Perhelatan Pilkada DKI putara kedua sudah
semakin mendekat. Situasi politik dari hari ke hari semakin panas dan
sangat menarik untuk diikuti. Panasnya Jakarta semakin luar biasa
seiring dengan penetapan KPU DKI Jakarta, yang mengharuskan Ahok-Jarot
dan Anies-Sandy bertarung di putaran kedua. Kedua kubu mulai merapatkan
barisan untuk menyusun strategi pemenangan untuk paslon yang
diusungnya. Aneka strategi dikeluarkan untuk menarik pemilih DKI untuk
menjatuhkan pilihan politiknya pada paslon yang bertarung. Dari sekian
banyak strategi yang dikeluarkan kedua tim, isu SARA menjadi senjata
pamungkas dalam meraih simpati dan dukungan warga DKI. Demi meraih
kemenangan isu SARA dimainkan secara terstruktur, sistematis dan masif
pada perhelatan Pilkada DKI Jakarta.
Ahok: Korban Isu SARA Pilkada DKI
Isu SARA merupakan satu-satunya cara untuk
menurunkan popularitas Ahok. Dalam hal ini isu penistaan agama Islam
dan ulama dianggap sebagai langkah strategis dalam mengalihkan dukungan
publik Jakarta dari Ahok ke paslon lain. Demonstrasi berjilid-jilid
untuk menggagalkan Ahok dalam Pilkada DKI tersulut dari isu penistaan
agama dan ulama ini. Isu penistaan agama dan ulama pada akhirnya
mengharuskan Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Tidak berhenti di sini
saja derita yang ditanggung Ahok. FPI dan ormas lainnya menginginkan
Ahok dipenjara tanpa melewati pengadilan. Mau dibawa kemana negeri
Indonesia yang tercinta ini kalau nafsu dan keinginan ekstrim kaum
sumbuh pendek seperti ini tetap dipelihara.
Namun Ahok tetap menunjukan kualitas
dirinya yang mumpuni. Meskipun digoyang dengan isu penistaan agama dan
ulama, Ahok tidak takut dan siap menanggung resiko apa pun. Saat ini
Ahok telah mengikuti sidang ke-16 dalam perkara dugaan penistaan agama
Islam dan ulama. Pelan tapi pasti, dalam setiap sidang yang diikutinya,
Ahok mulai membeberkan kebenaran dan maksud dari pidatonya di Kepulauan
Seribu. Saksi-saksi di tempat kejadian mulai menunjukkan bukti bahwa
Ahok tidak menistakan agama Islam dan Ulama. Setelah itu tim kuasa hukum
Ahok mulai menghadirkan saksi-saksi ahli yang meringankan Ahok.
Ahok: China Kristen dari Kelompok Minoritas dan Haram pemilih pemimpin Nonmuslim
Majunya Ahok dalam pesta demokrasi DKI
Jakarta membuat lawan politik ketar-ketir memikirkan srategi pemenangan.
Setelah isu penistaan agama dan ulama dianggap gagal meredupkan
popularitas Ahok, cara lain yang masih berkaitan dengan SARA tetap
dilancarkan. Latar belakang Ahok dari keturunan China tetap mendapat
perhatian penting lawan politik. Ahok dihubung-hubungkan dengan Negara
China yang menganut paham komunis. Senjata lain yang diturunkan dalam
kampanye tersebut adalah mengharamkan memilih pemimpin nonmuslim. Latar
belakang Ahok yang beragama Kristen menjadi daya pikat tersendiri. Isu
kristenisasi menjadi santapan empuk kaum politis radikal untuk
menggembosi kekuatan Ahok. Lebih lanjut Kaum muslim diwajibkan untuk
memilih sesama pemimpin muslim. Salah satu langkah politis yang paling
radikal adalah munculnya spanduk yang mengitimidasi sesama umat muslim.
Larangan mensholatkan jenasah pendukung Ahok mencuat ke permukaan.
Bayangkan saja demi meraih simpati dan kemenangan sesame umat Muslim
tega saling menjatuhkan. Label kafir sudah pasti dikenakan pada Ahok
yang non muslim. Bukan hanya Ahok yang dicap kafir, pendukung dan
pemilih Ahok dari latar belakang muslim pun dapat dikenakan label kafir.
