(ICMI Media) - Paham radikalisme kini tidak hanya
menjangkiti kalangan bawah yang minim pendidikan, tetapi juga mulai
mewabah ke kalangan intelektual di perguruan tinggi.
Fenomena ini tercermin dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam satu dekade terakhir pasca Reformasi (Kompas, 19/2).
Sungguh memprihatinkan, perguruan tinggi (PT) yang sejatinya merupakan institusi bagi pengembangan keilmuan dan sumber daya manusia, serta turut membantu dalam pembangunan bangsa, kini dalam kadar tertentu berubah fungsi menjadi wahana penyemaian paham yang membahayakan keutuhan negara.
Akar radikalisme
Dari berbagai bentuk radikalisme atas nama agama, mayoritas kalangan yang paling mudah diinfiltrasi berasal dari kalangan anak-anak muda yang masih dalam proses pencarian jati diri. Apabila mencermati gerakan radikal di kampus, banyak faktor penyebab yang bisa dianalisis. Namun, di sini penulis lebih tertarik pada dua faktor utama.
Pertama, latar belakang pemahaman keagamaan yang minim dan keliru. Dari pemahaman agama yang tekstual dan sepotong- sepotong, biasanya kaum intelektual yang berasal dari kampus sekuler (non-keagamaan) mudah terperangkap oleh fundamentalisme dan eksklusivisme keberagaman.
Selama ini, kita ketahui dari laporan media massa dan berbagai penelitian ilmiah bahwa target perekrutan jaringan radikal banyak berasal dari kalangan mahasiswa PT umum, terutama dari fakultas-fakultas sains. Mengapa demikian? Sudah tentu itu adalah cara efektif agar proses infiltrasi dan indoktrinasi mudah dilakukan karena pemahaman keagamaan kalangan ini cenderung kurang memadai.
Otak mereka dicuci (brainwashing) secara terstruktur dan sistematis, tujuannya menanamkan pemahaman bahwa Indonesia adalah negara thaghut (penguasa zalim) yang tidak wajib dipatuhi dan mesti diperangi.
Hal itu juga terkonfirmasi dari penelusuran LIPI bahwa kampus-kampus umum—seperti UGM, UI, ITB, ITS, IPB, Undip, Unair, Unibraw—termasuk PT yang selama ini banyak dijangkiti paham radikal. Namun, tren itu kini sedikit meluas. Seperti kita ketahui, ada PT yang bercorak keagamaan, seperti UIN/IAIN, juga menunjukkan segelintir mahasiswanya telah beberapa kali terlibat gerakan radikal kendati kuantitasnya tidak begitu banyak ketimbang PT umum. Keterlibatan oknum mahasiswa PT keagamaan itu terjadi karena adanya perubahan orientasi dan ekspansi keilmuan yang bersifat umum.
Kedua, faktor ketimpangan dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang masih mengakar dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, fragmentasi politik dan sosial yang menjalar ke berbagai lapisan masyarakat, baik di akar rumput maupun kalangan terdidik (intelektual), berpotensi, bahkan telah menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas. Kemudian timpangnya ekonomi yang dipicu oleh kenaikan harga bahan kebutuhan sehari- hari membuat masyarakat semakin terjepit. Akibatnya, orang atau kelompok yang tak berdaya ini dengan mudah disulut dan bahkan ditunggangi oleh kelompok radikal untuk bertindak anarkis dan melanggar hukum.
Langkah penangkalan
Radikalisme yang terjadi di kalangan intelektual dan generasi muda adalah masalah serius yang mesti ditangani karena proses penyebaran yang dilakukan cenderung tertutup dan berdampak pada perilaku intoleran dan anarkis. Menyikapi masalah ini, penulis mengusulkan beberapa langkah.
