A. Pendahuluan
Munculnya isu-isu politis mengenai radikalisme Islam merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak labellabel yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme.
Secara terminologi, kiranya dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[1]Disamping istilah radikalisme, kira juga mengenal istilah fundamentalis yang memimiliki makna yang interpretable.[2] yang memang terkadang bermaksud untuk menunjuk kelompok pengembali (revivalis) dalam agama,[3] dimana kedua terminologi tersebut mengacu kepada suatu paham dimana kekerasan adalah sebagai sebuah model dalam mencapai tujuan yang hendak diperoleh berdasarkan atas isme yang mereka anut.
B. Radikalisme Dalam Berbagai Perspektif
Melihat apa yang telah dipaparkan secara sederhana dalam bab pendahuluan, kiranya tidaklah meng-herankan jika banyak kalangan (ahli hukum, sosiolog, politikus, ekonom, budayawan dan rohaniawan), meskipun bukan objek utama-nya, tertarik pada radikalisme dan menjadikan radikalisme sebagai salah satu fokus pem-bicaraan atau kajiannya.
Hanya yang membedakan antara satu kajian dengan kajiannya, adalah objek formalnya saja, sedangkan objek materialnya adalah sama yaitu radikalisme.[4] Pada sisi lain, tertariknya banyak kalangan terhadap radikalisme ini juga dikarenakan adanya gerak konvergensi ilmu pengetahuan, menjadikan pembahasan suatu ilmu pengetahuan tidak lagi terikat secara kaku dalam batas-batas formal yang telah disepakati, tetapi mengarah pada digunakannya perspektif lain dalam melihat persoalan objek materialnya.[5] Menyadari akan hal tersebut, pada bagian ini penulis akan melihat radikalisme dari berbagai perspektif, terutama dalam perspektif politik, sosiologi, budaya, ekonomi dan agama, serta melakukan refleksi masing-masing perspektif dalam tataran objek formal dengan tetap mengakui terjadinya konvergensi ilmu pengetahuan seperti yang tersebut di atas.
1. Radikalisme Dalam Perspektif Politik
Ketika orang berbicara masalah radikalisme, maka pertama yang tergambarkan adalah persoalan tersebut masuk dalam domain politik, yaitu bagaimana sesungguhnya radikalisme yang terjadi merupakan bentuk radikalisme negara yang dilakukan oleh perangkat kekuasaan yang ada terhadap warga negaranya, atau tindak radikalisme yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang dinilai memiliki sistem dan kepentingan politik yang berbeda, atau setidaknya unsur politik diterjemahkan sebagai adanya pihak lain yang campur tangan dalam fenomena radikalisme yang terjadi. Pemahaman ini kiranya tidaklah berlebihan, dan tidak salah, sebab memang dalam realitas empiriknya memperlihatkan kondisi yang tidak jauh berbeda dari pendapat atau asumsi tersebut di atas.
Tidak jauh berbedanya antara pendapat atau asumsi tersebut di atas, dengan membawa persoalan radikalisme dalam domain politik karena hanya politiklah dinilai satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara terbuka dan secara eksplesit mengembangkan berbagai teori, dan pemandangan tentang bagaimana radikalisme sebagai sarana yang inheren dan sah dipergunakan guna merebut dan mempertahankan kekuasaan yang ada, terutama teori politik yang dikembangkan pada abad pertengahan, serta teori politik Marxian dan Sosialis.
Demikian juga ketika berbicara masalah radikalisme dalam perspektif politik, maka biasanya dengan serta merta orang akan terlintas kepada radikalisme yang dilakukan oleh negara, atau radikalisme yang dilakukan oleh aktor lain selain negara yang memiliki kekuasaan (power) yang luar biasa besarnya. Cara pandang, dan simpulan yang demikian ini terjadi, karena memang negara merupakan objek utama dalam politik, sehingga ketika berbicara masalah politik, maka pada galibnya, adalah membicarakan negara,[6] atau pembicaraan mengenai hubungan antara penguasa dengan yang dikuasainya, yang oleh Hegel merupakan elemen pertama dalam ilmu politik.[7]
Sebenarnya dalam perspektif politikbukan negara itu yang terpenting, tetapi kekuasaan yang dimilikinya itulah yang menjadi perhatian utama, dan kekuasaan inilah yang dinilai merupakan sumber radikalisme. Hal ini dikarenakan, kekuasaan sebagai suatu konsep memberikan kepada orang untuk mewujudkan segala keinginan, dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan tersebut.[8] Meskipun negara bukan satu-satunya pemilik kekuasaan, namun kekuasaan yang dimiliki oleh negara sangat berbeda dengan kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi-organisasi lainnya, ataupun kekuasaan yang di miliki oleh orang perseorang. Perbedaan ini terlihat dari hak istimewa yang ada pada negara, negara bisa memaksakan warga negara untuk tunduk kepada peraturannya, jika perlu dengan sangsi hukuman.
Oleh karena itu, dalam perspektif politik, radikalisme yang terjadi menempatkan faktor kekuasaan sebagai inti persoalannya, sehingga radikalisme juga sering dimaknai sebagai bentuk dan cara perebutan kekuasaan.[9]Apalagi ketika berbicara ke-kuasaan dalam politik, maka konotosi yang sifatnya jelek, kotor, kerakusan, serta dominasi seakan sudah terkonstruksi, dan merupakan image yang melekat dari kedua konsep tersebut.[10]
Seperti dikatakan di atas, ilmu politik adalah satu-satunya ilmu yang secara terbuka dan eksplisit mengembangkan teori, atau pemikiran tentang arti pentingnya radikalisme dalam rangka memperoleh, dan mempertahankan kekuasaan. Machiavelli misalnya, dalam mengembangkan pemikiran politiknya, terutama tentang konsep kekuasaan negara menjauhkan diri dari ranah moral. Baginya hanya mengenal satu kaedah etika politik yaitu yang baik adalah apa saja yang memperkuat raja (kekuasaan), segala apa yang melayani tujuan itu harus dibenarkan, termasuk radikalisme.[11] Karena baginya kekuasaan adalah hakekat suatu negara itu sendiri yang pelaksanaannya tidak dicampuradukkan dengan pertimbangan moral, etika, bahkan hukum sekalipun.
Berbeda dengan Plato yang menganjurkan kekuasaan tersebut dijalankan secara paternalistik, yakni meniru cara seorang ayah yang arif terhadap anaknya, dan Aristoteles yang mengajukan konsep matrimonial yakni seperti yang dilakukan dalam hubungan antara suami istri, maka Machiavelli mengan-jurkan kekuasaan despotik (dari bahasa yunani ”despotike”/of master untuk menunjuk-kan penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan oleh seorang tuan terhadap budaknya).
Bahkan lebih jauh, Machiavelli menganjurkan agar penyelenggaraan ke-kuasaan negara secara dispotik itu harus dirumuskan dan diperkaya dengan kepura-puraan, kemunafikan, kelicikan, kejahatan, penghianatan dan sebagainya, demi kepen-tingan negara, yang penyelenggaraannya tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai etis, kultural, dan religius.[12] Sehingga bagi Machiavelli salah satu aspek kunci dari kekuasaan adalah radikalisme. Para penguasa politik yang enggan menggunakan radikalisme tidak akan pernah memperoleh kekuasaan, atau akan kehilangan kekuasaan yang pernah diraihnya. Namun, penggunaan radikalisme yang berlebihan akan menimbulkan kebencian pada rakyat dan mungkin akan digulingkan. Oleh karena itu, bagi Machiavelli lebih menyukai pemerintahan berbentuk republik sebagai sebuah rezim yang nonmonarkhis. Hal ini dikarenakan, republik merupakan sistem pemerintahan yang didasari pada kesepakatan antara rakyat dengan penguasa, kesepakatan ini akan memperkuat kedudukan para pe-nguasa, sehingga membatasi dilakukannya radikalisme.[13]
Pemikiran lain dalam abad pertengahan yang melakukan teoritisasi terhadap perlunya radikalisme dalam mempertahankan kekuasaan, adalah Thomas Hobbes. hal ini terlihat dari bagaimana dia mengkonstruksi kemunculan suatu negara. Kemunculan negara dikonstruksinya sebagai bentuk kesepakatan para anggota masyarakat, yang sebelum terbentuknya negara (state of nature), manusia hidup dalam pertempuran semua lawan semua. Menurutnya, diwaktu manusia hidup tanpa suatu kekuasaan umum untuk menjaga mereka semua dalam keadaan takut, mereka dalam kondisi yang dinamakan perang, dan dalam perang seperti itu setiap orang menentang setiap orang. Dalam kondisi tersebut, radikalisme dan penipuan merupakan cara yang utama dalam mempertahankan kehidupan.[14]
Agak berbeda memang antara Machiavelli dengan Thomas Hobbes me-ngenai bagaimana melaksanakan, dan menjalankan fungsi kenegaraan. Menurut Machiavelli, radikalisme menjadi sarana utama dalam melaksanakan pemerintahan, sedang-kan menurut Thomas Hobbes negara harus mendasarkan pada hukum, sehingga sekilas Thomas Hobbes tampak meletakan hukum sebagai dasar dalam suatu negara, tetapi Thomas Hobbes tetap berpikiran, bahwa demi tetap berdiri, dan tegaknya negara, penegakan hukum positif perlu diberlakukan, meskipun dengan pemaksaan agar para anggota masyarakat tetap patuh pada negara, dan karenanya hukuman mati menjadi sarana yang sangat penting dalam suatu negara.[15] Artinya, radikalisme bagi Thomas Hobbes masih tetap menjadi sarana utama dan berlindung dibalik proses penegakan hukum itu sendiri.
Di sinilah letak persoalannya, dimana pengangungan pemikiran Thomas Hobbes yang seolah meletakkan kerangka hukum sebagai segala-galanya, pada akhirnya harus terjebak pada cara-cara yang ditawarkan oleh Machiavelli dalam menegakkan hukum itu sendiri, yaitu radikalisme.
