Pertanyaannya, bagaimana bisa seseorang
yang memilih pemimpinnya berdasarkan keyakinan dan agama yang ia yakini
dianggap kesalahan dan menjurus ke SARA?
Suaraislam
Oleh: Muhammad Rahman
AKHIR-AKHIR ini atmosfir perpolitikan di Indonesia
cukup memanas.Tepatnya setelah PDIP melalui Ketua umumnya menjatuhkan
pilihan kepada petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Meskipun terdapat penolakan dari sekelompok akar umbi PDIP yang tidak
setuju, puncaknya salah satu putra dan kader terbaik partai yang juga
anak mantan Gubernur DKI Ali Sadikin memilih hengkang dari partai
moncong putih tersebut karena tidak setuju atas penunjukkan Ahok sebagai
Cagub.
Terlepas dari keputusan keluarnya anak mantan gubernur ke-7 DKI
tersebut, ada perkara yang lebih menarik untuk dicermati, yaitu apa yang
membuat Mega lebih memilih Ahok yang jelas bukan dari kader partainya,
terlebih di saat hadirnya Risma yang digadang-gadangkan mampu menandingi
elektabilitas seorang Ahok. Lalu apa yang membuat Mega jatuh hati pada
Ahok?
Berbagai media menurunkan judul yang beragam ketika mengulas alasan
Mega menggunakan haknya sebagai ketua umum dengan menunjuk Ahok sebagai
Cagub. Kompas sebagai contoh memuat judul, “Pilih Ahok, Mega Gunakan Hak Prerogatifnya”, sementara detik.com menurunkan judul, “Totalitas Megawati Dukung Ahok: ‘Pasang Badan’ hingga Jas Merah”, lain pula halnya dengan Tempo, mereka memilih judul, “Dampingi Ahok-Djarot ke KPU, Megawati: Dia Didukung Rakyat”.
Meski judul yang berbeda, kesemuanya mengarah pada point yang sama,
bahwa alasan terkuat Mega memilih Ahok adalah, bahwa dia menilai Ahok
seorang yang memiliki jiwa Pancasila, dan dianggap seorang pemimpin yang
tidak akan menimbulkn isu SARA.
“Kita adalah satu jiwa Bhinneka Tunggal Ika. Kami tidak ingin mencari
seseorang yang menimbulkan SARA karena Indonesia ini negara dengan
kemajemukan luar biasa,” tulis Kompas, Rabu, 21 September, 2016.
“Kami tidak ingin mencari pemimpin di suatu daerah untuk menimbulkan
SARA. Kami ini negara dengan kemajemukan yang luar biasa, Bhinneka
Tunggal Ika,” tulis detik, Rabu, (21/6/2016).
Sementara Tempo memuat kutipannya sebagai berikut: “Sebagai ketum,
sebenarnya kalau mau milih pemimpin seharusnya orang yang akan didukung
rakyat. Orang ini punya rasa kebangsaan, nasionalisme.PDIP ideologinya
adalah pancasila, segingga tidak ada lagi perbedaan.Bhinneka tunggal
ika.Kami ingin mencari seseorang pemimpin daerah tanpa menimbulkan
adanya Sara,” (Tempo, Rabu, 21 September, 2016).
Ada satu kata yang paling menarik untuk kita cermati dalam alasan
penunjukkan Ahok oleh Mega di atas, kata tersebut adalah kata SARA.
SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan) adalah perkataan atau
tindakan yang mengarah pada sentimen identitas seseorang yang menyangkut
keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan.Setiap perkara
yang berbentuk kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan
pada identitas diri dan golongan dapat dikategorikan sebagai tindakan
SARA.
Dari definisi SARA di atas dapat kita klasifikasikan kepada dua
kelompok, pertama, perkara yang manusia tidak punya pilihan di sana,
yaitu suku, ras, dan golongan, yang kedua sisi yang manusia bisa
memilih, yaitu agama.