Pertama, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi dapat bekerja sama dengan PT- PT—negeri ataupun swasta—dalam membuat program bina damai keberagaman di kampus. Program ini, misalnya, bisa dilakukan dengan sosialisasi pemahaman akan toleransi, inklusivisme, multikulturalisme, serta bahaya paham radikalisme. Bila perlu melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang merupakan institusi khusus dalam penanganan terorisme. Kegiatan ini dapat disampaikan saat orientasi pengenalan akademik berlangsung. Dengan demikian, ada upaya preventif sebelum mahasiswa lebih jauh mengikuti aktivitas di kampus.
Kedua, dengan merevitalisasi kurikulum dan mengevaluasi pengajaran setiap semester, terutama terkait mata kuliah yang bersifat ideologis, seperti Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Agama. Selama ini,pengajaran mata kuliah di atas cenderung berkutat pada aspek kognisi, yang belum menyentuh tataran afeksi dan sikap.
Ketiga, pihak kampus dapat bekerja sama dengan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus yang relatif moderat, seperti HMI, PMII, IMM, PMKRI, dan GMNI, dalam membantu mencairkan pemahaman gerakan radikal di kampus. Selama ini, kampus yang terjangkit paham radikalisme ditengarai akibat tumbuh suburnya organisasi lembaga dakwah kampus yang bersifat eksklusif.
Banyak analisis terkait sepak terjang lembaga dakwah kampus yang mengekslusi. Misalnya, adanya pengaderan dan mentoring pemahaman Islam secara under ground dan penguasaan masjid kampus secara sepihak dan eksklusif.
Contoh yang pernah terjadi, beberapa mahasiswa dibujuk mengikuti ajaran NII ataupun ISIS. Melalui proses pencucian otak, banyak korban bersaksi tentang paham yang sarat muatan radikal dan anti konstitusi, seperti diperbolehkannya melakukan kekerasan, pencurian, pengabaian ibadah, dan perilaku menyimpang lainnya. Itulah beberapa langkah yang kiranya relevan dilakukan sebagai upaya menangkal radikalisme agama di kalangan intelektual, khususnya di sejumlah kampus PT Indonesia belakangan ini.
Oleh: Andi Faisal Bakti, Pengurus ICMI Pusat Bidang Pendidikan Tinggi dan juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila
Editor : Imam Santoso
Fenomena ini tercermin dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam satu dekade terakhir pasca Reformasi (Kompas, 19/2).
Sungguh memprihatinkan, perguruan tinggi (PT) yang sejatinya merupakan institusi bagi pengembangan keilmuan dan sumber daya manusia, serta turut membantu dalam pembangunan bangsa, kini dalam kadar tertentu berubah fungsi menjadi wahana penyemaian paham yang membahayakan keutuhan negara.
Akar radikalisme
Dari berbagai bentuk radikalisme atas nama agama, mayoritas kalangan yang paling mudah diinfiltrasi berasal dari kalangan anak-anak muda yang masih dalam proses pencarian jati diri. Apabila mencermati gerakan radikal di kampus, banyak faktor penyebab yang bisa dianalisis. Namun, di sini penulis lebih tertarik pada dua faktor utama.
Pertama, latar belakang pemahaman keagamaan yang minim dan keliru. Dari pemahaman agama yang tekstual dan sepotong- sepotong, biasanya kaum intelektual yang berasal dari kampus sekuler (non-keagamaan) mudah terperangkap oleh fundamentalisme dan eksklusivisme keberagaman.
Selama ini, kita ketahui dari laporan media massa dan berbagai penelitian ilmiah bahwa target perekrutan jaringan radikal banyak berasal dari kalangan mahasiswa PT umum, terutama dari fakultas-fakultas sains. Mengapa demikian? Sudah tentu itu adalah cara efektif agar proses infiltrasi dan indoktrinasi mudah dilakukan karena pemahaman keagamaan kalangan ini cenderung kurang memadai.
Otak mereka dicuci (brainwashing) secara terstruktur dan sistematis, tujuannya menanamkan pemahaman bahwa Indonesia adalah negara thaghut (penguasa zalim) yang tidak wajib dipatuhi dan mesti diperangi.