Johan Galtung. adalah salah satu sarjana politik kontemporer yang memfokus-kan kajiannya pada radikalisme dalam perspektif politik. Konseptualisasi Johan Galtung tentang radikalisme kiranya mampu memberikan penjelasan terhadap fenomena radikalisme yang ada, terutama keterkaitan antara budaya suatu masyarakat dengan radikalisme yang dilakukan. Menariknya dari konsep Johan Galtung akan radikalisme ini adalah dia mengkaitkan persoalan radikalisme dengan hak seseorang, terutama dalam hal ini hak untuk turut serta dalam politik, sehingga pengertian radikalisme menurut Johan Galtung adalah “any avoidable impediment to self-realization”.[16] Dari pengertian tersebut terlihat esensi radikalisme menurut Johan Galtung adalah terhalangnya seseorang untuk mengaktualisasikan potensi diri (terutama menyangkut hak yang ada pada individu maupun kelompok-pen) secara wajar. Karena radikalisme berkenaan dengan terhalangnya hak seseorang. maka radikalisme menurut Johan Galtung bersifat temporal, dalam arti radikalisme tersebut dapat saja ditiadakan, sehingga radikalisme bukanlah sifat hakekat dari manusia.
Lebih lanjut, Johan Galtung mencoba mengkonseptualisasikan jenis radikalisme ini ke dalam 3 bentuk, yaitu radikalisme kultural, radikalisme struktural, dan radikalisme langsung. Radikalisme kultural merupakan radikalisme yang melegitimasikan terjadinya radikalisme struktural dan radikalisme langsung. Radikalisme langsung (violence-as-action) sendiri dimaknai sebagai radikalisme yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian-kejadian atau perbuatan, sehingga mudah dilakukan identifikasi terhadap jenis radikalisme ini, sedangkan radikalisme struktural (violence-as-structure) diartikan sebagai radikalisme yang berbentuk eksploitasi sistematis disertai mekanisme yang menghalangi terbentuknya kesadaran, serta menghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi dan penindasan.
Konstruksi radikalisme yang diajukan oleh Johan Galtung ini pada dasarnya memberikan pemahaman, bahwa radikalisme dapat dilakukan oleh siapa saja dan dalam kondisi apapun, apakah negara, masyarakat, kelompok tertentu, atau bahkan individu dapat menjadi pelaku radikalisme. Namun, negara tetap dilihat oleh Johan Galtung sebagai pihak yang memiliki potensi besar untuk menghilangkan hak warga negaranya guna merealisasikan diri dalam bidang politik.
Pemahaman lebih jauh akan radikalisme dalam perspektif politik akan sampai pada pemahaman, bahwa sesungguhnya pelaku radikalisme tidak hanya negara terhadap warga negaranya, tetapi juga dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap regim yang berkuasa. Radikalisme jenis ini biasa dikenal dengan radikalisme politik yaitu radikalisme masyarakat sipil yang dilakukan berdasarkan isu-isu politik, terutama yang terkait dengan perjuangan mendapatkan kekuasaan di dalam organisasi politik,[17] atau juga ditujukan pada pemerintah, atau organisasi-organisasi politik yang bisa berbentuk revolusi, perang gerilya, ataupun kudeta.[18]
Melalui pendekatan psikologi, Ted Robert Gurr memahami radikalisme politik yang terjadi bermula dari psikologi manusia yang mengalami kekecewaan. Kekecewaan ini muncul sebagai akibat adanya ketidaksesuaian antara harapan akan barang atau kondisi hidup yang mereka yakini sebagai hak ( value expectation ), dengan barang atau kondisi yang mungkin mereka peroleh, atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang, dan kondisi yang mereka inginkan tersebut ( value capability ).Kondisi depresi inilah, yang menyebabkan munculnya kekecewaan pada manusia, dan dalam perspektif politik kekecewaan ini muncul ketika mereka yang memiliki kekuasaan (negara, kapital atau pemilik modal, birokrasi, partai politik dll) tidak mampu mewujudkan segala macam ke-butuhan, atau janji mereka terhadap kelompok tertentu yang masuk dalam lingkup kekuasaannya.[19]
Radikalisme yang dilakukan oleh masyarakat, terutama masyarakat sebagai kelas yang dinilai tertindas serta dilandasi oleh rasa kecewa rakyatnya terhadap negara meluas, dalam teori politik Marxian dan Sosialis dikenal dengan istilah revolusi sosial, suatubentuk transformasi yang berlangsung cepat pada superstruktur yuridis dan politis masyarakat, serta dinilai sebagai salah satu cara yang dianggap sah dalam upaya memperjuangkan hak masyarakat tersebut.[20]
2. Radikalisme Dalam kehidupan Sosiologis
Sebagai ilmu pengetahuan, secara formal sosiologi mencoba membatasi diri pada manusia sebagai satuan sosial, termasuk bagaimana hubungannya dengan masyarakat, proses sosial, dan ketentuan-ketentuan sosial, struktur sosial, kelangsungan hidup dari kelompok sosial (apakah unsur-unsur pengawasan sosial yang menjamin kelangsungan hidup kelompok/ masyarakat, serta bagaimanakah individu paling efektif diawasi oleh masyarakat), serta perubahan-perubahan sosial (social change) sebagai objek formalnya.[21]
Karena sifatnya yang nomografis,[22]pembicaraan radikalisme dalam perspektif sosiologi berbeda jika dibandingkan pem-bicaraan radikalisme dalam ilmu politik, yanghanya bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan objek yang sedang diamati, dan tidak bermaksud untuk menyusun suatu kerangka teori guna dijadikan alat atau kerangka bertindak bagi keperluan dan kepentingan praktis sebagaimana yang dipahami oleh ilmu politik . Oleh karena itu, dalam sosiologi fokus pertanyaannya berkisar pada : ”what it is about a society that increases or decreases the likelihood of violence”, dan radikalisme baru menjadi persoalan sosial (social problem) ketika ”violence must also arouse widespread subjective concern”. [23]
Mendasarkan pada hal tersebut di atas, upaya pemahaman radikalisme dalam sosiologi akan menampilkan banyak simpulan berbeda, hal ini dikarenakan adanya perbedaan, teori, serta landasan akosiomatik yang digunakan dalam proses pemahaman dan pendeskripsian radikalisme tersebut. Namun, ada satu hal yang perlu digaris-bawahi, bahwa dalam perspektif sosiologi radikalisme ataupun kejahatan pada umum-nya merupakan kondisi alamiah dari masyarakat (crime is a natural part of society).[24] Dikatakan demikian, karena realitas sosiologi memperlihatkan radikalisme atau kejahatan pada umumnya, ditemukan pada hampir semua lapisan dan bentuk masyara-kat, apakah masyarakat yang masih sederhana ataupun yang sudah kompleks struktur sosialnya.
Dilihat dari pelakunya, radikalisme dibagi menjadi dua tipe atau bentuk. Pertama, radikalisme individual (Individual violence), yaitu radikalisme yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Kedua, radikalisme kelompok (group or collective violence), yaitu bentuk radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompok lainnya.[25] Khusus terhadap “group or collective violence” ini, para sosiolog membaginya lagi menjadi beberapa bentuk, yaitu pertama, Situational group violence, is unplanned and spon-taneous, such as a brawl among hokey player. Something in the immediate situation stimulates or triggers a group to violent action. Kedua, Organized group violence is planned. It also is unauthorized or unofficial, dan ketiga, Institutionalized group violence, is carried out under the direction of legally constituted officials.[26]
Dengan tidak mengabaikan arti penting teori yang ada dan tersebar dalam sosiologi, dalam tulisan ini penulis ingin melihat radikalisme dalam perspektif sosiologi dengan menggunakan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan fungsionalisme (functionalist theory), dan pendekatan konflik (conflict theory). Dibatasinya dua teori atau pendekatan ini dalam memahami radikalisme dikarenakan kedua teori tersebut mempunyai asumsi dan proposisi yang kontradiktif antara satu dengan lainnya.
Dalam perspektif fungsionalisme (functionalist theory), masyarakat dilihat sebagai bentuk keteraturan (order) yang terdiri dari berbagai elemen yang saling bersinergi antara satu dengan lainnya, guna menciptakan keseimbangan (equilibrium). Tesis ini muncul didasari pada asumsi, bahwa setiap struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lainnya, sehingga konsep yang utama dalam teori fungsionalis adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium)[27].
Emile Durkheim adalah salah satu pemikir yang dapat digolongkan sebagai fungsionalis, dan sumbangan pemikirannya terhadap radikalisme (violence) adalah diintrodusirnya konsep anomi, suatu konsep sosiologi yang oleh Emile Durkheim guna menjelaskan kondisi psikologi yang merasa asing (estranged) sebagai akibat tercabutnya atau hilangnya rasa kemanusian dalam ranah kehidupan (uprooted), dan ekonomi menurut Emile Durkheim adalah penyebab yang bisa menimbulkan kondisi anomi tersebut.[28]
Dengan kaca mata anomi ini, kiranya radikalisme dipahami sebagai akibat adanya perubahan sosial ekonomi yang tidak dibarengi dengan perubahan sistem regulasi, sehingga masyarakat, atau individu merasa bingung menghadapi kondisi perubahan tersebut.
Fungsionalis lain, misalnya Robert K. Merton, dalam memahami radikalisme me-ngajukan konsep ”Strain Theory”. Kemunculan konsep ini didasari oleh ide Durkheim tentang anomi tersebut di atas. Dalam konstruksi teoretiknya, Robert K Merton melihat radikalisme yang terjadi dalam masyarakat dengan menghubungkan dua kondisi utama, yaitu nilai yang menjadi tujuan dari suatu masyarakat (cultural goal), dan ketersedian sarana (cultural means) guna mencapai tujuan tersebut.