Pertanyaannya kemudian kenapa agama bisa dijadikan isu SARA,
bagaimana bisa seseorang yang memilih pemimpinnya berdasarkan keyakinan
dan agama yang ia yakini dianggap kesalahan dan menjurus ke SARA,
padahal UUD menjamin seseorang untuk menjalankan agama dan kepercayaanya
masing-masing. Kalau seseorang menimbulkan sentimenkesukuan , ras, dan
golongan sosial, dalam menentukan pilihannya wajar dianggap salah dan
SARA.
Karena itu memang ketentuan kodrati yang kita tidak punya ruang untuk
memilih, apakah harus terlahir dari Rahim seorang Jawa, Makassar,
Melayu atau Minang.
Dan menghina atau melecehkan seseorang berdasarkan etnis atau suku,
warna kulit, dan ras jelas bertentangan dengan agama dan kemanusiaan.
Berbeda dengan agama, meski kita tidak bisa memilih untuk terlahir
dari keluarga Muslim atau Kristiani, tapi kita tetap bisa memilih untuk
wafat dalam agama tersebut atau tidak. Lantas apa yang salah dengan
seseorang memilih pemimpin yang sesuai dengan Agamanya?
Apakah itu harus dan perlu masuk dalam isu SARA.Hanya orang-orang
yang tidak dewasa yang memiliki kepentingan tertentu yang harus
kebakaran jenggot dan gusar ketika pemilih Muslim memilih pemimpin yang
juga Muslim di Negara yang mayoritas Muslim.
Sesorang yang menentukan pemimpin atas agama tidak seharusnya
dikategorikan dalam isu SARA. Seseorang bebas memilih siapa yang ia
yakini. Justru kriminalisasi dan tindakan memata-matai para tokoh agama
dalam orasi dan nasehatnya tentang konsep pemimpin yang diyakini adalah
satu tindakan SARA yang sesungguhnya, dan sangat melawan UUD dan jelas
menciderai semangat Pancasila.
Sungguh Ironis, di saat para muballigh dilarang menyampaikan nasehat
politiknya di masjid, tapi tidak ada satu orangpun para pembela dan
pengusung Anti SARA ini yang kemudian bersuara ketika tokoh partai
beragama Kristen yang masuk kemasjid dengan baju dan atribut partai yang
ia kenakan. Semuanya seolah bungkam diam seribu bahasa.
Mungkin ini lebih pada alergi dan sentimensemata, atau justru
sebenarnya mereka sedang mempertontonkan contoh terbaik dari tindakan
SARA yang sebenarnya. Padahal ketika seseorang menyuarakan memilih
pemimpin sesuai agamanya, tidak harus serta merta dipahami mengejek atau
menghina agama lain. Ini lebih soal keyakinan. Apakah kemudian orang
kristian atau pemeluk agama lainjuga tidak menyeru kepada pemimpin yang
seagama, apakah gereja benar-benar steril dari politik? Atau ini hanya
dagangan usang sekularisme yang ingin memisahkan agama dari panggung
politik, lalu akhirnya malah ingin membunuh Tuhan bak Friedrich
Nietzsche.
Sederhananya, kita perlu mendudukkan istilah SARA ini kembali, siapa
yang sebenarnya merumuskan istilah ini, dan apa tujuan di sebalik
pengistilahan ini. apakah benar-benar membela kemanusian dan minoritas,
atau malah startegi untuk mentamukan tuah rumah dinegeri sendiri. Dan
menjadikan mayoritas sebagai minoritas yang harus selalu mengalah dan
kalah. Wallahu A’lam.*
Pertanyaannya, bagaimana bisa seseorang yang memilih pemimpinnya
berdasarkan keyakinan dan agama yang ia yakini dianggap kesalahan dan
menjurus ke SARA?
Alumni International Islamic University of Malaysia
0 komentar:
Posting Komentar