahan masyarakat.
Era pasca-perang dingin yg dicirikandengan globalisasi berikut dampak
perubahan-perubahan besar dalam segala aspekkehidupan manusia,
menyaksikan muncul dan maraknya radikalisme di sebagaianummat Islam dan
fenomena aksi terror yang, secara salah atau benar,diasosiasikan dengan
Islam atau ummat Islam. Apa yg disebut oleh para pakarsebagai ideologi
Trans-nasional Islamatau Islam Fundamentalis atau Salafi jihadis, atau
sering disebut Jihadis adalah istilah jenerik dari pendukung ideologi
radikal ygmengapropriasi ajaran Islam dan memakai strategi serta taktik
kekerasan, termasuktetapi tak terbatas pada terorisme. Salah satu
peristiwa yang selalu menjadirujukan di dunia adalah peristiwa 9
September 2001, ketika dua pesawatpenumpang ditabrakkan ke Gedung Kembar
WTC di New York oleh para terorisAl-Qaeda, dan upaya yang sama namun
gagal terhadap Kementerian Pertahanan AS diPentagon. Selain ribuan
manusia menjadi korban, kerusakan baik fisik maupun psikis secara massif
telah terjadi yang akanberdampak sangat besar bukan saja terhadap
bangsa Amerika tetapi juga ummatIslam di seluruh dunia. Di Indonesia,
aksi-aksi terror mulai marak sejak tahun2000 dan sampai saat ini masih
belum ada tanda-tanda akan berhenti kendatitelah ratusan korban
meninggal dan luka-luka, belum lagi dampak negatifnya bagibangsa
Indonesia di mana ummat Islam merupakan bagian integral di dalamnya.
Negara RI sebagai sebuah negara yangmayoritas penduduknya adalah ummat
Islam, pada tingkat tertentu, menghadapi problem yang lebih rumit
ketimbang AS dalam hal ancaman terror yang dilandasi oleh ideologi
ekstrim-radikal. DiAS, ancaman terror dan kelompok teroris relatif lebih
jelas sosok dan identitasnya,walaupun bukan berarti mudah untuk
dideteksi dan diatasi. Kasus terakhir bom dikota Boston, umpamanya,
menunjukkan bahwa ancaman terror di dalam negeri AS ternyata masihterus
ada. Padahal upaya pemberantasan terorisme oleh negeri tersebut
telahdilakukan secara begitu seksama, sistematis, dan menelan biaya
triliunandollar. Apa yg disebut sebagai strategi pencegahan awal
(preventive) dan aksidadakan (pre-emptive) dalam perangmelawan terorisme
semenjak Presiden George Bush sampai saat ini, di bawahPresiden Obama,
masih banyak diperdebatkan efektifitasnya. Kendati AS dapatmenembak mati
gembong teroris seperti Osama bin Laden di Pakistan, tetapifaktanya
Al-Qaeda ternyata masih tetap bergeming dan malah memiliki
berbagaijejaring di Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia
Timur, termasukkawasan ASEAN!
Di Indonesia, kondisinya sangatberlainan karena kelompok radikal dan
pelaku terror berada dalam suatu wilayahyang dihuni ummat Islam yang
memungkinkan mereka melakukan berbagai upayaklandestin (penyelundupan)
dan bergerak dalam masyarakat. Kendati jumlah pendukung kaum radikal di
Indonesia sangat kecil,[5] namunmereka dengan mudah mampu melakukan
manipulasi dan kampanye untuk mencaridukungan atau simpati melalui
manipulasi informasi dan penggunaan jejaringmedia, baik media umum
maupun media sosial. Selain itu, berbagai gerakan danormas Islam yang
memiliki pandangan yang dekat dengan kaum radikal, langsungatau tidak,
ikut memberikan selubung dan dukungan. Sebagian ummat Islam yangmemiliki
pemahaman yang masih kurang mengenai relasi agama dan kekuasaan
negaraatau Pemerintah, juga mudah dipengaruhi oleh kaum radikal sehingga
mereka dapadimanfaatkan juga dalam penyebaran gagasan dan aksi radikal
tsb. Dapat disimpulkan bahwa dengan kondisi seperti ini, perang melawan
radikalisme dangerakan radikal di Indonesia memiliki kompleksitas yang
jauh berbeda dengannegara seperti AS, dan karenanya harus pula
menggunakan strategi yang lebihkompatibel dengan konteks dan realitas yg
ada di negeri ini. Pendekatankekuatan dan penegakan hukum (hard
power)saja tidak akan mampu menyelesaikan masalah secara tuntas.
Diperlukanpendekatan yang lebih lunak (soft power)termasuk upaya
de-radikalisasi padatataran masyarakat sipil, khususnya di kalangan akar
rumput (grass-roots).
II. Peran Ponpes Dalam Penanggulangan Ekstremisme-Radikalisme
Mengikuti pandangan almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur),ponpes
adalah sebuah sub-kultur dalam masyarakat yang peran dan
fungsinyasenantiasa mengikuti perkembangan. Sebagai sub-kultur, ponpes
memiliki cirikhas baik secara fisik maupun non fisik serta produknya.
Secara non fisikponpes memiliki cara pandang dunia (worldview)yang
bersumber dari ajaran Islam yg diwarisi dan diajarkan secara terus
menerusdari generasi pertama yang salih (salafas- salih) sampai saat
ini. Dari pandangan dunia tersebut, maka lembagaponpes membawa dua missi
penting: 1) sebagai lembaga pendidikan untukmemperdalam dan
mengembangkan agama Islam, dan 2) memperbaiki perilakumasyarakat baik di
dalam maupun di luar ponpes sesuai dengan ajaran Islam.Secara fisik,
ciri khas ponpes dapat dicermati dari bentuk bangunan ataukompleks di
mana ia berada yang menjadikannya sebagai sebuah komunitas mandiritetapi
tetap terbuka kepada pihak di luarnya. Dimensi fisik ponpes itu
termasukjuga bagaimana proses ajar mengajar dilaksanakan, hubungan
antara Kyai-santribaik ketika masih berada di dalam maupun setelah di
luar ponpes, hubunganantara komunitas ponpes dengan pihak di luarnya,
termasuk penguasa, dll.Sementara produk pesantren adalah para alumni dan
kontribusinya sertapenghargaan yang diterima dari masyarakat. Dalam hal
ini, ponpes ikut berkiprahbukan saja dalam pengembangan keilmuan agama
dan penerapannya dalam kehidupannyata, tetapi juga dalam aspek kehidupan
non-agama, seperti ekonomi, politik,dan sosial.
Tak pelak lagi, inti sub-kulturponpes adalah Kyai dan santri serta
kiprah memperdalam ilmu keagamaan (tafaqquh fid-diin) yang
telahberabad-abad dilestarikan dan dikembangkan. Dalam tradisi ponpes di
kalangan nahdliyyin, titik berat pendidikanponpes adalah meneruskan
tradisi keilmuan agama yg telah menjadi corpus Aswaja (Ahlussunnah wal
Jamaah) dengan memperhatikan konteks lingkungan dimana ia berada, baik
pada tataran lokal, regional, nasional, maupun global.Kendati sepintas
fokus ponpes sangat lokal, namun tak mungkin dihindarkanterjadinya
persentuhan dengan lingkup yang lebih luas. Apalgi dengan
semakinberkembangnya teknologi informasi, stereotype ponpes sebagai
lembaga pendidikanagama yang kurang gaul, terisolasi, dan tertutup,
tidak memiliki validitas yangcukup kuat. Disiplin keilmuan yang
diajarkan dalam ponpes, seperti fiqh, hampirtidak memungkinkan Kyai dan
santri untuk bersikap mengasingkan diri. Kendatidemikian, harus diakui
adanya gradasi tingkat kosmopolitanisme dalam ponpestertentu.
Itulah sebabnya, jarang ditemukan ponpes yang benar-2 uzlah (mengisolasi
diri) daripergaulan dan komunikasi dengan masyarakat sekitar. Justru
sebaliknya, ponpesmenjadi salah satu locus untuk bukan saja mencari,
mendalami dan mengembangkan keilmuan agama, tetapi jugareferensi bagi
keperluan masyarakat: mulai keperluan membaca doa sampai masalahpolitik.