Ketika nilai yang hendak diperoleh dalam masyarakat tidak memiliki ketersediaan sarana dalam proses pencapaian tujuan, maka berbentuk penyimpangan dari keteraturan akan muncul, misalnya dalam hal ini radikalisme, sehingga radikalisme merupakan bentuk respon yang alamiah terhadap situasi yang ada.[29] Perhatian lain dari Robert K. Merton sehubungan dengan berbagai institusi sosial yang ada dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan fungsi institusi, adalah dikembangkannya istilah fungsi manifes (Manifest Functions) dan fungsi laten (Latent Functions).[30] Fungsi manisfes mengacu pada fungsi yang memang dikehendaki sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dikehendaki dari penciptaan suatu sistem atau institusi sosial dalam masyarakat.
Berbeda dengan asumsi dan proposisi fungsionalisme, teori konflik terbangun dalam rangka menantang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural dan Dahrendorf dinilai sebagai tokoh utama teori konflik ini.[31]
Pertentangan antara teori fungsionalis dan konflik dalam melihat fenomena sosial didasari pada perbedaan asumsi, dan proposisi yang melatar belakangi teori tersebut. Masyarakat dalam teori konflik dilihat senantiasa berada dalam perubahan, namun perubahan ini dikarenakan adanya perten-tangan yang terus menerus diantara unsur yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dan pertentangan ini sesuatu yang inheren dalam masyarakat sebagai akibat perbedaan-perbedaan alamiah. Teori konflik menyadari bahwa kekuasaan dan ketakteraturan sosial (social inequality) merupakan salah satu karakteristik dari setiap masyarakat.[32]Kekuasaan di dalamnya terdapat konsep we-wenang dan posisi yang diasumsikan jikapendistribusian kekuasaan, dan wewenang terjadi secara tidak merata, maka wewenang dan posisi tersebut menjadi faktor utama terjadinya konflik sosial dalam masyarakat. Konsep kekuasaan dan wewenang ini juga yang menciptakan dan menempatkan masyarakat dalam posisi struktur atas dan masyarakat struktur bawah.
Mendasarkan pada pemahaman teori konflik tersebut di atas, maka radikalisme muncul sebagai akibat adanya pendistribusian wewenang yang tidak merata. Tidak meratanya pendistribusian wewenang ber-ujung pada adanya penumpukan kekuasaan pada satu orang, atau kelompok tertentu, dan dengan kewenangan yang ada, kelompok yang memiliki kekuasaan yang besar tersebut akan cenderung mengguna-kannya untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Atau dengan kata lain, radikalisme yang dilakukan sebagai upaya mempertahankan dominasi kelompok atas kelompok lainnya.
3. Radikalisme Dalam Perspektif Budaya
Pembicaraan radikalisme pada tataran budaya tidak kurang menariknya, jika diban-dingkan dengan perspektif lain. Apalagi penelusuran radikalisme dari perspektif budaya seakan membawa, dan menghantarkan pada realitas ditemukannya berbagai budaya dalam masyarakat, dan etnis tertentu yang dianggap akrab dengan radikalisme, sehingga sering dinilai merupakan bagian dari sistem budaya mereka.
Dalam masyarakat Madura misalnya, dikenal istilah ”carok”, dan ”sirri” pada masyarakat Bugis. Kedua istilah itu mengacu pada cara masyarakat tersebut dalam menyelesaikan suatu perselisihan yang muncul yang dinilai memperlihatkan nuansa radikalisme di dalamnya. Realitas inilah yang menurut penulis merupakan penyebab, sehingga pembicaraan radikalisme dalam perspektif budaya sering sampai pada simpulan bahwa masyarakat, atau etnis tertentu memiliki budaya radikalisme (Violence Culture) dalam dinamika kehidupannya.
Sampainya simpulan tersebut, pada tataran tertentu juga muncul sebagai bentuk implikasi pemahaman budaya dilihat dari pendekatan etik, suatu pendekatan yang melihat budaya dengan menggunakan ukuran atau indikator budaya, atau nilai-nilai universal dari suatu budaya tanpa mau menyadari bahwa masing-masing budaya sesungguhnya memiliki nilai yang unik, dan bersifat parsial.[33] Karena universalitas pendekatan etik inilah, maka dalam melihat fenomena budaya sering terperangkap pada adanya penilaian (adjusment) tentang benar-salah, atau baik-jahatnya suatu perilaku sosial dari sisi sipengamat atau sipeneliti, dan cara ini juga yang sering menjebak peneliti dalam melihat fenemona radikalisme dalam pers-pektif budaya.[34]
Agak berbeda tentunya jika fenomena radikalisme dalam perspektif budaya dilihat dengan pendekatan emik maka simpulannya akan berbeda dengan pen-dekatan pertama tadi, karena dengan pendekatan emik akan terlihat radikalisme yang dilakukan oleh masyarakat atau etnik tertentu dalam perspektif budaya memiliki makna simbolik bagi masyarakat tersebut. [35]
Carok misalnya, pemahaman etik akan sampai pada simpulan bahwa masyarakat atau etnik Madura memiliki budaya radikalisme, namun pendekatan emik memperlihatkan bahwa carok dalam pengertian dan pemahaman aslinya setidaknya mengandung lima unsur yang oleh etnis Madura sangat dijunjung tinggi. Kelima unsur tersebut adalah pertama, tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki; kedua, pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri); ketiga, perasaan malu (malo); keempat, adanya dorongan, dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan kelima, perasaan bangga bagi pemenangnya.[36] Meskipun kemudian carok sebagai suatu mekanisme dalam menyelesaikan sengketa dalam maknanya yang asli mengusung nilai yang dijunjung tinggi oleh etnis madura dikaburkan, dan bahkan menjadi ”tuna makna” oleh ”nyelep”, yaitu suatu cara menyerang musuh dari belakang atau samping ketika musuh sedang lengah.[37]
Sehubungan dengan itu, upaya pemahaman radikalisme dalam perspektif budaya sesungguhnya telah lama dilakukan, dan telah menjadi salah satu objek dalam antropologi budaya. Pertanyaan fundamentalnya adalah apakah budaya merupakan penyebab dari radikalisme? Suatu pertanyaan yang memang tidak mudah untuk menjawabnya, namun setidaknya ada yang berpendapat bahwa jika dikaji secara kritis budaya itu sendiri bukanlah sumber radikalisme, karena budaya yang merupakan ciptaan tertinggi dari manusia pada dasarnya bertujuan meningkatkan martabat kema-nusiaannya dimuka bumi.[38]
Pada awalnya perhatian para antropolog terhadap radikalisme ini berkaitan dengan sengketa yang berkepanjangan diantara kelompok, atau etnis tertentu. Wright melihat rentetan tindakan radikalisme yang menjadi ciri dari sengketa ini merupakan instrumental dalam menuntut balas atau kompensasi akibat kerugian yang diderita, atau juga guna menyanjung nama seseorang, atau keluarga dari kelompok yang tersangkut dalam sengketa.[39] Sedangkan menurut Radcliffe Brown radikalisme merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dianut oleh kelompok bertingkai, dan dalam kaitannya dengan kelompok bertikai,radikalisme dianggap sebagai kewajiban yang kemunculannya merupakan bentuk manifestasi dari ”solidaritas kolektif”, suatu isitilah yang mengacu pada pendapat Durkheim.[40] Hal yang hampir sama juga, pendapat Nadel yang melihat radikalisme sebagai bentuk kewajiban untuk membalas ketidakadilan.[41] Bahkan, yang menariknya lagi menurut Radcliffe Brown, radikalisme yang terjadi pada kelompok masyarakat yang bertikai dibenarkan oleh pendapat umum, meskipun menurut Leopold Pospisil tidak begitu jelas pendapat umum yang mana, apakah pendapat para pihak yang bersengketa, atau pendapat umum diluar masyarakat yang bersengketa. Namun lebih lanjut menurut Leopold Pospisil setidaknya pendapat umum ini adalah pendapat para pihak yang bersengketa.[42]
Mendasarkan pada perspektif antropologi tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa radikalisme merupakan salah satu sistem sosial yang diciptakan oleh suatu kelompok untuk mempertahankan kehidupannya dari ancaman kelompok lain, serta sebagai salah satu sarana dalam menye-lesaikan sengketa yang terjadi, baik berupa penuntutan balas atas radikalisme yang sudah dilakukan, atau juga sebagai sarana dalam menuntut keadilan yang dinilai telah di-langgar oleh kelompok lain.
4. Radikalisme Dalam Perspektif Ekonomi
Meskipun bukan objek formalnya, wacana radikalisme juga tidak luput dari perhatian bidang ekonomi, terutama pada upaya pemahaman sampai sejauhmana pembangunan ekonomi, serta implikasi sistem ekonomi yang digunakan dalam pembangunan menimbulkan dampak yang tidak dikehendaki terhadap masyarakat itu sendiri.
Namun sebelum lebih jauh melihat bagaimana hubungan tersebut dipahami, satu hal yang perlu ditekankan di sini bahwa ekonomi dalam arti ekonomi sendiri bersifat netral artinya sebagai salah satu bentuk kebutuhan dasar manusia, maka keberadaan ekonomi (terutama modal dalam mem-bangun) merupakan suatu keniscayaan, dalam arti bahwa cara produksi, kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan modal secara langsung tidaklah berpengaruh terhadap radikalisme. Akan tetapi, ketika persoalan ekonomi lebih dalam dilihat sebagai keinginan dan nilai yang ada dalam masyarakat, maka persoalannya menjadi lain. Karena pada perspektif ini, bagaimana dasar filosofik pandangan masyarakat tertentu terhadap modal menjadi sangat penting, dan signifikan untuk dilihat dalam kaitannya dengan persoalan radikalisme. Demikianlah misalnya, ketika orang berbicara modal dalam perspektif kapitalisme, maka pembicaraannya menjadi bagaimana nilai, atau pandangan kapitalisme sebagai faham atau aliran mengandung nilai-nilai, cara pandang, cara produksi (mode of production) dalam masyarakat. Pada tataran inilah, kiranya radikalisme dalam perspektif ekonomi akan dilihat, dan ditelusuri lebih jauh.
