Aksi demonstrasi anti Gubernur Petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama yang dimotori kelompok pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno
ternyata tak sekadar gerakan menegakan hukum. Lebih dari itu, aksi itu
justru membangkitkan benih-benih radikalisme yang bertujuan menjadikan
Indonesia sebagai negara yang bersyariat (Khilafah) atau berideologi
Islam secara total.
Hal ini sangat masuk akal mengingat salah satu partai pengusung
Anies-Sandi yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai yang
getol memperjuangkan negara khilafah di Indonesia. “Kalau kita melihat
gerakan yang ada, jelas politik pilkada dan sasarannya Ahok. Aksi bela
Islam dan ulama itu kedoknya saja,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Arbi Sanit di
Jakarta, Sabtu (1/4).
Menurutnya, semua gerakan melawan Ahok itu hanya secara formal memakai
pilkada, tetapi sebenarnya dibalik formalitas itu secara ril mau
menghidupkan negara agama atau negara Islam. Saat ini, cita-cita
menghidupkan negara Islam mulai muncul dengan konsep negara
khilafah.”Saya kira, ini sangat berbahaya,” tegasnya.
Salah satu partai pendukung Anies-Sandi yaitu PKS memang paling terdepan
memperjuangkan penerapan syariah Islam melalui penegakan khilafah.
“Saya sangat setuju dengan khilafah. Inilah yang akan menyatukan umat
Islam,” ujar pentolan PKS H. Adih Amin, Lc., MA
Sejauh ini, pasangan Anies-Sandi serta pendukungnya terus memainkan
politik SARA di Jakarta. Hal ini terlihat masifnya spanduk penolakan
mensalatkan jenazah, kampanye di masjid,masjid taqlim hingga rencana
Jakarta Bersyariah.
Arbi melihat, politik SARA ini secara intensif menyerang Ahok. Hingga
kini, sentimen SARA terhadap Ahok terus dikembangkan di Jakarta. Hal ini
dimobilisasi sedemikian intensif oleh Anies-Sandi serta pendukungnya,
mulai dari kelompok pengajian, masjid hingga sekolah. “Orang yang tidak
mendukung politik SARA di cap setan tidur. Ini semacam intimidasi,
supaya gerakan anti Ahok ini bekembang terus,” tuturnya.
Guru Besar UI ini melihat, orang-orang yang anti Ahok selama ini mulai
tokoh politik, ulama, kelompok dan individu, sebenarnya mudah
terindentifikasi. Mereka adalah orang yang tidak suka dengan Ahok.
Karena itu, gerakan anti Ahok ini direkayasa secara sistematik dengan
menjadikan agama sebagai jualan utamanya.
Namun, Arbi menyakini kedewasan politik pemilih Jakarta sangat tinggi
sehingga tidak mudah terbuai oleh jualan politik pragmatis ini. “Warga
Jakarta adalah pemilih cerdas, bisa memilih dan memilah,” urainya.
Arbi melihat, gerakan menjatuhkan Ahok ini sebenarnya bukan baru. Awal
gerakan ini muncul saat Ahok naik menjadi Gubernur menggantikan Joko
Widodo yang terpilih menjadi Presiden.
Bahkan kelompok anti Ahok ini sampai mengangkat Gubernur DKI Tandingan
Fakhrurrozi Ishaq. “Dan puncak dari gerakan anti Ahok ini terjadi
sekarang. Sekarang sedang dibangun dua kekuatan anti Ahok yang saling
berhadap-hadapan yaitu kekuatan sosial politik agama dan nasionalis.
Indikasinya dalam demo terakhir, sentimen anti Ahok menguat. Dan yang
mengkhawatirkan, cita-cita menghidupkan negara Islam mulai muncul dengan
konsep negara khilafah. Kekuatan ini berhadapan dengan masyarakat yang
tetap menginginkan NKRI,” ungkapnya.
Sebelumnya, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas
Saidi menyebut aksi bela Islam menunjukkan fenomena menguatnya kelompok
masyarakat yang memahami agama hanya berdasarkan teks. Gejala itu bukan
hanya di kehidupan masyarakat, tapi juga di lingkungan kampus. “Kalau
dilihat pesimisnya, ini gejala warning, bahwa proses Islamisasi di
Indonesia ternyata religiusnya tekstualis. Ini benih-benih untuk
radikalisasi,” kata Anas.
Dia khawatir, proses Islamisasi yang selama ini tekstualis akan
menyuramkan masa depan Indonesia. Kebencian dan fitnah dipertontonkan di
ruang publik. Sementara keadaban dan sopan santun tak diutamakan. Hal
itu menandakan betapa rendahnya akal sehat. “Kebenaran yang seharusnya
ditegakkan dengan akal sehat kini mengalami penyusutan, setidaknya di
dalam ruang publik,” ujar Anas.
Demonstrasi yang seharusnya diwacanakan dengan sopan, adu argumentasi
dalam berbeda pendapat, kini berganti dengan pemaksaan kehendak oleh
sebagian kecil kelompok. Bagi Anas, ini merupakan teror terhadap
demokratisasi.
Di tengah kelompok fundamentalis yang semakin besar, meskipun
keberadaannya tidak dominan, Indonesia beruntung memiliki masyarakat
yang multikultural. “Kelompok moderat, nasionalis, maupun abangan masih
hidup di tengah masyarakat,” pungkasnya. (Gerilyapolitik)
0 komentar:
Posting Komentar