Penangkapan empat mahasiswa asal Indonesia di Universitas Al-Azhar,
Kairo, Mesir, oleh pihak keamanan setempat patut diperhatikan oleh semua
pihak. Bukan hanya karena empat mahasiswa tersebut mendapat perlakuan
tidak senonoh dari pihak keamanan Mesir. Lebih dari itu, penangkapan
tersebut bisa menjadi "peringatan keras" bagi semua pihak terkait
gerakan politik keagamaan yang cenderung menggunakan kekerasan dalam
menjalankan perjuangannya. Di dalam negeri, gerakan-gerakan seperti ini
dikenal dengan istilah gerakan transnasional.
Sebagaimana diberitakan, empat mahasiswa asal Indonesia tersebut ditangkap petugas keamanan Mesir karena dituduh terlibat aktif dalam gerakan politik Ikhwan Muslimin ataupun Hamas (Jawa Pos, 4/7). Kedua gerakan Islam politik itu acapkali mendapat perhatian ketat (untuk tidak mengatakan pengekangan) dari pemerintah Mesir. Bersyukur, empat mahasiswa kita tidak terbukti terlibat dalam dua gerakan tersebut.
Gerakan Transnasional
Selama ini terdapat sejumlah pihak yang melansir Timur Tengah sebagai salah satu "sumber" utama gerakan-gerakan transnasional yang saat ini menyebar di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Adalah gerakan politik Ikhwan Muslimin yang sering ditengarai sebagai "ibu gerakan perlawanan Islam" yang saat ini tumbuh subur di banyak negara.
Ikhwan Muslimin didirikan oleh seorang ulama kenamaan asal Mesir, Hasan Al-Banna, pada 1928. Pendirian gerakan itu terkait erat dengan konteks "keterpurukan dunia Islam" secara politik yang secara beruntun dan dramatis dimulai pada 1923, yaitu ketika sistem kekhilafahan Utsmaniyah secara resmi dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki. Sebagian pihak menganggap kekhilafahan Utsmaniyah sebagai khilafah Islam.
Pasca 1923, keterpurukan demi keterpurukan terus melanda dunia Islam yang sebelumnya masuk dalam wilayah kekuasaan kekhilafahan Utsmaniyah. Dunia Islam dijajah oleh negara-negara Eropa yang berkuasa pada era itu, terutama Prancis dan Inggris. Puncak keterpurukan dunia Islam terjadi pada 1948, yaitu dengan berdirinya negara Israel di atas tanah dunia Arab-Islam.
Konteks kekalahan dan keterpurukan inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya pelbagai macam gerakan perlawanan di dunia Islam, terutama di Timur Tengah. Gerakan yang pertama lahir pda era ini adalah Ikhwan Muslimin yang salah satu tujuannya mengusir kekuatan penjajah yang saat itu menguasai Mesir.
Pada hari-hari berikutnya hingga hari ini, gerakan dan tokoh perlawanan terus bermunculan seperti Tandzim Al-Qaedah pimpinan Osama bin Laden, Hamas dan Jihad Islam di Palestina, Hizbullah di Lebanon, dan yang lain. Semua ini tidak terlepas dari konteks keterpurukan yang tak kunjung berakhir di Timur Tengah. Apalagi dengan adanya Israel yang semakin sewenang-wenang dalam merampas hak-hak warga dan negara Arab-Islam.
Namun, ada hal yang tak kalah menentukan daripada faktor keterpurukan di atas. Yaitu, beberapa ajaran dalam Islam yang dipahami membolehkan perlawanan bahkan juga aksi kekerasan, terutama dalam keadaan terjajah. Salah satu ajaran dimaksud adalah ajaran tentang jihad, peperangan, dan sebagainya.
Pada umumnya gerakan-gerakan transnasional menjadikan ajaran-ajaran di atas sebagai landasan perjuangan mereka. Tidak jarang dari mereka yang menghalalkan "aksi kekerasan" karena dianggap dibenarkan oleh norma agama yang dipedomaninya tersebut.
Secara jujur harus diakui, Islam memang mempunyai beberapa ajaran yang terkait aksi-aksi keras seperti perang, jihad, dan sebagainya. Namun, sungguh tidak benar bila diyakini bahwa ajaran-ajaran perang adalah satu-satunya doktrin dalam Islam. Sebagaimana juga tidak benar bila ajaran jihad hanya dipahami sebagai ajaran tentang angkat senjata ataupun aksi-aksi keras lain.