Dalam kerangka berpikir seperti di atas, maka pertumbuhan ekonomi, kebutuh-an, dan ekspansi modal pada masyarakat dinilai telah berpengaruh dan merubah cara pandang terhadap keberadaan masyarakat atau negara. Hal ini dimungkinkan, karena akumulasi modal tidak lagi mengarah pada bagaimana upaya memenuhi kebutuhan banyak orang, tetapi sudah merupakan upaya memenuhi hasrat dan keinginan pribadi atau kelompok tertentu akan kebutuhan hidupnya, sehingga modal itu sendiri menjadi eksploitatif sifatnya. Karena sifatnya yang eksploitatif, maka keberadaan dan akumulasi modal yang besar dalam masyarakat, kiranya bisa menimbulkan kerusakan, kekacauan, konflik dengan struktur lembaga yang, termasuk lembaga dan pranata ekonomi yang sudah ada, dan terpelihara dalam masyarakat. Bahkan, tidak jarang keberadaan dan akumulasi modal yang terjadi dalam masyarakat dalam jumlah yang besar menimbulkan efek psikologi terhadap masyarakat sendiri berupa prustasi massa sebagai akibat tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, yang dirasakan sebagai hak ditengah-tengah melimpahnya modal dan kekayaan yang ada. Artinya, hasil yang diperoleh sebagai implikasi dari akumulasi modal hanya dirasakan dan dinikmati oleh segelintir orang.
Pembangunan sering diidentikan dengan upaya ”state building dan akumulasi modal”.[43]Pada tataran ini, maka dalam kaitannya dengan radikalisme yang muncul, pembangunan itu sendiri menimbulkan perubahan-perubahan pada masyarakat baik perubahan dilingkungan fisik (demokrafi, lingkungan alam dll), maupun perubahan lingkungan sosial berupa hancurnya pranata dan lembaga sosial, terjadinya konfigurasi pemilahan sosial yang berujung pada munculnya radikalisme kolektif.
Dari apa yang tersebut di atas terlihat, bahwa ekonomi an sich bukanlah menjadi penyebab munculnya radikalisme, tetapi dengan dipicu oleh faktor lain, seperti militansi umat beragama, menjadikan berbagai perubahan yang ditimbulkan sebagai akibat akumulasi modal memicu munculnya rasa prustasi dari kelompok masyarakat tertentu, dan perilaku radikalisme sebagai produk akhir dari prustasi tersebut dimaksudkan melakukan koreksi atas sistem pembangunan yang dilakukan, termasuk koreksi atas sistem kapitalisme yang tujuan utamanya melakukan akumulasi modal secara terus menerus. [44]
5. Radikalisme Dalam Perspektif Agama
Pembicaraan radikalisme dalam per-spektif agama kiranya lebih kompleks jika dibandingkan dengan pembicaraan radikalisme dalam perspektif lainnya. Hal ini dikarenakan, hampir semua orang sependapat bahwa tidak ada satu ajaran agamapun yang kiranya memuat suatu perintah agar penganutnya untuk melakukan radikalisme. Jika ada yang mengajarkan hal yang demikian, maka keberadaan agama dinilai telah mengingkari dirinya yang menghendaki kedamaian baik dunia maupun akhirat.
Namun demikian, pada tingkat praksisnya, dan ini ironis sifatnya, ternyata ditemukan kondisi berbeda dimana agama sering terlibat, atau dilibatkan dalam radikalisme yang dilakukan oleh umat sebagai penyandang dan pemeluk agama tersebut. Bahkan, pelibatan agama pada radikalisme yang terjadi dinilai oleh Gerald O. Barney menempati angka yang cukup tinggi,[45] serta dalam lintasan sejarah yang sudah cukup lama.[46] Realitas inilah kemudian yang memunculkan tudingan bahwa agama sebagaipenyebab utama yang menjadikan dunia porak poranda, dan kehidupan penuh dengan anarkisme. Sampai ada yang mengatakan bahwa agama harus mati, karena agama merupakan penyebab fundamental dari radikalisme yang melanda dunia, termasuk semua persoalan sosial, ekonomi dan ekologi.[47]
Berbeda dengan bidang kehidupan lainnya, dalam agama terdapat berbagai ajaran, simbolisme, cerita/amsal, konsep, dogma, pencitraan, ritualitas serta idealitas sistem, dan struktur pribadi maupun sosial yang dikehendakinya, yang menjadikan agama menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia. Mulai dari dimensi alam atas dan alam bawah sadar manusia, dimensi imanensi dan transendental, dimensi psikis dan fisik manusia. Keseluruhan substansi agama tersebut bersifat universal, sedangkan jika menyangkut bagaimana simbol, konsep, ritualitas dan idealitas yang ada pada agama tersebut dipahami oleh pemeluknya, maka agama menjadi bersifat partikular.[48]
Pada sifatnya yang universal maka agama memperlihatkan dimensi Illahiyah, sedangkan pada yang partikular bisa merupakan cerminan dan refleksi budaya lokal dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu, tidaklah meng-herankan jika agama memiliki fungsi yang sakral dan ditempatkan sebagai suprastruktur dalam keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat tersebut, danmenyentuh sisi eksistensialisme manusia itu sendiri.
Penempatan agama sebagai struktur tertinggi dari keseluruhan tatanan, dan sistem sosial kehidupan manusia, dalam perspektif fungsionalisme menjadikan fungsi agama sebagai superstruktur ideologis yang mem-pengaruhi subsistem lainnya. Sedangkan bagi mereka yang mengkonstruksikan agama dengan latar dialektika materialisme misalnya, memiliki pandangan yang berlawanan dengan fungsionalisme dimana fungsi agama yang tetap diletakkan sebagai superstruktur ideologis akan tetapi sangat ditentukan oleh infrastruktur material dan struktur sosial.
Dari kedudukannya inilah, agama dinilai memiliki fungsi manifes (manifest functions) yaitu fungsi yang disadari betul oleh para partisipan sebagai manifestasi objektif dari suatu sistem sosial, misalnya meningkatkan kehesivitas umat (Ukuwah islamiyah), atau memiliki fungsi laten (latent functions)[49] yaitu fungsi yang tidak dikehendaki secara sadar dari sistem sosial tersebut dalam memunculkan radikalisme, atau menurut Azyumardi Azra agama merupakan lahan empuk untuk menjadi crying banner dalam melakukan tindakan anarkis (radikalisme-Penulis),[50] yang juga sama-sama didasari pada pembacaan dan konstruksi tekstualitas yang ada dalam agama itu sendiri.
Karena substansi yang ada pada agama itu juga, sehingga agama dengan sangat mudah terseret atau diseret dalam kancahradikalisme dengan menggunakan berbagai bahasa ilmu pengetahuan yang ada, misalnya bahasa ideologi, politik, sosial budaya ataupun ekonomi. Anehnya, pada sisi ini sikap dan perilaku umat beragama sering menampakkan diri pada sifat yang ambiguitas dalam memahami teks-teks agama, sehingga berbagai bentuk kegiatan yang merugikan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang fitri selalu didasari pada teks agama, padahal tindakan itu dilihat dari sisi ajaran agama yang sama tidak pernah dibenarkan sama sekali.
Sebagai contoh dalam perspektif ideologi, dimana agama dikehendaki atau tidak dikehendaki, selalu berhadapan dengan kemungkinan menjadi ideologis, dan sebaliknya setiap ideologi yang ingin memantapkan diri cenderung menempuh jalan untuk memberikan warna keagamaan kepada dirinya.[51] Dalam konteks idiologi juga, agama menumbuhkan kenyakinan pada pemeluknya bahwa apa yang telah dilakukannya adalah kebenaran yang munculnya dari pesan-pesan agama tersebut. Sikap inilah yang kemudian memunculkan kekhawatiran, ketakutan dan bahkan tuduhan terhadap agama tertentu yang akan mengancam keberadaan agama, ideologi lain, atau mengancam peradaban manusia dimuka bumi ini.
Samuel Huntington, adalah salah seorang yang mengkhawatirkan hal tersebut. Menurutnya, setelah runtuhnya ideologi Marxis dan negera-negara komunis, maka segera terlihat suatu kecenderungan yang kuat untuk memperlihatkan kembali peranan agama sebagai salah satu faktor yang turut menentukan rasa identitas suatu bangsa, dan lingkaran budaya yang dipegang oleh beberapa bangsa. Kekuasaan ekonomi menurut Huntington masih tetap menentukan aliansi-aliansi regional dimasa depan sesuai dengan dinamika kapitalisme. Namun, lebih lanjut Huntington berpendapat, kekuatan ekonomi tersebut memerlukan dimensi agama guna mempererat aliansi yang dibangun tersebut. Dalam kondisi seperti ini, maka menurut Huntington akan muncul blok yang kuat yang berakar pada Konfusianisme, Agama Shinto, Islam dan ini dinilai olehnya akan mengancam peradaban yang selama ini telah terbangun (Peradaban Barat-Pen). [52]
Demikian juga dalam relasinya dengan politik,[53] agama dengan mudah terseret dalam kancah radikalisme dengan dipolitisasinya agama sebagai sumber radikalisme terbuka, yang sebenarnya lebih didasari oleh melemahnya sistem dan institusi politik yang ada.[54] Masih dalam perspektif politik, agama juga sering dijadikan legitimasi radikalisme yang dilakukan oleh penguasa dengan maksud mempertahankan hegemoni kekuasaan.[55]
Dalam perspektif budaya, agama terkait dengan persoalan identitas suatu kelompok, bahkan dalam batas-batas tertentu agama sering identik dengan etnis atau kelompok masyarakat tertentu, sehingga radikalisme yang sektetarian dan etnik bisa menyeret agama ke dalam kancah radikalisme tersebut.[56] Masih dalam kaitannya dengan identitas serta etnisitas, peran agama bisa menjadi krusial karena agama sering digunakan sebagai sarana mengembalikan kesadaran kelompok tertentu yang merasa teralienasi terhadap kelompok, penguasa, bangsa atau sistem yang selama ini melingkari kehidupannya.[57] Tetapi, jika dalam realitasnya mereka yang melakukan perlawanan (radikalisme-pen) sebagai bentuk kesadaran akan terjadinya alienasi memiliki kesamaan pada tataran agama yang dianut, maka yang muncul kepermukaan sebagai ”major force” adalah etnisitas.[58]
Bahkan, dalam perspektif budaya pemeluk yang religius sekalipun tidak banyak bedanya dalam tingkah laku yang mendasarkan pada budayanya sendiri (yang menampakkan radikalisme, pen.). Misalnya, gereja-gereja di Rwanda sebelum dan sesudah tahun 1994 menyampaikan khotbah mengenai perdamaian dan rekonsiliasi, dan bahkan mengelola berbagai program untuk mempromosikan tujuan tersebut. Namun, para pendeta dan biarawati, serta jamaahnya biasa berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan genosida.[59]
Secara holistik agama tidak membawa ajaran radikalisme oleh banyak ka-langan disadari betul kebenarannya, hal ini tentunya jika dikaitkan dengan eksistensi diturunkannya agama bagi manusia. Ber-bagai moralitas yang sifatnya transenden dari agama sejatinya berimplikasi ke dalam imanensi kehidupan manusia. Hadirnya moralitas yang sifatnya transendental ini sejatinya diaktulisasikan ke dalam dimensi kemanusiaannya secara utuh sebagai makhluk rasional, dan spiritual. Sehingga kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan dapat terwujud secara kukuh dalam ke-hidupan ini. Namun demikian, kiranya tidak bisa juga dipungkiri bahwa dalam agama, secara tekstual ditemukan teks-teks yang bisa memberikan nuansa radikalisme.
Tekstualitas tersebut bisa muncul dalam bentuk ajaran, simbolisme, cerita/ amsal, konsep, dogma, pencitraan, ritualitas serta idealitas sistem dan struktur pribadi maupun sosial yang dikehendaki oleh agama. Semua substansi tersebut dalam bentuknya yang ”sacra” tentunya bersifat netral, dan ketika semua substansi tersebut ingin dimanifestasikan dalam dunia ”profan”, dan bermakna, maka intervensi manusia dalam bentuk penafsiran diperlukan. Persoalan penafsiran atas teks-teks keagamaan inilah, yang menurut penulis dinilai menimbulkan justifikasi radikalisme atas nama agama. Mulai dari radikalisme domistik (domestic violence) yang sulit untuk dideteksi, sampai radikalisme pada ranah publik (public violence).
Sebagai contoh pada radikalisme domestik, dalam al-qur’an terdapat teks-teks yang kiranya bisa ditafsirkan memberikan justifikasi pada radikalisme itu sendiri, misalnya kata ”idlrih hunna” dalam surat An-Nisa ayat 3 oleh departemen agama diterjemahkan dengan ”pukullah mereka”.[60] Pengertian ini menurut Nassaruddin Umar tidak salah, tetapi kata tersebut tidak mesti diartikan demikian.[61]Dengan menunjuk pada kamus bahasa Arab ”Lis±a al-’Arab” Nassaruddin memberikan pengertian bahwa kata tersebut (dlaraba) sebagai ”gauli atau setubuhilah” dan terjemahan ini lebih sesuai dengan fungsi dan tujuan perkawinan untuk menciptakan ketenteraman dan kasih sayang.[62] Demikian juga menyangkut pelarangan seorang perempuan/wanita untuk menjadi pemimpin, yang sudah dinilai sebagai bentuk radikalisme politik, merupakan persoalan bagaimana penafsiran atas teks-teks tersebut dilakukan.
Mencontoh pada persoalan tersebut di atas, maka persoalan yang utama dalam melihat bagaimana radikalisme yang dilakukan mendasarkan pada agama adalah persoalan bagaimana menafsirkan teks-teks agama, apakah ada makna objektif dari teks itu sendiri, apalagi pada teks-teks agama dimana bahasa Tuhan yang termuat dalam kitab suci merupakan makna sacra yang dicoba diterapkan dalam dunia profan manusia. Oleh karena itu dalam memahami teks-teks agama tidaklah cukup dengan melakukan interpretasisecara tekstual saja tetapi diperlukan juga interpretasi kontekstual. Karena dalam interpretasi tekstual pendekatan yang digunakan lebih bersifat formalistik-legalstik, yaitu suatu pendekatan yang mengacu pada teks-teks yang dipahami dalam dimensi transendental semata, sehingga bisa lepas dari konteks kesejarahan, baik dalam konteks kedahuluan, kekinian maupun keakan-datangan. Interpretasi tekstual yang bersifat formalistik-legalistik ini oleh Muhammad Arkoun disebut sebagai pendekatan monolitik, sedangkan interpretasi kontekstual adalah suatu metode interpretasi yang melihat agama dalam dimensi kehidupan yang lebih luas, baik dalam konteks kesejarahan maupun pesan zaman dijadikan pilar utama dalam melakukan interpretasi teks agama.[63]
C. Refleksi Dan Solusi: Sebuah Tawaran Etika, Nilai Dan Norma Kehidupan
Memberikan solusi bagi permasalahan historis-sosiologis tidaklah mudah, terlebih-lebih jika permasalahan yang ada itu ditopang oleh emosi keagamaan. Namun demikian, dalam melihat fenomena historis-sosiologis mengenai muncul dan berkembangnya gerakan radikalisme ini ada beberapa catatan yang mungkin terjadi solusi alternatif.
Etika adalah bidang yang mencoba mempelajari secara formal dan sistematis tentang moralitas dengan tujuan mencari orientasi dalam kehidupan. Dalam melihat dan menilai ajaran moralitas, etika meng-gunakan metode kritis, yang mengamati realitas moral secara kritis. Etika memang tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan panangan-pandangan moral secara kritis. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertang-gungjawabkan. Etika berusa menjernihkan permasalahan moral tersebut.
Dari penelusuran secara kritis, setidaknya ada enam nilai etik ketika suatu paham dianut oleh sekelompok orang yaitu: Pertama; diakuinya atau diterimanya perbedaan, kedua; ditolaknya absolutisme, ketiga; diterimanya relativisme, keempat; mengakui kesetaraan sebagai suatu konsep kehidupan, kelima; mengakui yang lain (the others) serta keenam; terbukanya ruang dialog dan komunikasi. Keenam sikap etik yang muncul bersamaan dengan diakuinya pluralisme ini merupakan substansi dari pluralisme itu sendiri, sehingga berbagai permasalahan yang muncul baik dalam bentuk ketakutan dan berbagai penyimpangan akan makna pluralisme itu sendiri sesungguhnya menurut penulis lebih dikarenakan tidak atau belum dipahaminya empat emplikasi etik yang muncul dari pluralisme itu sendiri.
1. Mengakui Perbedaan
Premis dan substansi dasar dari pluralisme adalah diakuinya keanekaragaman, heteregonitas atau kemajemukan sebagai fakta sosial. Keanekaragaman ini secara substansial isinya adalah perbedaan, dan perbedaan inilah yang merupakan kondisi obyektif dari pluralisme tersebut. Sehingga syarat pertama dan merupakan syarat obyektif dari kehidupan yang plurali adalah menerima dan mengakui perbedaan sebagai dasar dalam memahami realitas sosial.
Adanya masyarakat yang hidup diperkotaan dan pedesaan, berbagai macam Agama, ideologi, suku bangsa dan etnis, hukum sekuler dan hukum agama adalah merupakan fakta sosial yang keberadaannya tidak terbantahkan. Perbedaan inilah yang menjadikan pluralisme sebagai suatu paham memperoleh akar yang kuat dalam khasanah pemikiran dan ilmu pengetahuan karena ontologinya berpijak pada fakta dan realitas sosial yang sesungguhnya, tidak didasari pada rekaan atau konstruksi sosial.
Oleh karena itu sikap inklusif (terbuka) merupakan sikap yang penting dalam melihat dan menyikapi perbedaan bukan sikap eksklusif (tertutup). Dengan sikap inklusif, keberadaan yang lain dijadikan moral patient atau moral recipient, sedangkan jika dalam memahami perbedaan yang ada digunakan sikap eksklusifmaka moral patient hanya terbatas pada diri atau kelompok sendiri. Hanya orang yang sesuku, seiman, sealiran, segender pantas diperlakukan sebagai moral patient, artinya pantas dihormati hak-hak serta kepentingan-kepentingannya.
2. Menolak Logosentrisme yang Absolutisme
Sebagai suatu kata absolutisme sama dengan pluralisme, merupakan bentukan dari kata: “absolut dan isme”. Kata absolut mengacu pada arti mutlak[64] dan isme pada pengetian paham atau aliran, sehingga secara etimologi kata absolutisme membentuk arti aliran atau paham yang memutlakan sesuatu. Pada mulanya istilah absolutisme itu muncul dalam ranah teologi, kemudian konsepsi absolutisme ini digunakan dalam bidang yang lainnya, misalnya dalam epistemologi, aksiologi, maupun dalam bidang politik (sistem pemerintahan).