Sadis, bukan??
Isu SARA sinyal kebangkitan Radikalisme dan langkah mundur demokrasi di Indonesia.
Isu sara yang dipakai oleh lawan politik
Ahok sudah mencapai titik didih. Bagaimanapun juga Pilkada DKI Jakarta
tetap menjadi barometer iklim demokrasi di seluruh wilayah NKRI. Seluruh
lapisan masyarkat yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke tetap
menyimak perhelatan Pilkada DKI. Alasannya sederhana, Jakarta adalah
pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekecil apa pun
persitiwa di Jakarta akan tetap dipantau oleh segenap bangsa Indonesia.
Pada titik inilah fondasi kebangsaan yang
sudah dipikirkan oleh pendiri bangsa ini harus tetap dijaga dan
dipertahankan. UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI
sebagai empat pilar kebanggsaan mesti dijunjung tinggi dan menjadi napas
dalam Pilkada DKI Jakarta. Keempat pilar kebangsaan ini tentu menjadi
tanggung jawab segenap bangsa Indonesia untuk memelihara dan menjaganya.
Merawat dan memelihara empat pilar kebangsaan ini tentu saja
membutuhkan semangat rela berkorban, patriotism, cinta tanah air dan
kemampuan menyingkirkan nafsu berkuasa dan egoism pribadi. Pertanyaan
sederhana muncul pada bagian ini, siapakah di antara pasangan
Anies-Sandy dan Ahok-Jarot yang masih menggenggam erat empat pilar
kebangsaan ini?? Menurut pantauan penulis, pasangan Ahok-Jarotlah yang
sedang merawat dan menjaga erat pilar kebangsaan ini. Ahok-Jarot dan tim
suksesnya lebih mengedepankan pendidikan politik yang baik, jujur dan
sportif. Ahok tidak pernah mengintimidasi atau pun menggandeng ormas
radikal untuk meraih kemenangan dalam Pilkada DKI Jakarta ini.
Sinyal kebangkitan paham radikal sudah
ditunjukkan oleh tim sukses yang menjadi lawan Ahok. Keharusan memilih
pemimpin muslim, mengharamkan memilih pemimpin kafir, melarang
mensholatkan pendukung dan pemilih Ahok-Jarot, penduduk Jakarta yang
mayoritas Muslim wajib hukumnya dipimpin oleh calon yang berlatar
belakang Muslim merupakan tandap-tanda nyata kebangkitan paham radikal.2
Pemaksaan kehendak dan intimidasi terhadap warga DKI Jakarta yang
berpaham nasionalis dan berpijak pada empat pilar kebangsaan ini bukan
saja sekedar praduga melainkan bukti, fakta yang tak terbantahkan. “”Di
era demokrasi liberal ini bagus di satu sisi, ada keseimbangan antara
pemerintah dan rakyat. Rakyat bisa mengontrol pemerintah. Ada
negafitnya, kalau kalau terlalu bebas bisa berbahaya, paham radikal bisa
masuk,” ujar Tito.3 Pernyataan Kapolri, Jenderal Tito
Karnavian menjadi bukti bahwa NKRI yang tercinta ini sedang diserang dan
disusupi paham radikal.
Mari merawat demokrasi yang sehat
Apapun kondisi Jakarta saat ini jangan
sampai mengganggu keutuhan dan kesatuan republik ini. Pilkada DKI
Jakarta menjadi cermin bagi bangsa Indonesia untuk mengetahui sejauh
mana pasangan calon pemimpin DKI dalam menjaga dan merawat empat pilar
kebangsaan yang berujung pada demokrasi yang sehat dan sportif.
Terakhir, bagi warga DKI janganlah terprovokasi oleh hasutan radikal
yang bisa mencederai kebhinekaan Jakarta. Berkacalah pada Ahok yang
tetap tegar dan kokoh meskipun diserang dari berbagai arah lewat senjata
yang bernama SARA. Ahok-Jarot sudah memberikan pendidikan politik yang
sehat, jujur dan berani mempertahankan demokrasi yang bernafaskan pada
empat pilar kebangsaan.
Saya kira begitu!!!
0 komentar:
Posting Komentar