Yang tidak kalah penting adalah hampir semua ajaran jihad, perang, dan ajaran yang identik dengan aksi keras mempunyai latar belakang ataupun konteks yang dapat menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Dengan kata lain, ajaran tentang aksi keras dalam Islam tidak diturunkan secara mutlak atau tanpa syarat apa pun. Pengamalan atas ajaran-ajaran ini sejatinya memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama dan secara rinci tergambar dalam latar belakang (asbaabun nuzuul atau asbaabul wurud) turunnya ajaran tersebut.
Dalam sejarah Islam awal, contohnya, ajaran tentang jihad dan perang diturunkan ketika umat Islam berada di Madinah. Sedangkan dalam konteks masih di Makkah, umat Islam tidak diperbolehkan berperang, walaupun sering mendapat perlakuan tidak adil dari penduduk Makkah.
Konteks Indonesia
Konteks Indonesia berbeda dengan konteks Timur Tengah. Konteks Timur Tengah hampir identik dengan peperangan, perlawanan, dan aksi-kasi keras lainnya. Hal ini tak lain karena kondisi konfliktual masih terus terjadi hingga hari ini di kawasan ini. Sedangkan konteks Indonesia hampir identik dengan perdamaian, pemberdayaan, dan kelenturan.
Sejatinya ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras seperti di atas dipahami dan diamalkan tanpa mengabaikan perkembangan konteks yang ada. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras di Timur Tengah (pada tahap tertentu) masih bisa diterima dan dibenarkan. Hal ini tidak lain karena hingga hari ini konteks Timur Tengah belum beranjak dari keterpurukan dan peperangan. Juga karena alasan di atas, (pada batas tertentu) keberadaan faksi-faksi politik yang cenderung keras di Timur Tengah masih bisa diterima dan dipahami.
Kondisi ini berbeda dengan konteks Indonesia. Sejatinya, pemahaman dan gerakan keislaman di republik ini mendukung upaya pemberdayaan dan perdamaian yang ada.
Semua pihak (termasuk para pelajar di luar negeri) sejatinya bisa memilah-memilih dalam mengikuti ataupun mempelajari gerakan keagamaan tertentu. Hingga gerakan keagamaan yang dipelajari tidak kontraproduktif dengan konteks keumatan yang ada di Indonesia. Adalah malapetaka tatkala konteks pemberdayaan dikuasai oleh gagasan dan perjuangan yang bernuansa perlawanan. (*)
*). Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta.
Sebagaimana diberitakan, empat mahasiswa asal Indonesia tersebut ditangkap petugas keamanan Mesir karena dituduh terlibat aktif dalam gerakan politik Ikhwan Muslimin ataupun Hamas (Jawa Pos, 4/7). Kedua gerakan Islam politik itu acapkali mendapat perhatian ketat (untuk tidak mengatakan pengekangan) dari pemerintah Mesir. Bersyukur, empat mahasiswa kita tidak terbukti terlibat dalam dua gerakan tersebut.
Gerakan Transnasional
Selama ini terdapat sejumlah pihak yang melansir Timur Tengah sebagai salah satu "sumber" utama gerakan-gerakan transnasional yang saat ini menyebar di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Adalah gerakan politik Ikhwan Muslimin yang sering ditengarai sebagai "ibu gerakan perlawanan Islam" yang saat ini tumbuh subur di banyak negara.
Ikhwan Muslimin didirikan oleh seorang ulama kenamaan asal Mesir, Hasan Al-Banna, pada 1928. Pendirian gerakan itu terkait erat dengan konteks "keterpurukan dunia Islam" secara politik yang secara beruntun dan dramatis dimulai pada 1923, yaitu ketika sistem kekhilafahan Utsmaniyah secara resmi dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki. Sebagian pihak menganggap kekhilafahan Utsmaniyah sebagai khilafah Islam.
Pasca 1923, keterpurukan demi keterpurukan terus melanda dunia Islam yang sebelumnya masuk dalam wilayah kekuasaan kekhilafahan Utsmaniyah. Dunia Islam dijajah oleh negara-negara Eropa yang berkuasa pada era itu, terutama Prancis dan Inggris. Puncak keterpurukan dunia Islam terjadi pada 1948, yaitu dengan berdirinya negara Israel di atas tanah dunia Arab-Islam.