Absolutisme sebagai suatu aliran atau paham mengandung makna adanya pengakuan yang satu atau tunggal (bukan tuhan), baik yang menyangkut akan kebenaran (truth claim), pemikiran, pemahaman, penafsiran dan lain sebagainya. Karena sifanya tunggal, maka absolutisme itu bersifat “sentris”, artinya terpusat pada kediriannya sendiri serta menafikan pada kedirian yang lainnya. Kebenaran misalnya diklaim atau diyakini hanya kebenaran dirinya, kelompoknya, klasnya sendiri saja yang ada, sedangkan pada yang lain kebenaran tidak ada, baik kebenaran dalam sikap, norma, pemahaman, pemikiran maupun penafsiran dan lain sebagainya. Kebenaran pada yang lain dinafikan keberadaannya, tidak diakui dan bersifat final. Oleh karena itu kebenaran yang lain harus lebur atau ikut pada kebenaran yang ada pada dirinya.
3. Menerima Logosentrisme yang Relativisme
Berhadapan secara diametris dengan absolutisme adalah relativisme yang justru mengakui keberadaan lainnya disamping kediriannya sendiri. Terhadap kedirian, sikap relativisme ini meneguhkan bahwa bahwa apa yang kita pahami sebagai suatu kebenaran misalnya, adalah relatif pada kedirian orang lain, artinya dalam konteks pluralisme, kebenaran juga akan dipahami oleh orang lain sebagaimana mungkin berbeda dengan cara kita memahaminya atau kebenaran juga ditemukan pada orang lain.
Dalam kehidupan yang pluralis setiap masalah dan cara bagaimana memahami masalah tersebut diyakini merupakan kontruksi sosial suatu masyarakat yang di dalamnya melibatkan banyak kondisi social yang berbeda, mulai dari nilai, budaya, agama, politik, adat istiadat dan dan kesadaran yang secara intensional terarah pada realitas tersebut. Pemahaman akan realitas sebagai konstruksi social inilah yang memberikan hasil yang juga berbada an-tara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya[65].
Relativisme bukan hanya sekedar mengakui adanya kedirian lain selain kedirian diri sendiri, tanpa mau berusaha memahami bahkan menerima kedirian lainnya. Sebab kalau hal ini terjadi, maka relativisme juga pada akhirnya terjebak pada absolutisme. Agar tidak terjebak pada absolutisme, kiranya relativisme selalu dikaitkan dengan yang lainnya.
4. Mengakui Kesetaraan
Seperti dikatakan diatas, bahwa perbedaan merupakan fakta sosial sehingga bersifat obyektif. Pengakuan dan penerimaan akan perbedaan dalam semua hal merupakan syarat utama dalam pluralisme. Karena perbedaan merupakan persoalan mendasar dan hakiki dari sesuatu, maka perbedaan tersebut bukan untuk dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan, mono dan ika. Sebab ketika upaya penyatuan perbedaan dilakukan, maka pada hakekatnya pluralisme tidak lagi menjadi suatu paham atau ideologi, karena yang ada hanya monoisme atau homogenitas dan menghilangkan perbedaan itu sendiri yang sifatnya hakiki dan asali.
Oleh karena itu kesetaraan sebagai suatu konsep yang memandang sama atas perbedaan menjadi syarat dalam pluralisme. Fakta bahwa adanya masyarakat tradisional dan moderen, agama yang berbeda (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha dll), hukum sekuler/agama, hukum negera dan hukum lokal, dilihat pada kedudukannya yang sederajat, bukan dilihat dalam perspektif mayoritas dan minoritas, maju atau terbelakang, superior atau inferior, tetapi kesemuanya tersebut dipandang sejajar dan sederejat.
Dalam konteks hak dan kewajiban, masing-masing memiliki hak dan ke-wajiban. Oleh karena itu dalam pluralisme pengakuan dan penghargaan pada satu fakta sosial tidak serta merta mengabaikan fakta sosial lainnya. Bahkan menghormati hak yang lain merupakan suatu keharusan, karena yang lain, yang kecil juga memiliki “hak hidup” yang wajib dihormati. Ke-anekaan budaya yang masing-masing duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini merupakan konsientisasi berikut yang disodorkan oleh pluralisme. Pada tingkat praktis, pluralisme juga menunjuk kemungkinan "penyesuaian” atau "dialog” dalam pengalaman individual maupun kelompok, sehingga akan tercipta sikap toleransi antar sesama.[66]
5. Terbukanya Ruang Dialog dan Komunikasi
Pluralisme berbagai bidang kehidupan yang didalamnya meletakkan perbedaan sebagai dasar atau fundamen utamanya tidaklah menjadikan penyeragaman, penyatuan berbagai perbedaan tersebut sebagai penyelesaian guna menghilangkan perbedaan yang sudah muncul sejak awal, karena tindakan pe-nyeragaman pada dasarnya mengingkari perbedaan itu sendiri, bahkan upaya menghilangkan perbedaan adalah sia-sia. Pemikiran seperti ini muncul dikarenakan adanya pemahaman yang keliru mengenai perbedaan itu sendiri, perbedaan identik dengan konflik dan konflik identik dengan berbagai bentuk kekerasan. Pada hal antara konflik dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda.[67]
Dibalik perbedaan yang ada sesungguhnya komunikasi adalah salah satu etika yang inheren didalamnya, komunikasi dilakukan guna mengetahui berbagai perbedaan yang ada. Tidak hanya mengetahui berbagai perbedaan yang ada, dialog dan komunikasi pada dasarnya merupakan salah satu wahana dalam meningkatkan manusia dan kema-nusiaannya[68].
Sebab jika perbedaan tersebut tidak ada, artinya seluruhnya adalah sama, makakomunikasi menjadi tidak ada tempat dalam ranah kehidupan, karena masing-masing pihak sudah mengetahui akan kesamaan tujuan, visi kehidupan, sifat, karakter, ciri dan lain sebagainya. Artinya dalam konsep kesamaan tersebut tidak adanya perbedaan antara “saya” dengan “dia”, bahkan dapat dikatakan “saya” adalah “dia” dan “dia” adalah “saya”, maka pada posisi seperti ini komunikasi tidak menjadi penting. Hal ini dikarenakan apa yang menjadi persoalan ”dia” sesungguh-nya kita sudah mengetahuinya.
Jika berbagai perbedaan yang ada tidak dibarengi dengan dialog atau komunikasi, maka jebakan absolutisme akan terbuka lebar. Misalnya hal ini terjadi ketika Marx melihat persoalan kapitalisme yang dinilainya sebagai suatu konsepsi masyarakat yang berbeda dengan konsepsi masyarakat sosialis. Marx menyadari betul adanya perbedaan tersebut, serta berbagai implikasi dari sistem kapitalisme dalam kehidupan masyarakat yang menurutnya telah memarjinalkan dan memisahkan masyarakat menjadi masyarakat berjouis pada posisinya yang kuat dan masyarakat proletar yang semakin tereksploitasi dan mengalami proses marjinalisasi dalam kehidupannya.
Hanya persoalannya ternyata Marx dalam melihat persoalan ini terjebak pada absolutisme akan kebenaran pemahaman-nya sendiri, sehingga dengan paradigma kerjanya Marx merasa yakin bahwa perbedaan yang dihasilkan oleh kapitalisme menuju pada persamaan sebagaimana yang dikonsepsikan dalam masyarakat sosialis, bisa diselesaikan melalui pemberontakan atau kekerasan.
Catatan Akhir:
* Makalah disampaikan pada Lokakarya Dalam rangka memperingati HUT Bhayangkara ke 65, “ Kemitraan Polti Dengan Masyarakat Dalam Menangani Radikalisme, Polda Kalbar Pontianak, 28 Juni 2011.
** Penulis adalah dosen fakultas Hukum Untan, menyelesaikan studi Doktor dalam bidang Ilmu Hukum Pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang.
[1] Lihat harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995, hlm.124.
[2] Dalam perspektif Barat Fundamentalisme berarti paham orang-orang kaku ekstrim serta tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya. Sementara dalam perspektif Islam, fundamentalisme berarti tadjid berdasarkan pesan moral Al-Qur’an dan as-Sunnah. Lihat Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hlm.22.
[3] H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan Machnun Husein, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm.52.
[4] Dalam mempelajari suatu objek ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua yaitu objek materil dan objek formal. Objek material mengacu pada pokok bahasan “yang digeluti oleh Ilmu pengetahuan” tersebut, sedangkan objek formal mengacu pada sudut pembahasan suatu bidang ilmu. Misalnya fisika, kedokteran, sejarah, agama, sastra, seni rupa dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam tataran praktisnya ilmu pengetahuan hanya bisa dibedakan dari sudut formalnya saja sedangkan sudut materialnya bisa sama. Lebih lanjut lihat C. Verhaak Dan R. Haryono Iman, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet Ke-4, September 1997. Hal. 1.
[5] Jika ditelusuri kebelakang maka pembagian ilmu pengetahuan secara formal dan material seperti yang diuraikan tersebut di atas merupakan warisan abad pertengahan barat (abat XIX) yang membedakan ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam disiplin yang ketat dan kaku. Namun semenjak tahun 1945, terutama di Eropa dan Amerika Serikat, pembedaan secara ketat dan kaku tersebut mulai ditinggalkan. Hal ini terjadi seiring dengan adanya berbagai perubahan masyarakat secara mondial. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang tersekat-sekat secara ketat itu semakin kurang mampu menjelaskan berbagai gejala yang ada. Muncullah kajian-kajian yang bukan sekedar melibatkan berbagai lintas disiplin ilmu atau multi disipliner, tetapi juga lintas disiplin atau interdisipliner. Sebagai contoh misalnya: Kajian Wilayah (Area Studies), Kajian Pembangunan (Development Studies), Kajian Perempuan (Women Studies), Kajian Media (Media Studies), Kajian Kebudayaan (Cultural Studies), Kajian Ham (Human Right Studies). Atau dengan kata lain pada paroh kedua abad XIX hingga sekitar 1945 terjadi divergensi ilmu-ilmu social dan humaniora kini terjadi konvergensi. Lihat Immanuel Willerstein (Oscar-Penerjemah), Lintas Batas Ilmu Sosial, Penerbit Lkis Yogyakarta, 1997.