Dengan demikian perpaduan antar fungsi pertama dan kedua,
senantiasaberlangsung lebih-kurang secara wajar dan natural. Hanya saja
intensitasnya sangat tergantungkepada sang Kyai dan santri serta
masyarakat sebagai pemangku kepantingan (stake holders). Bisa saja
sebuah ponpes yg beradadi sebuah lokasi pedesaan memiliki jangkauan
pengaruh (sphere of influence) yang menerobosbatas-batas geografis desa
dan bahkan kota sekitarnya. Demikian jugasebaliknya, bisa terjadi bahwa
sebuah ponpes di kota yang tidak terlalu banyakterdengar pengaruhnya di
luar komunitas sekitarnya.
Dengan adanya posisi strategis seperti ini, maka tak heran jika Geertz
menyebut peran Kyai pada suatu saat adalah semacam makelar budaya
(cultural broker) bagikomunitas pesantren dan masyarakat sekitarnya.
Kyai adalah figur yang dianggapmemiliki kelebihan dalam keilmuan agama
dan juga kemampuan menerjemahkanpengaruh-2 luar kepada komunitasnya. Gus
Dur lebih jauh ketimbang Geertz dalammelihat fungsi Kyai. Bukan saja
sebagai makelar budaya, Kyai (dan ponpes) jugamenjadi pencipta (creator)
dan penemuproduk budaya baru sebagai hasil dari perenungan, pemikiran,
dan interaksi intensifnya dengan dunia luar. Tak heran jika banyak
kalangan dari luar ponpesyang sering kaget dengan orisinalitas pemikiran
para Kyai dalam bidang-bidangyg strategis di luar lingkup ponpes. Rois
Akbar NU KH Hasyim Asyari, KH. BisriSyansuri, KH, Wahab Hasbullah, KH
Wahid Hasyim, KH Ahmad Shiddiq, KHAbdurrahman Wahid, dan banyak Kyai
besar NU adalah contoh-2 utama yg bisadisebutkan. Dan masih banyak lagi
dalam kapasitas yang berskala lokal,regional, dan nasional.
Berangkat dari latar belakang sejarah,peran dan fungsi ponpes tsb, maka
jika saat ini muncul fenomena radikalisme(gagasan, ideologi, dan
praksis) yang berdampak sangat destruktif bagimasyarakat, bangsa
Indonesia, dan ummat Islam, ponpes pun harus tampilmemberikan
kontribusinya. Ponpes dapat berkontribusi besar baik dalam
dimensitafaqquh fid-din, maupun rekayasa sosial budaya untuk membendung
danmemberantas radikalisme di lingkungannya, yang berarti juga benteng
pertamabagi bangsa dan NKRI. Ponpes baik sendiri-sendiri atau
bersama-sama, tergantungdari kapasitas dan lingkup pengaruhnya mampu
melahirkan pemikiran yang dapatdipakaiutk menolak ideologi radikal yang
mengatasnamakan ajaran Islam, sepertiideologi kaum Jihadis yg saat ini
sedang marak di negeri kita mulai dari levelakar-rumput sampai elitnya.
Lebih penting lagi, ponpes juga menjadi komponenutama dalam masyarakat
sipil menyadarkan betapa berbahayanya radikalisme tsbkarena salah satu
sasaran utamanya adalah menghancurkan nilai-2 inti (core values) yang
selama ini dijadikanpegangan dan rujukan oleh kaum nahdliyyin,yakni
nilai-2 Aswaja.