Konteks kekalahan dan keterpurukan inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya pelbagai macam gerakan perlawanan di dunia Islam, terutama di Timur Tengah. Gerakan yang pertama lahir pda era ini adalah Ikhwan Muslimin yang salah satu tujuannya mengusir kekuatan penjajah yang saat itu menguasai Mesir.
Pada hari-hari berikutnya hingga hari ini, gerakan dan tokoh perlawanan terus bermunculan seperti Tandzim Al-Qaedah pimpinan Osama bin Laden, Hamas dan Jihad Islam di Palestina, Hizbullah di Lebanon, dan yang lain. Semua ini tidak terlepas dari konteks keterpurukan yang tak kunjung berakhir di Timur Tengah. Apalagi dengan adanya Israel yang semakin sewenang-wenang dalam merampas hak-hak warga dan negara Arab-Islam.
Namun, ada hal yang tak kalah menentukan daripada faktor keterpurukan di atas. Yaitu, beberapa ajaran dalam Islam yang dipahami membolehkan perlawanan bahkan juga aksi kekerasan, terutama dalam keadaan terjajah. Salah satu ajaran dimaksud adalah ajaran tentang jihad, peperangan, dan sebagainya.
Pada umumnya gerakan-gerakan transnasional menjadikan ajaran-ajaran di atas sebagai landasan perjuangan mereka. Tidak jarang dari mereka yang menghalalkan "aksi kekerasan" karena dianggap dibenarkan oleh norma agama yang dipedomaninya tersebut.
Secara jujur harus diakui, Islam memang mempunyai beberapa ajaran yang terkait aksi-aksi keras seperti perang, jihad, dan sebagainya. Namun, sungguh tidak benar bila diyakini bahwa ajaran-ajaran perang adalah satu-satunya doktrin dalam Islam. Sebagaimana juga tidak benar bila ajaran jihad hanya dipahami sebagai ajaran tentang angkat senjata ataupun aksi-aksi keras lain.
Yang tidak kalah penting adalah hampir semua ajaran jihad, perang, dan ajaran yang identik dengan aksi keras mempunyai latar belakang ataupun konteks yang dapat menjelaskan mengapa hal itu harus dilakukan. Dengan kata lain, ajaran tentang aksi keras dalam Islam tidak diturunkan secara mutlak atau tanpa syarat apa pun. Pengamalan atas ajaran-ajaran ini sejatinya memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama dan secara rinci tergambar dalam latar belakang (asbaabun nuzuul atau asbaabul wurud) turunnya ajaran tersebut.
Dalam sejarah Islam awal, contohnya, ajaran tentang jihad dan perang diturunkan ketika umat Islam berada di Madinah. Sedangkan dalam konteks masih di Makkah, umat Islam tidak diperbolehkan berperang, walaupun sering mendapat perlakuan tidak adil dari penduduk Makkah.
Konteks Indonesia
Konteks Indonesia berbeda dengan konteks Timur Tengah. Konteks Timur Tengah hampir identik dengan peperangan, perlawanan, dan aksi-kasi keras lainnya. Hal ini tak lain karena kondisi konfliktual masih terus terjadi hingga hari ini di kawasan ini. Sedangkan konteks Indonesia hampir identik dengan perdamaian, pemberdayaan, dan kelenturan.
Sejatinya ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras seperti di atas dipahami dan diamalkan tanpa mengabaikan perkembangan konteks yang ada. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran Islam yang terkait dengan aksi keras di Timur Tengah (pada tahap tertentu) masih bisa diterima dan dibenarkan. Hal ini tidak lain karena hingga hari ini konteks Timur Tengah belum beranjak dari keterpurukan dan peperangan. Juga karena alasan di atas, (pada batas tertentu) keberadaan faksi-faksi politik yang cenderung keras di Timur Tengah masih bisa diterima dan dipahami.
Kondisi ini berbeda dengan konteks Indonesia. Sejatinya, pemahaman dan gerakan keislaman di republik ini mendukung upaya pemberdayaan dan perdamaian yang ada.
Semua pihak (termasuk para pelajar di luar negeri) sejatinya bisa memilah-memilih dalam mengikuti ataupun mempelajari gerakan keagamaan tertentu. Hingga gerakan keagamaan yang dipelajari tidak kontraproduktif dengan konteks keumatan yang ada di Indonesia. Adalah malapetaka tatkala konteks pemberdayaan dikuasai oleh gagasan dan perjuangan yang bernuansa perlawanan. (*)
*). Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar