Penolakan atas pawai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Tulungagung,
Jawa Timur menjadi perhatian publik baru-baru ini. Sabtu, 1 April 2017,
200 personel Banser Tulungagung dan Trenggalek membubarkan pawai HTI
yang hendak menuju ke Surabaya untuk mengikuti kirab. Bahkan ketegangan
antara GP Ansor-Banser dan HTI tidak hanya terjadi kali ini saja, pada
Tahun 2016 di Jember kejadian yang hampir serupa juga terjadi.
Wacana
untuk membubarkan HTI yang dimunculkan GP Ansor-Banser Jatim dua hari
yang lalu menjadi mengemuka juga di media massa cetak dan elektronik.
Abid Umar Faruq selaku Satkorwil Banser Jatim mengemukakan bahwa HTI
merupakan organisasi makar yang tidak mengakui dan menolak Pancasila dan
UUD 1945 (Detik, 2/4/2017). Tentu kekhawatiran GP Ansor-Banser cukup
dapat dipertimbangkan karena menyangkut ideologi negara dan keutuhan
bangsa. Namun di sisi lain wacana tersebut mendapat respon negatif dari
berbagai kalangan.
Tulisan ini memang tidak
secara khusus membahas HTI dan pergerakannya, namun membahas ormas
anti-NKRI secara umum. Karena terdapat keraguan soal pembubaran ormas
anti-NKRI dimungkinkan secara hukum. Selain itu terdapat juga keraguan
mengenai benturan antara jaminan kebebasan berserikat dalam UUD 1945 dan
pembubaran ormas anti-NKRI. Untuk itu tulisan ini berusaha menjawab
keraguan-keraguan tersebut berdasarkan aspek hukum.
Kebebasan Berserikat dalam UUD 1945 & UU Ormas
Kecenderungan
berorganisasi dalam perkembangannya menjadi salah satu kebebasan dasar
manusia yang diakui secara universal. Tanpa adanya kemerdekaan
berserikat seseorang tidak dapat mengekspresikan pendapat menurut
keyakinan dan hati nuraninya.
Dalam UUD 1945 terdapat dua pasal yang menjamin kebebasan berserikat. Pertama, Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kedua, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Jika ditarik kesimpulannya, kedua pasal ini sama-sama menjamin
kemerdekaan berserikat namun hanya Pasal 28 yang menetapkan kemerdekaan
berserikat dengan undang-undang.
Sebagai bentuk
dari jaminan kebebasan berserikat terdapat UU Nomor 17 Tahun 2013
tentang Ormas yang mengatur mengenai pelaksanaan kebebasan berserikat
oleh ormas. Tidak hanya hak dari ormas maupun hal-hal yang bersifat
administratif, namun juga kewajiban, pembatasan, dan larangan. Sebagai
contoh pada Pasal 2 UU Ormas menggariskan bahwa setiap ormas yang ada di
Indonesia tidak boleh mempunyai asas bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945.
Secara umum kebebasan berserikat
memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi
keamanan nasional dan keselamatan publik, mencegah kejahatan, melindungi
kesehatan dan moral, serta melindungi hak dan kebebasan yang lain.
Lebih tegas, Sam Issacharoff menyebutkan bahwa negara berwenang melarang
atau membubarkan suatu organisasi yang mengancam demokrasi, tatanan
konstitusional/dasar negara, serta masyarakat (Sam Issacharoff, 2006:
6).
Artinya negara demokratis tidak hanya
menjamin hak kelompok tertentu, namun juga menjamin dan melindungi dasar
negara di sisi lain. Namun pembubaran ormas harus dilakukan secara
hati-hati agar tidak mencederai kebebasan berserikat sendiri. Secara
prosedural pembubaran ormas diputus terlebih dahulu oleh pengadilan
untuk menjamin keadilan.
NU Harus Bersikap
Dalam Pasal 59 ayat (2) UU Ormas disebutkan larangan-larangan untuk ormas sebagai berikut :
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.
melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban
umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau
e. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahkan ayat (4) menegaskan bahwa Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Apabila dilihat sekilas Pasal 59 ayat (2) huruf c dan Pasal 59 ayat (4)
UU Ormas dapat menjadi dasar hukum untuk membubarkan ormas anti-NKRI.
NU
dan Nahdliyin memiliki tugas luhur untuk menjaga keutuhan Indonesia.
Dalam menghadapi ormas anti-NKRI, NU telah menunjukkan tindakan-tindakan
nyata. Bukan tidak mungkin tindakan hukum bisa dilakukan NU di kemudian
hari. Penulis berpendapat bahwa Nahdliyin harus berhati-hati dalam
menafsirkan hukum, karena memahami pasal-pasal dalam suatu undang-undang
tanpa membaca penjelasannya akan menimbulkan kesalahpahaman. Penjelasan
Pasal 59 ayat (4) menyebutkan hanya Atheisme dan Komunisme/Marxisme
yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan Pasal 59 ayat (2)
huruf c harus dimaknai bahwa ancaman kedaulatan NKRI harus didahului
dengan adanya aksi-aksi separatis atau memisahkan diri dari NKRI. Pun
demikian dari seluruh poin-poin yang tertera dalam Pasal 59 ayat (2) UU
Ormas, dimana sebuah pelanggaran atas larangan harus disertai dengan
perbuatan.
Bagaimana NU harus bersikap? NU
beserta warganya harus terlibat aktif dalam mengawasi pergerakan dari
ormas yang disinyalir anti-NKRI. Mungkin saat ini belum terdapat ancaman
nyata yang dirasakan oleh masyarakat, namun bukan berarti potensi
ancaman tidak akan muncul di masa yang akan datang.
Sebelum
adanya putusan pembubaran ormas dari Pengadilan Negeri terdapat
permohonan pembubaran ormas yang diajukan oleh kejaksaan. Pengajuan oleh
kejaksaan hanya dapat terlaksana ketika terdapat permintaan tertulis
dari menteri Hukum & HAM. Menurut penulis NU maupun Nahdliyin dapat
menunjukkan bukti-bukti bahwa suatu ormas telah melakukan tindakan yang
dilarang dalam UU Ormas kepada menteri Hukum & HAM. Disinilah NU
sebagai masyarakat sipil harus terlibat apabila ancaman tersebut telah
terjadi.
Namun semua pihak harus tetap
menghormati proses hukum yang berjalan, karena kewenangan untuk
membubarkan ormas anti-NKRI ada di tangan negara. Tentu penafsiran hukum
dari menteri Hukum & HAM, jaksa, dan hakim yang dapat dibenarkan di
mata hukum. Sehingga NU dan nahdliyin tidak perlu ikut gaduh dalam
mengatasi kondisi demikian sebagai sikap kita meneladani teduhnya
kyai-kyai NU. Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Unpad dan anggota KMNU Padjadjaran
0 komentar:
Posting Komentar