III. Strategi Ponpes Dalam Agenda De-radikalisasi
Dalam buku Antara Terorisme dan Jihad karya Dzulqarnain As-Sunusi
(2011)khususnya Bab III tentang Pandangan IslamTerhadap Terorisme,
pengertianterorisme sesuai dengan fatwa dari Al-Azhar adalah membuat
takut orang-orang yang aman, menghancurkan kemashlahatan,tonggak-tonggak
kehidupan mereka, dan (perbuatan melampaui batas terhadapharta,
kehormatan, kebebasan, dan kemuliaan manusia dengan
penuhkesewenang-wenangan dan kerusakan di muka bumi.[6] Radikalismedan
terorisme dalm pemahaman ini bertolak belakang dengan konsep Jihad
yangdiyakini oleh jumhur Ulama dan ummat Islam, yakni bersungguh-sungguh
dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawanmusuh dengan tangan,
lisan atau apa yang ia mampu.[7]Terorisme berdampak negatif dan secara
syari bertentangan dengan ajaran Islam.[8]
Sebab musabab terorismebermacam-macam dan tidak bisa hanya direduksi
menjadi satu dua sebab belaka.Namun demikian, faktor pemikiran dan
pandangan serta ideologi radikal berikutpenyebarannya adalah salah satu
yang utama. Termasuk dalam faktor ini adalahpenyebaran ideologi
Takfiriahsebagaimana yang dipropagandakan oleh kelompok-kelompok Jihadis
di mana saja.[9]Faktor-faktor struktural tentu juga ikut berperan
sebagai pendukung danpendorong berkembangnya ideologi dan praksis
radikalisme, seperti ketidakadilan, kesewenang-wenangan penguasa,
kemiskinan akut, krisis moral dalamkehidupan publik, infiltrasi dari
pihak luar, dan masih kuatnya budayakekerasan dalam suatu komunitas atau
masyarakat.
Kiranya menjadi jelaslah di mana locus peran dan fungsi ponpes dalam
petajalan (road map) agend penanggulangan ekstremisme-radikalisme. Jika
de-radikalisasi dimengerti sebagai salah satu implementasi dari
pendekatan kekuatanlunak (soft power) dalam masyarakatsipil, maka ponpes
menjadi salah satu ujung tombak terpenting dalam upayaderadikalisasi di
bidang ideologi pada akar rumput yakni komunitas Muslim diakar rumput.
Ponpes dapat berperan sebagai salah satu actor dalam deteksi
danperingatan dini (early detection and warning) terhadap gejala
munculnya virusradikalisme, dan sekaligus menjadi penangkalnya. Yang
disebut terakhir itudapat secara efektif dilakukan melalui upaya
diskursif (wacana) maupun praksis(tindakan di lapangan). Pada tataran
diskursif, ponpes dapat memberikanargument kontra berdasarkan penafsiran
ajaran-ajaran Islam yang bersumber padatradisi yang telah berabad-abad
dimiliki dan dilestarikan oleh ponpes. Padatataran praksis, ponpes dapat
ikut serta menjadi pelaksana gerakan membendungradikalisme dalam
berbagai aksi sosial dan ekonomi serta budaya.
Dalam pemahaman Aswaja di lingkungannahdliyyin, misalnya, sikap
radikal,ekstrim, berlebihan (tatharruf) tidak mendapat tempat dan
ditolak.Prinsip-prinsip tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan),
adalah (adil), adalah merupakanlandasan dalam bersikap dan bertindak
termasuk dalam mengambil keputusanhukum-hukum agama. Itulah sebabnya
mengapa ponpes sebagai sub-kultur dalammasyarakat dapat bertahan
berabad-abad dan bahkan mewarnai kehidupan sosialbudaya serta menjadi
kekuatan perubahan (agentof social changes). Kendati pendekatan ponpes
tidak radikal revolusioner, tetapi gradualisevolusioner, namun dampak
yang ditimbulkannya telah membuat sebuah warnaIslam yang moderat dan
inklusif di negeri ini. Penerapan kaidah-kaidah ushulfiqh seperti
memelihara yang lama yangmasih baik dan mengambil yang baru yang lebih
baik atau jika tidak mendapat keseluruhan, makaambillah sebagian yg
bermanfaat, atau kebiasaan adalah salah satu dasar hukum dsb menjadikan
para Kyai dan santri sertakomunitas ponpes mampu beradaptasi dan
sekaligus melakukan proses transformasiyang tidak menciptakan
dampak-dampak yang merusak harmoni sosial.
