Peranan agama dalam menciptakan tata
dunia baru yang berkeadilan sangat penting. Konflik di Gaza mengajak
kita semua merenungkan kembali makna hakiki yang mendasar mengenai
sejauh mana sumbangan agama dalam menciptakan perdamaian. Sejak konflik
Gaza meletus, berbagai tokoh agama di Indonesia bergandengan tangan
mengusahakan perdamaian dan berupaya mencari solusi menghentikan
konflik. Mereka tidak hanya datang ke perwakilan PBB di Jakarta, bahkan
menulis surat kepada Presiden Obama agar politik Amerika segera mengubah
haluan. Berubah untuk lebih aktif dalam memelihara perdamaian dunia.
Khususnya, mengusahakan perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Dalam konteks politik Amerika, Thomas F
Farr dalam World of Faith and Freedom menggarisbawahi, pemahaman agama
yang kurang mendalam dalam kebijakan politik mereka. Pengalaman selama
21 tahun dalam pengabdian sebagai Direktur Kebebasan Beragama Komunitas
Internasional, Farr menyoroti kebijakan luar negeri Amerika yang sering
kali tidak tepat, misalnya dalam masalah Afghanistan dan Irak yang tidak
peka terhadap kultur keberagamaan.
Ini merupakan bentuk pelanggaran yang
paling mendasar, yakni kebebasan beragama. Amerika memaksakan demokrasi
menjadi model konstitusi dengan mengabaikan aspek paling asasi manusia,
yakni agama. Agama kerap kali dijadikan alat pembenaran untuk
menciptakan konflik, terutama dalam melegalkan kekerasan atas nama
agama. Padahal jelas bahwa agama merupakan sarana yang teramat penting
dalam menciptakan perdamaian dunia.
Tentu saja, kebebasan agama tidaklah
hanya sekadar kebebasan dari penyiksaan atau hukuman penjara yang tak
adil. Kebebasan agama meliputi hak untuk berbagai tindakan publik dan
dalam rangka berperan untuk pembentukan kebijakan publik. Kebebasan
agama mengarahkan klaim bahwa agama dan status bisa secara terus-menerus
didamaikan dan seimbang. Perang tidak akan menyelesaikan masalah
melainkan hanya akan menciptakan lingkaran kekerasan baru.
Kehancuran Nilai Kemanusiaan
Cukup menarik memerhatikan seruan Paus
Benediktus XVI dalam doa kepada dunia mengharapkan agar gencatan senjata
segera diwujudkan untuk menghentikan kekerasan. Apa pun alasannya,
kekerasan itu telah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Desakan lebih kuat juga datang dari
Konferensi Uskup Amerika yang meminta agar Amerika segera menghentikan
kekerasan yang dilakukan oleh Israel. Namun, seruan para tokoh dunia ini
belum membuat Israel berhenti melakukan pengeboman terhadap warga sipil
tidak berdosa.
Perang merupakan bibit kehancuran
nilai-nilai kemanusiaan. Perang tidak akan membawa perubahan terciptanya
perdamaian. Perang tidak akan menyelesaikan masalah. Perang hanya akan
melahirkan masalah baru yang jauh lebih rumit dibandingkan sebelum
perang.
Apa yang dilakukan Israel atas rakyat
Palestina jelas melanggar moralitas kemanusiaan, HAM, dan melukai
demokrasi yang telah susah payah dibangun di Palestina. Israel seperti
monster yang menakutkan. Demikian juga para militansinya yang kerap
menjadikan penduduk sipil tak bersalah sebagai tameng peperangan.
Permasalahan Israel dan Palestina sudah bergeser dari masalah-masalah
ideologis menjadi masalah kemanusiaan universal. Dengan alasan itulah
maka setiap umat beragama apa pun dan dari kelompok mana pun yang
mencintai perdamaian sudah seharusnya menggerakkan spirit perdamaian
yang lebih luas.
Salah satu tantangan yang sangat besar
dalam menciptakan kerukunan agama adalah fundamentalisme dalam diri
setiap ajaran agama. Fundamentalisme ini sering mewujud dalam berbagai
bentuk kekerasan. Semua agama memiliki potensi untuk menciptakan
kekerasan kapan pun dan dimana pun. Hakikat agama adalah untuk
kedamaian. Agama telah menunjukkan jalan terbaik sehingga sekarang
tinggal bagaimana berbagai kepentingan tersebut bertemu satu meja, dan
terimplementasikan dalam kehidupan nyata masyarakat. Perlunya penyadaran
bahwa sebenarnya agama bukanlah kekuatan yang destruktif, tapi
sebaliknya, transformatif.
Kesalehan Sosial
Dialog antaragama tidak boleh berhenti
sebatas formalitas belaka. Pembumian makna dialog ini berarti menepis
hal-hal yang berbau ritual dan formal, tapi lebih menjunjung tinggi
aspek semangat dan rohnya. Lebih jauh lagi, pembumian makna dialog juga
berarti bagaimana masyarakat bawah menerima cahaya kedamaian ini guna
menjalankan kehidupan dalam suasana yang tenang tanpa ketakutan dan
kecemasan.
Yang perlu mendapat prioritas adalah
bagaimana membangun kesadaran dalam beragama. Keberagamaan kita mestinya
tidak sekadar berwajah kesalehan individual, tetapi juga kesalehan
sosial. Kesalehan sosial, selain bermakna kepedulian di bidang ekonomi,
juga kepedulian untuk tidak menghardik umat dari agama lain.
Jika agama kita berwajah seperti itu,
wajah agama kita amat manusiawi, sebab orientasinya tidak egoistik,
tetapi mengandung relasi dengan sesama, bahkan altruistik. Jika
demikian, tiap ibadat pun lebih dilandasi sikap hati yang tulus untuk
memberi penghargaan terhadap martabat kemanusiaan.
Mempersembahkan korban bukan hal utama dalam agama, tetapi pemihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Tugas umat beriman adalah menyucikan
dunia dengan menegakkan kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral.
Keberagamaannya bukan untuk kepentingan diri sendiri yang egostik,
tetapi sebaliknya altruistik. Romo Mangun (Alm) mengatakan, orang yang
memiliki religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri, justru
memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan
buah kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Intinya,
beragama secara benar adalah bila kita mampu mengendalikan organ tubuh
kita sendiri untuk tidak memuaskan diri sendiri.
Upaya menciptakan toleransi dan kerukunan
antarumat beragama sering kali terhalang karena yang ditonjolkan dalam
diri setiap agama bukanlah persamaannya, melainkan perbedaannya. Sudah
dipahami bahwa agama satu berbeda dengan lainnya, namun jarang dipahami
bahwa salah satu cara baik untuk terus-menerus memperbaiki kehidupan
beragama dalam bingkai pluralitas adalah memperbesar dan menonjolkan
aspek persamaan yang ada. Sikap keberagamaan umat sangat tergantung dari
sejauh mana umat dewasa melihat perbedaan sebagai potensi perdamaian,
bukan potensi konflik. Perbedaan adalah keniscayaan yang alamiah, dan
karena itulah dimengerti sebagai bekal untuk memupuk rasa persaudaraan
dan kemanusiaan.
0 komentar:
Posting Komentar