[6] Beberapa definisi mengenai politik memperlihatkan objek utamanya adalah negara.Demikian misalnya Wilbur White sebagaimana yang dikutip oleh F. Isjwara mengatakan bahwapolitical science is the study of formation, form and processes of the states and government. Lebih jauh lihat Wilbur White dalam F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Penerbit Dwintara Bandung, 1987, Hal 9. Demikian juga hal yang sama seperti dikatakan oleh Johan Kaspar Bluntschli bahwa Political Sciences is “ The sciences which is concerned with the state, which endeavours to understand and emprehend the state in its conditions, in its essential nature, in various forms or manifestation its development”. Kemudian karena ilmu politik itu sendiri mengalami perkembangan yang pesat dan upaya melihat persoalan politik berkembangan dengan menggunakan berbagai sudut pandang, maka ilmu politik dewasa ini memiliki berbagai bidang studinya yaitu antara lain. Perbandingan Ilmu Politik, Pembangunan Politik, Analisis Politik, Sosiologi Politik, Manejemen Politik, Etika Politik, Psikologi Politik, Politik Ekonomi dan Komunikasi Politik. Lebih jauh Lihat Johan Kaspar Bluntschli dalam Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Hal 19.
[7] Gafna Raiza Wahyudi dkk (Penerjemah), Antonio Gramsci: Catatan-Catatan Politik, Penerbit Pustaka Promethean, Surabaya, 2001. Hal 29.
[8]Meriam Budiardjo mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan’, lebih lanjut lihat Meriam Budiardjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta, 1977, hal 35. Bandingkan juga pendapat Max Weber yang mengatakan bahwa “kekuasaan sebagai suatu kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu” lihat Soerjono Soekanto,Sosiologi suatu Pengantar, UI Press Jakarta 1970, hal. 163. Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh Mac Iver, bahwa kekuasaan adalah “ the capacity to control the behavioral of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means” lihat Mac Iver, The Web Government, Mac Millan Co, New York, 1965. Hal. 87.
[9] Henk Schulte Nordholt, Geneologi Radikalisme, Dalam Jurnal Demokrasi Dan Ham, Aksi Radikalisme Dan Kekuasaan Vol. 2 Nol 1, Februari-Mei 2002, Penerbit The Habibie Centre, Jakarta 2002, Hal 81. Sedangkan menurut JRP French & Bertram Reven dalam bukunya The Basic of Social Power mengatakan bahwa perbutan kekuasaan dengan menggunakan radikalisme diklasifikasinya sebagai ”coercive power” yang selalu diluar konstitusional yang lazim disebut coup d’etat. Lihat JRP French & Bertram Reven dalam Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 1999. Hal 19.
[10] Menurut Rosabeth Moss Kanter: “Kekuasaan adalah kata kotor Amerika yang terakhir. Lebih mudah untuk berbicara mengenai uang-dan lebih mudah untuk berbicara seks-daripada berbicara tentang kekuasaan”. Lihat Rosabeth Moss Kanter,“Power Failure In Management Circuits”, Harvard Business Review 57, July-Agustust, 1979. Hal 65.
[11] Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Hal. 8.
[12] J.H. Rappar, Filsafat Politik: Plato Aristoteles Agustinus Machiavelli, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Edisi I Cet-2, Tahun 2003. Hal. 432.
[13] Charles F. Andrain (Luqman Hakim-Penerjemah), Politik dan Perubahan Sosial, Penerbit PT. Tiara Wacana Yogyakarta, Cet 1 1992. Hal. 128.
[14] A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992. Ha.l 111.
[15] Franz Magnis Suseno, Op Cit. Hal. 10-11.
[16] Johan Galtung, The True World: A Transnational Perspectives, The Free Press, New York, 1980. Hal. 67
[17] James Rule, Theories of Civil Violence, Berkeley University Press, 1988, Hal. 170-171
[18] Ted Robert Gurr, adalah salah satu sarjana mencoba memformulasikan makna radikalisme yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya terhadap regim yang berkuasa sebagai: “all collective attacks within a political community against the political regime, its actors-including competing political groups as well as incumbents-or its policies. The concept represent a set of event, a common poperty of which is the actual or threatened use of violence…the concept subsumes revolution…geurilla war, coups d’etat and riots”. Lihat Ted Robert Gurr, Why Men Rebel, Princeton, NJ; Princeton University Press, 1950, Hal..2-4.
[19] Ted Robert Gurr, Ibid.
[20] Mengenai bagaimana revolusi sosial dalam masyarakat sosialis digunakan sebagai sarana penghapusan dari tindakan sang penguasa lebih jauh lihat C. Writht Mills (Imam Muttaqien-Penerjemah), Kaum Marxis: Ide-Ide Dasar dan Sejarah Perkembangannya, Penerbit Pustaka Pelajar Cet I, Yogyakarta 2003.
[21] Margaret Silson Vine, Sociological Theory, An Introduction, Dalam Astrid S. Susanto. Op Cit. Hal. 6.
[22] Lihat Satjipto Rahardjo, “Sosiologi Pengadilan: Penadilan dalam Masyarakat”, Makalah Disampaikan Pada Penataran Sosiologi Hokum Yang Diselenggarakan Oleh Universitas Muria Kudus, Tanggal 24-25 Nopember 1995.
[23] James M. Henslin, Social Problems, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, Second Edition 1990. Hal 154-155
[24] Paul B. Horton, etc. The Sociology of Social Problem, Prentice Hall, Engglewood Cliefs, New Jersey 1991, Hal 208. Bahkan menurut Korn & McCorkle kejahatan bukan hanya normal tetapi tidak bisa dielakkan (crime is not only normal but inevitable), sebagai konsekwensi dari kompleksitas sosial dan kebebesan individual, sehingga menurutnya kejahatan merupakan harga yang harus dibayar dari sebuah kebebasan (crime is an inevitable consequence of social complexity and individual freedom. It is one of the price paid for freedom). Lebih jauh lihat Richard R. Korn & Llyod W. McCorkle, dalam J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologik, Penerbit Alumni Bandung, 1981. Hal 10.
[25] James M. Henslin, Op Cit. Hal. 154
[26] James M. Henslin, Ibid, Hal. 155
[27] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Alimandan-Penyadur), Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet ke-4, 2003. Hal 21
[28] James M. Henslin, Op Cit. Hal. 163.
[29] “ in the face of anomie and blocked goals, violence becomes a natural response to many situasion”, lihat James M. Henslin, Op Cit. Hal 163
[30] Robert K. Merton, On Theoritical Sociology, The Pree Pres, New York, 1967. Hal 114-115.
[31] George Ritzer, Op Cit. Hal. 25
[32] James M. Henslin, Op Cit. Hal. 211
[33] Ethik sebagai suatu konsep merupakan istilah antropologi yang untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Pike, terutama dalam antropologi bahasa yaitu phonetics atau studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang digunakan atau ditemukan pada semua bahasa atau universal pada semua budaya. Kemudian oleh Pike istilah ethik tersebut digunakan untuk menjelaskan point of view dalam mempelajari perilaku dalam kajian budaya. Lihat Tri Dayakisni Dan Salis Yuniardi,Psikologi Lintas Budaya, Penerbit UMM Press Malang, 2004, hal 21. lihat juga Lexy J. Moleong,Op Cit. Hal. 55.
[34] Sebagai contoh ketika konflik etnis antara orang dayak dengan orang Madura yang terjadi di Kalimantan Barat pada penghujung tahun 2000 memperlihat stereotif yang demikian, bahkan radikalisme antar etnis tersebut dipahami sebagai bentuk bangkitnya “Budaya Ngayau” pada masyarakat dayak yang berhadapan dengan “Budaya Carok” pada etnik Madura. Lebih jauh bagaimana stereotif yang keliru ini lihat John Bamba, ”Mengayau Atau Perang? Fenomenologi Radikalisme Antar Etnis di Kalimantan Barat”, Makalah untuk Seminar Dalam Rangka Kampanye Melawan Diskriminasi Ras, Etnis, Agama, Jender, Xenophobia dan Bentuk-Bentuk Intoleransi Lainnya "Hindari Radikalisme. Hentikan Diskriminasi. Kita Semua Manusia" di Pontianak 18 September 2001 kerjasama Komnas HAM-Insitut Dayakologi
[35] Sama halnya dengan konsep ethik, emics sebagai suatu konsep merupakan istilah antropologi bahasa yaitu Phonemics suatu studi yang mempelajari suara-suara yang unik pada suatu bahasa tertentu, lebih lanjut lihat Tri Dayakisni Dan Salis Yuniardi, Op Cit. Hal 21. Hal yang sama lihat juga Lexy J. Moleong, Op Cit. Hal. 55.
[36] A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Radikalisme dan Harga Diri Orang Madura, Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2002. Hal 184-185.
[37] A Latief Bustami, “Tinjauan Buku Carok, Konflik Radikalisme dan Harga Diri Orang Madura”, Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, 2000. Hal 67.
[38] Michael Banton, Ethnic and Racial Consciousness, 2nd Edition, London & New York: Longman, 1997. Hal. 1
[39] T.O. Ihromi (Penyunting), Antropologi …..., Op Cit. Hal 75.