Hal itu juga terkonfirmasi dari penelusuran LIPI bahwa kampus-kampus umum—seperti UGM, UI, ITB, ITS, IPB, Undip, Unair, Unibraw—termasuk PT yang selama ini banyak dijangkiti paham radikal. Namun, tren itu kini sedikit meluas. Seperti kita ketahui, ada PT yang bercorak keagamaan, seperti UIN/IAIN, juga menunjukkan segelintir mahasiswanya telah beberapa kali terlibat gerakan radikal kendati kuantitasnya tidak begitu banyak ketimbang PT umum. Keterlibatan oknum mahasiswa PT keagamaan itu terjadi karena adanya perubahan orientasi dan ekspansi keilmuan yang bersifat umum.
Kedua, faktor ketimpangan dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang masih mengakar dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, fragmentasi politik dan sosial yang menjalar ke berbagai lapisan masyarakat, baik di akar rumput maupun kalangan terdidik (intelektual), berpotensi, bahkan telah menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas. Kemudian timpangnya ekonomi yang dipicu oleh kenaikan harga bahan kebutuhan sehari- hari membuat masyarakat semakin terjepit. Akibatnya, orang atau kelompok yang tak berdaya ini dengan mudah disulut dan bahkan ditunggangi oleh kelompok radikal untuk bertindak anarkis dan melanggar hukum.
Langkah penangkalan
Radikalisme yang terjadi di kalangan intelektual dan generasi muda adalah masalah serius yang mesti ditangani karena proses penyebaran yang dilakukan cenderung tertutup dan berdampak pada perilaku intoleran dan anarkis. Menyikapi masalah ini, penulis mengusulkan beberapa langkah.
Pertama, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi dapat bekerja sama dengan PT- PT—negeri ataupun swasta—dalam membuat program bina damai keberagaman di kampus. Program ini, misalnya, bisa dilakukan dengan sosialisasi pemahaman akan toleransi, inklusivisme, multikulturalisme, serta bahaya paham radikalisme. Bila perlu melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang merupakan institusi khusus dalam penanganan terorisme. Kegiatan ini dapat disampaikan saat orientasi pengenalan akademik berlangsung. Dengan demikian, ada upaya preventif sebelum mahasiswa lebih jauh mengikuti aktivitas di kampus.
Kedua, dengan merevitalisasi kurikulum dan mengevaluasi pengajaran setiap semester, terutama terkait mata kuliah yang bersifat ideologis, seperti Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Agama. Selama ini,pengajaran mata kuliah di atas cenderung berkutat pada aspek kognisi, yang belum menyentuh tataran afeksi dan sikap.
Ketiga, pihak kampus dapat bekerja sama dengan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus yang relatif moderat, seperti HMI, PMII, IMM, PMKRI, dan GMNI, dalam membantu mencairkan pemahaman gerakan radikal di kampus. Selama ini, kampus yang terjangkit paham radikalisme ditengarai akibat tumbuh suburnya organisasi lembaga dakwah kampus yang bersifat eksklusif.
Banyak analisis terkait sepak terjang lembaga dakwah kampus yang mengekslusi. Misalnya, adanya pengaderan dan mentoring pemahaman Islam secara under ground dan penguasaan masjid kampus secara sepihak dan eksklusif.
Contoh yang pernah terjadi, beberapa mahasiswa dibujuk mengikuti ajaran NII ataupun ISIS. Melalui proses pencucian otak, banyak korban bersaksi tentang paham yang sarat muatan radikal dan anti konstitusi, seperti diperbolehkannya melakukan kekerasan, pencurian, pengabaian ibadah, dan perilaku menyimpang lainnya. Itulah beberapa langkah yang kiranya relevan dilakukan sebagai upaya menangkal radikalisme agama di kalangan intelektual, khususnya di sejumlah kampus PT Indonesia belakangan ini.
Oleh: Andi Faisal Bakti, Pengurus ICMI Pusat Bidang Pendidikan Tinggi dan juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila
Editor : Imam Santoso
0 komentar:
Posting Komentar