Secara kongkrit, ponpes perludilibatkan dalam agenda de-radikalisasi
sesuai dengan kapasitas dan konteksnyadalam lingkup lokal, regional dan
nasional bahkan internasional. Pendekatandari akar rumput untuk
de-radikalisasi akan efektif jika pihak pembuatkeputusan bekerjasama
secara terpadu, bukan bersifat instruksi dan tekanan dariatas, dengan
ponpes serta ormas-ormas sperti NU yang menaungi ratusan ribulembaga
pendidikan Islam tradisional. Jika ini dilakukan, maka sebuah beteng
(bullwark) yang kokoh untuk membendung radikalisme akan terbangun. Dan
ini berarti bahwa ponpes sekali lagi akan menjadi pemeran sejarah yang
penting dalam ikut memelihara dan menjaga keamanan nasional NKRI.
IV. Penutup
Ancaman dan bahayaradikalisme merupakan masalah nasionalyang harus
dihadapi oleh seluruh komponen bangsa, termasuk masyarakat
sipil,diseluruh tanah air. Marknya ideologi radikal dan
organisasi-organisasi yangmenggunakan pendekatan kekerasan termasuk
terorisme, harus menjadi kepedulianseluruh warganegara, termasuk
komunitas pesantren. Sebaliknya, para pengambilkeputusan di tingkat
nasional maupun regional dan lokal harus mampumemberdayakan potensi yang
sudah terbukti sumbangsihnya selama berabad-abadlamanya dalam membangun
komunitas dan masyarakat melalui pendidikan agama,yakni lembaga pondok
pesantren. Penanggulangan radikalisme atau de-radikalisasisebagai sebuah
strategi yang dianggap efektif dalam jangka panjang
haruslahdikembangkan secara kontekstual dengan melibatkan para pemangku
kepentinganserta potensi yg dimiliki mereka.
Sudah saatnya pelibatan ponpes dalamde-radikalisasi diimplementasikan
dengan menggunakan peta jalan, strategi danupaya-upaya yang jelas,
komprehensif, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkankinerjanya. Salah
satu yang bisa dikembangkan dalam strategi dan upayade-radikalisasi
melalui peran ponpes adalah dalam dimensi ideologi, yaknimelakukan
kontra ideologi radikal kelompok Jihadisdengan pengembangan wacana dan
praksis keagamaan yang dimotori oleh ponpes.Berbekal pengalaman dan
kapasitas dalam bidang kajian dan pendidikan agama ygsudah menyejarah,
serta bukti-bukti nyata peran ponpes dalam proses nation and character
building selamasejarah NKRI, tak dapat diragukan lagibahwa ponpes akan
memberikan kontribusinya yang signifikan. Bukan saja ia akan menjadi
salah satu wahana bagi deteksi dan peringatan dini thd bahaya virus
radikalisme, tetapi juga pelaksana yang memiliki baik kapasitas maupun
kesiapan dalam komunitas akar rumput yang menjadi salah satu sasaran
utam darikelompok-kelompok penyebar radikalisme di negeri ini.
(Tulisan ini adalah ringkasan makalah dalam acara Bedah Buku “Antara
Jihad dan Terorisme”, diseenggarakan oleh Yayasan Salafiyah Kholidiyah,
Plumpang Tuban, Jatim, tgl 8 Juni 2013)
Catatan:
[1] Radikalisme adalah gabungan dari duakata radikal dan isme. Radikal
berasal dari kata radix atau akar. pengertian radikal adalah sesuatuyg
ekstrim, fundamental, atau drastis. Radikalisme adalah paham
yangmenghendaki perubahan drastis dan ekstrim. Perubahan radikal tidak
selaluberarti negatif, tetapi radikalisme lebih cenderung berkonotasi
negatif karenapemakaian cara-cara ekstrim, kekerasan dan destruksi
(perusakan) terhadaptatanan dan nilai yang ada demi mencapai tujuan.