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Ibid
[43] Mohtar Mas’oed et.al (Editor), Radikalisme Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Penerbit P3PK UGM Cet Kedua, 2001. Hal. 18
[44] Sebagai contoh sejak diberlakukannya UU PMA, PMDN dan UU Pokok Kehutanan, secara signifikan jumlah modal asing yang masuk ke Indonesia bertambah terus, pengaruh positifnya jelas terlihat dengan meningkatnya GDP (Gross Domistic Product) dari 3,7 % menjadi 12 % pada tahun 1966-1973. Namun demikian para ahli menilai disamping pengaruh positiv dalam ekonomi negara secara makro, justru pada saat yang sama telah terjadi kerusakan tatanan kehidupan sosial yang luar biasa, kerusakan hutan adalah salah satunya dari kerusakan tersebut. Lihat Ann Booth et.al (Editor), Ekonomi Orde Baru, LP3ES Jakarta 1986, Hal 5.
[45] Gerald O. Barney mencatat tidak kurang 48 kasus radikalisme yang ada dibelahan dunia ini yang melibatkan agama di dalamnya. Lebih lanjut lihat Gerald O. Barney, et. al, Global 2000 Revisited: What Shall We Do?: The Critical Issues of the 21th Century, Virginia: Millennium Institute, 1993. Hal.. 81
[46] Sebagai contoh perang salib yang kemunculannya berawal dari ekspansi Islam yang dilakukan oleh Alp Arselan pada tahun 464 H (1071 M) dimana tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang,yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Proneis dan Armenia. Peristiwa ini kemudian mendorong Paus Urtanus II berseru kepada umat Kristen di Eropah untuk supaya melakukan perang suci yang kemudian dikenal dengan “perang salib” yang terjadi dalam tiga periode. Khusus mengenai perang salib ini, lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Di Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta Cet- Ke-5, 1985. Hal. 77. Lihat juga M. Yahya Harun,Perang Salib dan Pengaruh Islam Di Eropah, Penerbit Bina Usaha Yogyakarta, 1987. Hal. 12-14. Lihat Juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Cet Ke-14 2003. Hal. 76-79.
[48] Konsep universalitas dari substansi dan nilai agama dan partikularitas simbol agama ini penulis rujuk pada pemikiran Zumri Bestado Syamsuar dalam melihat paradoks pikiran keagamaan. Dia mengatakan, bahwa substansi dan nilai suatu agama tidak hanya berlaku pada satu pemeluk agama saja tetapi berlaku pada dan lintas semua pemeluk agama, semua komunitas, semua masyarakat dan semua segmen negara dan bahkan lintas budaya. Sedangkan simbol-simbolagama jelas bersifat partikular, yakni ia hanya diakses dan didukung serta dimanifestasikan oleh masing-masing pemeluk agama saja, tidak bersifat lintas diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia ataupun negara kecuali sebatas sifatnya yang partikular saja dan tidak lebih. Penulis melihat partikularitas terhadap simbol agama ini terjadi lebih dikarenakan bagaimana kelompok umat beragama, suku memaknai symbol tersebut yang dalam tataran praksisnya tidak dapat dihindari masuknya berbagai elemen lain selain agama, terutama elemen budaya. lebih lanjut Lihat Zumri Bestado Sjamsuar, ”Paradoks Pikiran Keagamaan: Kritik Terhadap Pereduksian Simbol Agama”, Dalam Suara Almamater Publikasi Ilmiah Universitas Tanjungpura, No. 6 Tahun XIV, Tahun 1999. Hal. 26-34.
[49] Robert K. Merton, Op Cit. Hal 114-115.
[50] Lihat Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantanga., Cetakan I, PT Remaja Rosda Karya Bandung, 1999. Hal. 11.
[51] lihat Ignas Kleiden, ”Kekuasaan: Ideologi dan Peran Agama-Agama Di Masa Depan” Dalam Martin L. Sinaga. MTH, (Editor) Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, Penerbit PT. Grasindo Jakarta 2000, Hal. 23.
[52] Salah satu karya yang cukup terkenal dalam melihat persoalan ini adalah karya Samuel Huntington tentang “Clash of Civilizations”. Bagi Huntington konflik (baca:radikalisme) pada era ini tidak lagi bernuansa persaingan politik Timur-Barat, tetapi lebih disebabkan perbedaan-perbedaan dan rivalitas ideologis, terutama dalam hal ini, ia melihat Islam memiliki potensi untuk berbenturan langsung dengan Barat. Bagaimana pandangan, penilaian sampai pada tesis Huntington tentang Islam sebagai suatu ideologi yang membahayakan bagi peradaban dunia. LihatM. Natsir Tamara Dan Elza Taher Peldi Taher (editor), Agama Dan Dialog Antar Peradaban, Penerbit Paramadina Jakarta, 1996, Hal 3-33, lihat juga Saiful Mulani, Jajat Burhanudin Dkk, Benturan Peradaban, Sikap dan Prilaku Islam Indonesia Terhadap Amerika, Penerbit Nalar, 2005. Tidak urung tesis Samuel Huntington ini mendapat reaksi keras dari dunia Islam. Indonesia misalnya dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Freedom Institute dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPLM) Universitas Islam Negeri Jakarta pernah mengadakan suatu penelitian yang memperlihatkan hasil bahwa ada korelasi positif antara tesis Huntington dengan rasa kekecewaan masyarakat terhadap Amerika dengan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk demonstrasi anti Amerika yang pada dasarnya adalah demonstrasi atas penolakan tesis Samuel Huntington tersebut. Lihat Harian Kompas, Sabtu, 17 Desember 2006.
[53] Dalam perspektif politik, agama merupakan suatu sistem politik (a political system). Demikian Islam misalnya oleh Dr. V. Fitzgerald bukan hanya semata-mata agama (religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik. Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh pemikiran Islam dibangun di atas fondasi bahwa kedua sisi itu saling bergandingan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Lihat Dr. V. Fitzgerald, ”The Mohammaden Law” dalam M. Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam, Penerbit Gema Insani Jakarta, 2001. Hal 5.
[54] Dalam kaitannya dengan persoalan global, Baverley Crawford berpendapat bahwa politisasi agama dalam kancah kererasan yang sifatnya terbuka terjadi dikarenakan melemahnya institusi politik sebagai akibat berbagai tekanan, terutama liberalisasi dan integrasi global. Lebih jauh lihatBeverly Crawford, “Politik Identitas: Sebuah Pendekatan Kelembagaan”, dalam Jurnal Gerbang, Nomor 10, Vol. IV, Juni –Agustus 2001. Hal. 103
[55] Dalam perspektif hegemoni kekuasaan, umar kayam seorang Guru Besar Sastra dan Sosiologi dari UGM berpendapat bahwa perang salib sebagai salah satu perang terbesar yang mengatasnamakan agama, dinilainya merupakan bentuk perang hegemoni kekuasaan atas ekonomi, Lihat Eny Effendi (Editor), Islam dan Dialog Budaya. Diterbitkan Atas Kerjasama Puspa Swara Dengan Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Jakarta, Cet-1, 1994. Hal. 166.
[57] Masalah ini lihat, Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, Boulder, San Fransisco, & Oxford: Westview Press, 1991. Hal 130.
[58]Lihat juga Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998. Hal. 126.
[59] Simon Fisher et. al., Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Terjemahan, Cetakan I, The British Council Indonesia, Jakarta, 2001. Hal. 43.
[60] Qur’an surat an-nissa ayat 3 berbunyi: ”kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagaian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (garis bawah-pen). Kemudian jika mereka mentaatimu, maka jangalah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (terjemahan departemen agama)
[61] Jurnal Demokrasi Dan Ham, ”Radikalisme Dan Kekuasaan”, Vol.2. No.1. Februari-Mei 2002. Hal. 58-59.
[62] Mendasarkan pada pengertian arti kata yang terdapat dalam kamus tersebut, Nassaruddin Umar menterjemahkan surat an-nissa ayat 3 tersebut menjadi: ”perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan menentang, berkomunikasilah dengan mereka dengan baik-baik, kemudian tinggalkanlahdi tempat tidur sendirian (tanpa menganiyanya), kemudian gaulilah mereka (jika mereka bersedia). Jika mereka tidak lagi menentangmu, janganlah mencari-cari alasanuntuk menyalalahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Agung” Ibid . Hal. 59
[63] Sumanto Al-Qurtuby, KH. MA. Sahal Mahfudh Era Baru Fiqih Indonesia, Penerbit Cermin, Yogyakarta, 1999. Hal. 133.
[64] John M. Echols Dan Hasan Shadily, Op CitHal 3-4.
[65] Terhadap bagaimana konstruksi sosial terhadap realitas tersebut terbangun lihat peter L. Berger And Thomas Luchmann, The Social Construction Of Reality: A Treatise In The Sociology Of Knowledge, Penguin University Book. 1981.
[66]Postmodernisme sangat menggarisbawahi sekat-sekat yang ditimbulkan oleh “incommensurability” pun sama sekali tidak menganjurkan "benturan peradaban" yang diakibatkan adanya perbedaan. Sebaliknya yang dianjurkan ialah "toleransi" dalam bentuk norma "non-cruelty" antar manusia dan dengan demikian juga antar peradaban. Lebih jauh lihat Richard Rorty, Contingency: Irony and Solidarity, Cambridge: Cambridge University Press, 1989. Hal 189 – 198
[67] Untuk hal ini lihat pada BAB V tentang konflik antar sistem hukum
[68] Di samping melihat adanya potensi konflik dalam pluralisme budaya (multikulturalisme budaya), Supardi Suparlan juga dilihat didalam multikulturalisme terdapat sebuah ideology yang bisa dijadikan wahana untuk meningkatkan manusia dan kemanusiaannya melalui dialog antar budaya. Lebih lanjut lihat Supardi Suparlan, Keynote Address Yang Disajikan Dalam Sesi Pleno I Pada Simposum Internasional Jurnal Antropologi Indonesia Ke-3: “Membangun Kembali Indonesia Yang Bhenika Tunggal Ika, Menuju Masyarakat Multikulturalisme”, Yang Diadakan Di Univesitas Udayana, Denpasar Bali, Tanggal 16-19 Juli 2002.
0 komentar:
Posting Komentar