[2]Kelompok Khawarij adalah kelompok Muslim yang pada mulanya menyokong
Sayidina Ali bin Abi Thalib, KW, tetapi kemudianmengingkari, menolak
kepimpinan beliau dan bahkan melakukan pembunuhan terhadapbeliau dan
juga sebelumnya thd SayyidinaUtsman Ibn Affan, RA. Lihat
(http://ms.wikipedia.org/wiki/Khawarij,diunduh 6/6/2013).
[3]Dengan demikian kelompok Khawarij bisa disebut juga sebagai kelompok
Takfiri (yang mengafirkan) yang pertamadan cikal bakal kelompok-kelompok
Takfiriyang ada sampai sekarang.
[4]Menarik bahwa pemimpin kaum Adat yang diperangi oleh Ulama di
Sumatera Barattsb, bergelar Sultan, yaitu YangDipertuan Agung Sultan
Arifin Muningsyah. Tidak mungkin gelar tersebutdiberikan kecuali kepada
seseorang yang beragama Islam. Konflik tsb berubahmenjadi perang melawan
penjajah, ketika kaum Adat meminta bantuan Belanda untukmengalahkan
pihak kaum Padri. Lihat
(http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri,diunduh tgl. 6/6/2013)
[5]Kecilnya jumlah kelompok dan pendukung kaum radikal Islam di
Indonesia tidakberarti bahwa pengaruh mereka tidak signifikan, atau
bahwa kerusakan sertakekacauan yang ditimbukan juga kecil. Fakta yang
ada menunjukkan bahwakorban-korban terorisme, baik rakyat maupun aparat,
serta kerusakan harta-bendadan fasilitas, belum lagi pengaruh
psikologis yg ditimbulkannya adalah sangatbesar baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Baca, misalnya, Wawan H.Purwanto, Satu Dasawarsa
Terorisme diIndonesia, Jakarta: CMB Press, 2012.
[6]Dzulqarnain As-Sunusi, Antara Jihad danTerorisme, edisi revisi, Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2011, hal. 126
[7]Definisi yang dikutip As-Sunusi dari Ar-Raghibal-Ashbahany, op. cit, hal. 53.
[8]Disebutkan ada 16 (enambelas) dampak negatif dari teorisme secara
syari: 1) Penentangan thd Allah danRasulNya; 2) Keluar dari Jamaah kaum
Muslimin; 3) Pembangkangan thd Penguasa(yg sah); 4) Perbuatan bidah
dalam agama; 5) Penghianatan dan melangar janji;6) Pelanggaran thd
perjanjian kaum Muslimin; 7) Perbuatan dzalim dan melampauibatas;
Terhambatnya penyebaran agama Allah; 9) Terciptanya rasa takut ditengah
kaum Muslimin; 10) Terjadinya bahaya di tengah kaum Muslimin;
11)Penguasaan orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin; 12) Pembunuhan
jiwa ygtidak bersalah; 13) Tersakitinya kaum Muslimin yang tak berdosa;
14) Timbulnyakerusakan di muka bumi; 15) Orang-orang yang berkomitmen
terhadap agamanyamenjadi bahan celaan dan cercaan; dan 16) Perusakan
harta benda yang terjagadan dilindungi Syariat. op. cit, hal.204-219.
[9]As-Sunusi mengatakan ada 13 (tigabelas) penyebab munculnya terorisme:
1) Jauhdari tuntunan syariat Allah; 2) Jahil terhadap tuntunan Syariat
dansedikitnya pemahaman agama; 3) Sikap ekstrim; 4) Jauh dari tuntunan
ulama; 5)Mengikuti ideologi menyimpang; 6) Hizbiah (pengelompokan, red)
terselubung; 7)Tersebarnya buku-buku yang memuat ideologi terorisme;
Mengikuti semangatbelaka; 9) Makar musush-musuh Islam; 10) Tidak
diterapkannya hukum Allah padakebanyakan negeri Islam; 11) Paham
Khawarij; 12) Kerusakan media massa; dan 13)Diletakkannya berbagai
rintangan terhadap dakwah yang haq. Op.cit, hal.165-203
0 komentar:
Posting Komentar